Dunia mengulang dirinya sendiri, setepat-tepatnya dan selama-lamanya. Demikian ungkapan seorang fisikawan-novelis Alan Lightman. Tafsir dari pernyataan itu barangkali ialah bahwa kehidupan di dunia hanyalah repetisi alias pengulangan dari yang sudah terjadi di masa lalu. Peristiwanya barangkali berbeda, namun pola kejadian dan latar belakangnya selalu sama. Meski demikian, sebagai manusia yang dikaruniai akal dan kehendak bebas, kita memiliki pilihan dan kemampuan untuk mengubah keadaan; belajar dari masa lalu agar tidak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Sikap menolak mengulang kesalahan itu hanya bisa muncul manakala kita mau melakukan refleksi atas apa yang telah lalu. Dan, suasana akhir tahun seperti saat ini selalu menjadi momen paling tepat untuk melakukan permenungan ke dalam diri.
Tahun 2020 akan segera usai dan menyisakan cerita tersendiri. Bagi kita, tahun 2020 merupakan tahun yang berat. Selain pandemi, 2020 juga diwarnai beragam persoalan sosial, dan politik yang bertubi-tubi dan memperkeruh suasana yang tidak sedang baik-baik saja. Di awal pandemi, dunia maya kita banjir oleh misinformasi. Berbagai narasi fiktif menyebut virus Corona buatan manusia dan pandemi merupakan konspirasi elite global menyeruak ke permukaan. Gelombang misinformasi itu lantas menimbulkan kesimpangsiuran di tengah masyarakat. Sampai saat ini, masih ada masyarakat yang percaya bahwa corona ialah rekayasa. Akibatnya, banyak orang abai protokol kesehatan.
Menjelang akhir tahun, dunia maya kita heboh oleh kontroversi kepulangan Moh. Rizieq Syihab (MRS) petinggi Front Pembela Islam (FPI) dari pelariannya di Arab Saudi. Kepulangan MRS menyisakan rangkaian drama kontroversial, mulai dari kerumunan massa penjemput di bandara sampai pelanggaran protokol kesehatan di acara Maulid Nabi dan pernikahan putrinya. Terakhir, kontroversi itu memuncak pada peristiwa baku tembak antara Laskar FPI dan Polisi yang menewaskan enam pengawal MRS. Rangkaian peristiwa itu telah memantik debat yang diwarnai oleh ujaran kebencian, caci-maki, fitnah dan narasi arogan sekaligus intoleran. Bisa dibilang, sepanjang 2020 dunia maya kita dibelenggu ujaran kebencian dan narasi intoleran. Gelombang kebencian dan intoleransi dunia maya itu lantas membuat relasi kebangsaan kita mengendur. Komitmen persatuan bangsa mulai memudar seiring dengan meningkatnya sentimen arogansi individu dan kelompok.
Jangan Mengulang Kesalahan di Tahun 2020
Tahun 2020 tinggal menghitung hari. Dan di hari-hari penghabisannya, kita wajib merenungkan pertanyaan penting: apakah kondisi carut-marut dunia maya ini akan kita langgengkan di tahun depan? Jika iya, maka kita tidak ubahnya seekor keledai yang rela jatuh di lubang yang sama hanya untuk memvalidasi kebodohannya. Kita jelas bukan keledai. Kita ialah manusia Indonesia yang mewarisi karakter leluhur yang dikenal inklusif dan toleran. Maraknya kebencian dan narasi intoleransi di kanal maya ialah bukti bahwa kita telah tercerabut dari akar keindonesiaan kita.
