Aktualisasi Nilai Haji Untuk Kesadaran Pluralitas dan Kemanusiaan Universal

Aktualisasi Nilai Haji Untuk Kesadaran Pluralitas dan Kemanusiaan Universal

- in Narasi
564
0
Aktualisasi Nilai Haji Untuk Kesadaran Pluralitas dan Kemanusiaan Universal

Semangat umat muslim Indonesia maupun dunia untuk menunaikan ibadah haji di Mekkah setiap tahunnya, tak terbendungkan. Alih-alih jemaah berkurang, malah kian bertambah setiap tahun. Ambisi umat muslim untuk menunaikan haji terpatri sangat kuat di dalam sanubari, sehingga tidak gentar untuk mengundurkan diri. Meskipun berkali-kali terjadi petaka yang menelan korban, terkhusus di terowongan mina dan pelontaran jumrah.

Dalam buku The New World of Islam karya L Stodard, ia sangat mengagumi militanisme umat muslim yang tidak pernah padam untuk memenuhi panggilan haji, meskipun diterpa berbagai musibah. Pada konteks ini, militanisme bukan berarti tidak baik dalam menjaga konsistensi beribadah, tetapi ibadah tidak akan memadahi jika hanya mengandalkan militanisme, tanpa landasan yang kuat dan pemahaman rasional.

Jika Ibadah hanya mengedepankan militanisme, maka esensi ibadah akan terdistorsi, sehingga hanya berujung untuk kepuasan batin dan emosi individual. Padahal, hakikat ibadah mempunyai tujuan lebih luas, yakni untuk mengimplementasikan berbagai aspek kehidupan dan nilai kemanusiaan universal. Jadi, ibadah tidak hanya sebatas untuk kepentingan transformasi diri berlandaskan emosi individual.

Tujuan haji dimaklumatkan Allah untuk seluruh umat manusia. Pada firman Allah, menyebutnya dengan kata waazizn fi an-nas bi al-haj, ”Serukanlah wahai Ibrahim kepada umat manusia untuk berhaji”. Dari kalimat tersebut dapat kita analisis, bahwa seruan Allah menggunakan kata fi an-nas (manusia), bukan fi al-mu’min. Sehingga seruan haji adalah bukan hanya untuk orang mu’min, melainkan seluruh umat manusia.

Menurut Fazlurrahman dalam karyanya “Islam” mengatakan, bahwa firman Tuhan tidak selalu bermakna tunggal, ada pula yang memiliki dua makna, yakni ideal spesifik dan makna ideal moral. Adapun ayat seruan haji bermakna spesifik hanya kepada umat muslim untuk menunaikan haji. Sedangkan makna ideal moralnya adalah sejauhmana implikasi ibadah haji yang ditunaikan umat muslim mampu menjadi motor kemaslahatan positif dan meningkatkan kesadaran kemanusiaan universal.

Memang, ibadah haji merupaan ibadah individual bukan ibadah muta’adiyah (sasaran umum), tetapi bukan berarti ibadah haji diakui oleh pelakunya sekedar memonopoli nikmat beribadah sesuai dengan selera kepentinganya, setelah itu yang bersangkutan tidak merasa memiliki beban atau tanggung jawab sosial ke depanya. Perbuatan ibadah seperti ini tergolong pada aroganisme ibadah, yakni hanya untuk memenuhi sentralisme bersenang-senang dengan Tuhan secara elitis. Sementara itu, hubungan egaliter di antara sesama manusia diabaikan.

Monopoli ibadah haji

Tidak heran, jika saat ini banyak umat muslim yang memiliki harta lebih, tergoda untuk memonopoli ibadah haji, yakni dengan haji berulang-ulang kali. Mereka melakuknya tanpa beban psikologis merasakan lingkunganya yang belum menunaikan haji. Inilah frame kebatinan semu yang tidak boleh berlanjut apabila titik pijaknya hanya melampiaskan rindu dan hiburan dalam kemasan ibadah. Sementara di pusat kesadaran batinnya tidak tumbuh sifat kemanusiaannya untuk membenahi lingkungan yang ditinggalkannya.

