Buku adalah jendela dunia, karenanya membaca dapat membantu seseorang untuk ‘ngintip’ apa yang sedang terjadi di luar sana, begitu kira-kira adagium yang biasa diperdengarkan tentang pentingnya membaca. Hal ini memang benar adanya, karena dengan membaca seseorang bisa membuka mata dan hati untuk mengetahui hal-hal penting yang sedang terjadi. Namun fenomena kebencian dan hasutan permusuhan yang sempat merebak belakangan ini telah sedikit menggoyahkan adagium di atas dari ‘singgasana’ nyamannya.
Orang mulai khawatir kalau aktifitas membaca justru bisa membuat otak terpelintir, terlebih saat ini mulai banyak orang yang melempar pemikiran-pemikiran yang tidak jelas juntrungan-nya justru akibat rajin membaca. Meski begitu, hal ini tidak lantas bermakna bahwa membaca adalah sesuatu yang buruk, karena masalah utamanya tidak terletak pada “aktifitas” membaca, tetapi “apa” yang dibaca.
Undang-undang tentang kebebasan pers sering kali disalahgunakan sebagai perlindungan bagi sebagian orang untuk menyebarkan kebohongan dan hasutan dalam bentuk bahan bacaan. Sehingga jika tidak hati-hati, membaca justru bisa membuat otak lemas dan kemudian mati. Selain membaca, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah kecenderungan untuk begitu saja men-share tulisan atau gambar yang belum jelas validitas kebenarannya. Sebab, kalau berita yang disebar ternyata tidak benar, bisa berbahaya untuk orang lain yang membacanya.
Intinya, jangan terburu membagikan tulisan atau gambar sebelum diketahui kebenarannya, karena hal itu akan memiliki efek langsung ke orang lain yang menerima tautan tersebut. Minimal dibaca dulu deh beritanya sebelum akhirnya disebar ke orang Lain. Jangan sampai berita yang tidak benar menyebar di masyarakat.
Membaca juga bukan lagi tentang menerima informasi dan langsung mempercayainya begitu saja, karena pembaca harus melakukan proses penyaringan terlebih dahulu terhadap informasi yang diterima. Jangan mengira segala hal yang muncul sebagai bahan bacaan (entah dalam bentuk buku, website, tabloid, stiker, apalagi up date status di medsos), dapat digunakan sebagai landasan otoritatif atas kebenaran. Silahkan membaca, namun tetap waspada.
Minimal lakukan tiga hal berikut ini sebelum mulai membaca;
- What to know?
Sebelum membaca, sebaiknya tentukan dulu subjek apa yang ingin dipahami. Simple-nya, kalau ingin belajar tentang agama, jangan membuka buku memasak. Hal semacam ini penting untuk dilakukan karena bisa membantu menyiapkan fokus dan konsentrasi. Sehingga ketika membaca sudah tahu apa yang ingin dicari. Membaca secara acak juga bagus, tetapi tidak untuk hal-hal yang sifatnya serius.
- What to read?
Jika sudah tahu apa yang ingin dipahami/dipelajari, kini saatnya menentukan bahan bacaan apa yang harus dikonsumsi. Jika sudah sampai ke taraf ini, biasanya pilihan akan bergantung pada selera. Ada orang yang senang membaca tulisan-tulisan panjang nan mendalam, ada pula orang yang senang membaca tulisan-tulisan singkat namun padat. Hal itu tidak masalah sama sekali, sebab yang paling utama dari proses membaca adalah menjaga sikap kritis dan curiga terhadap bacaan yang sedang ‘berdansa’ di depan mata. Hal tersebut dapat dilakukan dengan selalu mengajukan pertanyaan berikut; masa sih? Apa benar begini? Jangan-jangan.. dll.
- What to compare?
Terakhir, pastikan bahwa bacaan berlanjut ke tingkat berikutnya, yakni mencari pembanding untuk bacaan yang telah diselesaikan. Karena bisa jadi, analisa dan pendapat si A berbeda dengan si B, dan seterusnya. Membandingkan tidak sama dengan mencari-cari kesalahan, hal ini hanya dimaksudkkan untuk memperkaya wawasan, sehingga tidak mudah gerah akibat terjerembab dalam bacaan salah.
Mari terus membaca dengan cerdas dan bijaksana, tidak mudah percaya begitu saja pada apa yang dibaca. Tidak pula berhenti pada satu atau dua bacaan saja, karena membaca adalah nafas untuk otak dan hati, yang harus terus hidup.