Tahun 2021 idealnya menjadi momentum pembebasan dunia maya dari kebencian dan narasi intoleransi. Diperlukan komitmen seluruh elemen masyarakat dan komponen bangsa untuk mewujudkan dunia maya steril dari kebencian, narasi intoleransi, persekusi daring, perundungan daring dan perilaku yang merendahkan nilai kemanusiaan lainnya. Dalam konteks yang lebih mendasar dan subtansal, belenggu kebencian dan narasi intoleransi itu bisa dilepaskan dari dunia maya jika kita sebagai penggunanya mau kembali ke esensi dasar kebangsaan kita, yakni agama dan budaya. Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar dan bertahan sampai detik ini karena ditopang oleh dua pilar penting, yakni agama dan budaya.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat relijius yang memegang teguh ajaran, prinsip dan nilai keagamaan. Dari sejumlah agama yang berkembang di Indonesia, tidak ada satu pun yang memberikan ruang bagi tumbuhnya kebencian dan intoleransi. Semua agama baik yang berakar pada tradisi Nusantara maupun agama Abrahamik semuanya mengajarkan tentang inklusivisme dan toleransi. Begitu pula dalam hal budaya. Multikulturalitas bangsa Indonesia ialah cerminan nilai kemanusiaan. Semua tradisi, adat-istiadat dan budaya yang berbeda diakui dan diposisikan secara setara dalam bingkai Pancasila dan Bineka Tunggal Ika. Inti dari kebudayaan Nusantara ialah menempatkan kemanusiaan di atas segalanya sehingga tidak menyisakan ruang bagi kebencian, dan permusuhan. Hal itu tercermin dari tradisi gotong-royong, guyup-rukun dan sejenisnya yang dimiliki hampir seluruh etnis di Indonesia.
Pentingnya Membedakan Freedom of Speech dan Hate-Speech
Ironisnya, kini perbedaan agama dan budaya itu justru menjadi sumber bagi munculnya kebencian dan narasi intoleransi di dunia maya. Ratusan tahun kita susah payah membangun paradigma multikulturalisme dan multirelijiusisme, namun sekarang mulai hancur oleh maraknya kebencian dan narasi intoleran yang disebar oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Inilah saatnya kita bertindak tegas membersihkan dunia maya dari konten-konten negatif. Dimulai dari lingkup terkecil, yakni wilayah domestik keluarga. Sebagai institusi inti dari masyarakat, keluarga berperan penting menanamkan budi pekerti, etika dan karakter kepada anak, termasuk dalam hal berinternet secara sehat dan bijak. Anak-anak sebagai generasi digital native harus dibekali kemampuan literasi yang mumpuni agar tidak tersesat di belantara dunia maya dan terseret arus kebencian dan narasi intoleransi.
Dalam lingkup yang lebih luas, yakni masyarakat semua komponen mulai dari lembaga pendidikan, organisasi keagamaan hingga jaringan masyarakat sipil harus bersinergi untuk membersihkan dunia maya dari konten berbau kebencian dan intoleransi. Pendekatan sosial-empatik untuk mengampanyekan internet cerdas, sehat dan damai selama ini terbukti jauh lebih efektif menangkal penyebaran hoaks, kebencian dan intoleransi ketimbang penegakan hukum. Seperti diketahui, penegakan hukum acapkali tidak mampu membuat jera pelaku penyebaran kebencian dan intoleransi di dunia maya. Ibaratnya, satu orang ditangkap dan dipenjara karena ujaran kebencian, muncul ribuan lainnya yang melakukan tindakan serupa.
Disinilah pentingnya pemahaman publik bahwa kebebasan berpendapat (freedom of speech) memiliki prinsip yang berbeda dengan ujaran kebencian (hate-speech). Kebebasan berpendapat ialah hak semua warganegara untuk menyampaikan gagasan, opini bahkan kritik terhadap isu apa pun dengan argumentasi dan fakta yang kuat, serta disampaikan dengan cara dan bahasa yang menjunjung etika. Sedangkan ujaran kebencian ialah narasi hasutan, cemoohan, provokasi dan adu-domba yang memanfaatkan sebuah isu untuk menimbulkan keresahan publik. Harus diakui, publik kerapkali gamang membedakan mana freedom of speech dan mana hate-speech. Kesadaran untuk kembali ke nilai agama dan budaya serta penanaman nilai dan karakter di lingkup keluarga dan masyarakat ini penting agar belenggu kebencian dan narasi intoleransi di dunia maya dapat diurai. Tentu upaya itu tidak mudah, namun berbekal semangat dan optimisme kita tentu bisa mewujudkannya.