Keadaan tersebut menandakan tentang militanisme umat Islam dalam berhaji. Merujuk pada buku The Transcendent Unity of Religions karya Frithjof Schoun bahwa, ibadah seperti itu merupakan ibadah yang masih cenderung pada dimensi eksoterisnya, yakni dimensi mengandalkan sorak-soraknya kepuasan dan kegembiraan simbolisme fisik. Mereka berulang-ulang haji dan pulang berlambangkan pakaian haji sebagai identitasnya, sekaligus mencerminkan perbedaan kasta dengan lingkunganya.

Fenomena seperti ini menurut Ali Syari’ati dalam karyanya “Hajj” merupakan perilaku yang tidak orisinil, jauh dari nilai-nilai fakta, etika, pengetahuan, dan perubahan keimanan menuju emanensi ke jalan Tuhan. Kepulangan haji palsu yang masih banyak didominasi identitas pakaian, lahiri (dimensi eksoteris) simbol, dan status yang menjauhkan dari nilai-nilai egalitarianisme kemanusiaan universal.

Sedangkan menurut Frithjof, pada kasus seperti itu, selain dimensi eksoteris atau lahiri bagi pelaku haji, juga harus diiringi dengan dimensi esoterisnya atau aspek batinya sebagai kekuatan teransendensi yang memancarkan kesatuan transenden (trancsendence unity). Kekuatan tersebut menyatu dalam sanubari pelaku haji agar tumbuh rasa tanpa pamrih, tanpa pembeda, dan tanpa terpaksa peduli terhadap ketimpangan dan kekumuhan sosialnya yang sudah lama dipinggirkan.

Pada ritual ihram dalam runtutan ibadah haji, dilepas segela kepentingan dan identitasnya. Hal ini menandakan, bahwa semua manusia sama, tidak membedakan ras, suku, kulit, miskin, kaya, pejebat, dan rakyat biasa. Semuanya melebur dalam kerukunan dan kesatuan. Tidak boleh ada yang merasa dipinggirkan dan tidak boleh ada yang merasa di tingkat atas.

Seringkali pakaian juga menjadi pemicu perpecahan umat. Pakaian acapkali juga ditampilkan sebagai kemewahan yang mengundang egoisme dalam merakit kemanusiaan sesama. Hal ini senada dengan pernyataan Ali Syari’ati, bahwa pakian menyebabkan manusia seperti srigala yang menerkam hewan yang lemah. Dengan pemikiran, umat bisa saling menghujat dan rasis, sehingga enggan hidup dalam keragaman, perdamaian, dan persatuan.

Maka dari itu, dengan sehelai kain ihram berwarna putih yang dipakai setengah badan oleh seluruh umat muslim yang melaksanakan ibadah haji, merupakan symbol penolakan dari segala bentuk diskriminasi, rasis dan anti rasa kemanusiaan.

Misi Kemanusiaan Universal

Penjebaran di atas, menanadakan bahwa betapa kuatnya misi kemanusiaan yang ditonjolkan dalam ibadah haji. Pada hakikatnya, misi inilah yang menjadi oleh-oleh bagi para Jemaah, saat pulang ke kampung halaman masing-masing. Sehingga mampu amenjadi pelopor mengimplementasikan seluruh misi haji yang berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti kesalehan sosial, kesejahteraan ekonomi, dan hidup saling harmoni dalam keragaman dengan penuh kedamaian.

Kondisi Indonesia saat ini, masih dilanda dengan multi krisis, baik dari aspek ekonomi, sosial, hukum, budaya, dan politik yang belum stabil. Bahkan, kondisi tersebut diperburuk dengan munculnya sikap menghujat dan narasi-narasi kekerasan di media sosial. Sehingga sangat membutuhkan keterlibatan umat yang saleh, professional, cerdas, dan berintegritas.

Maka dari itu, mari kita pahami dan amalkan deklarasi dari khotbah perpisahan Nabi dalam kehidupan-sehari-hari, yaitu: ”wahai umat manusia buanglah perilaku jahiliyah yang rasis tidak sejalan dengan ajaran tauhid. Darah, kehormatan, harga diri, harta haram bagi orang lain. Janganlah saling membunuh dan mengisap darah sesama. Berilah dan tempatkan wanita dalam hak, kedudukan, dan martabat yang sama. Didiklah para budak untuk mendapatkan ilmu dan kesejahteraan. Tegakkanlah hidup dalam keragaman (tidak membedakan antara ras hitan dan ras putih), persatuan dan kedamaian di antara sesama umat manusia.” Wallahu a’lam bi al-shawab.

Facebook Comments