Agama untuk Kebaikan

Agama untuk Kebaikan

- in Narasi
3551
0

Beberapa kalangan meyakini saat ini adalah masa sulit untuk beragama, alasannya agama kini jarang ditampilkan dalam wajah yang sama. Ragam pelaksanaan agama ditampilkan dalam berbagai rupa, radikal, moderat, atau liberal. Dengan demikian tak jarang banyak orang kebingungan menentukan mana yang ‘sebenarnya’ agama.

Sejumlah kalangan menilai kerancuan itu akibat ‘hubungan gelap’ antara agama dan politik. Agama dipaksa tercebur dalam kubangan intrik dan kepentingan. Dari situ agama lalu dipahami dengan cara yang sangat sempit.

Jika menilik pada sejarah, persinggungan agama dan politik telah berulang kali terjadi dan semuanya berakhir buruk. Sejarah Islam misalnya mencatat abad XI-XIII adalah masa beragama yang paling kacau, karena pada masa itu agama terseret dalam rentetan konflik dan peperangan. Sebut saja persitiwa perang salib, invasi besar-besaran di Mongol, hingga berbagai kekacauan yang disebabkan oleh kemunculan sekte-sekte ekstrimis seperti Ibadiyah dan Qaramitah.

Berbagai kekacuan yang ada saat itu bermuara pada akar yang sama, yaitu sentimen dan agitasi terhadap agama dan madzhab. Umat dicekoki dengan ragam hasutan yang mengatasnamakan kepentingan agama. Tumpukan kekacauan dan kekerasan yang dilakukan selalu diartikan sebagai cara benar untuk membela agama.

Sejarah telah pula menunjukkan kepada kita bahwa selalu ada respon terkait dengan kondisi agama yang sedang dipermainkan oleh segelintir penganutnya ini. Respon tersebut dikelompokkan dalam dua varian: pertama, respon positif, yaitu usaha membangun atau memperbaiki hubungan antara agama dan politik agar menjadi lebih akomodatif dan terbuka, tidak kaku dan anti terhadap perbedaan.

Di waktu bersamaan mereka pun lalu mengambil jarak dengan politik, hal ini dimaksudkan agar agama tidak dipolitisasi sedemikian rupa sehingga upaya penyelamatan tradisi dan peradaban keilmuan agama masih dapat terus dilakukan. Kelompok ini cenderung lebih terbuka dalam menerima perbedaan, baik perbedaan pada level madzhab maupun perbedaan dalam level agama sekalipun. Karena menurut mereka, perbedaan adalah berkah.

Kelompok ini digerakkan diantaranya oleh tokoh-tokoh dan ulama terkenal yang tergabung dalam jaringan Ikhwan as-shafa di masa dinasti Abbsaiyah. Demikian pula dengan para habaib Hadhramaut yang menghadang langsung laju Ibadiyah dan Qaramitah. Atau seperti sufi terkemuka sekelas Jalaludin Rumi yang menohok kesadaran sejati lewat bait-bait puisinya.

Sementara respon negatif dengan mengutamakan pemahaman dan sikap ekstrim juga muncul sebagai opsi kedua. Ciri utama kelompok ini terletak pada upayanya membangun politik identitas dengan meng-arus-utama-kan sentimen terhadap kelompok-kelompok lain di luar Islam (tentu saja islam versi mereka). Mereka menyajikan ajaran-ajaran agama yang sengaja dibuat kaku, keras, dan sombong terhadap penafsiran lain dan kritik. Salah satu tokoh terkenal dalam aliran ini adalah Ibn Taimiyah, terutama dalam konteks perang salib dan invasi Mongol.

Dalam konteks saat ini –dimana agama kembali diseret menjadi bagian dari kekacauan— kelompok pengusung paham dan sikap kaku dalam beragama kembali dimunculkan. Agama digunakan sebatas media pembeda antara ‘kita’ dan ‘mereka’. Semangat membeda-bedakan kelompok lain yang tidak sepaham dengan mereka seolah telah menjadi agenda utama.

Namun, kita tidak boleh lupa bahwa masih dan akan selalu ada opsi lain yang lebih moderat dan toleran dalam mensikapi ‘kekacauan’ beragama. Penghormatan terhadap perbedaan dan keterbukaan fikiran justru menjadi jalan utama mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin. Sementara kecenderungan beragama secara kaku dan sempit justru akan menjadi jalan terjal bagi usaha maju dan malah membuat semakin terjepit.

Kini pilihan ada di tangan kita, tak perlu membuat semuanya menjadi sulit. Kita cukup punya kesadaran bahwa sejatinya beragama itu adalah upaya menjadi lebih baik. Sementara kebaikan tidak mungkin dicapai lewat jalan-jalan permusuhan dan semangat untuk membeda-bedakan.

Facebook Comments