Ancaman Mikrofasisme Agama dan Kesiapsiagaan Nasional Menjaga Kemerdekaan Bangsa

Ancaman Mikrofasisme Agama dan Kesiapsiagaan Nasional Menjaga Kemerdekaan Bangsa

- in Narasi
561
0
Ancaman Mikrofasisme Agama dan Kesiapsiagaan Nasional Menjaga Kemerdekaan Bangsa

Tujuh dekade lebih bangsa ini merdeka dari penjajahan. Dua dekade terakhir, bangsa ini juga menikmati alam demokrasi yang ditandai oleh semangat keterbukaan dan kebebasan. Namun, gejolak demi gejolak sosial-keagamaan terus saja menghantui perjalanan bangsa. Gejala-gejala kecil gesekan sosial yang dilatari perbedaan agama kini mulai bereskalasi menjadi konflik sosial nyata di tengah masyarakat. Terakhir, kita dikejutkan dengan pemberitaan seputar penyerangan rumah warga pengikut aliran Syiah di Surakarta, Jawa Tengah oleh segerombolan massa yang mengatasnamakan dirinya “Laskar Solo”.

Peristiwa memilukan tersebut bisa dipastikan hanyalah secuil dari potret buram relasi sosial-keberagamaan kita selama kurang lebih dua puluh tahun terakhir ini. Pasca Reformasi 1998, ruang publik yang bebas dan terbuka segera diambil alih oleh kelompok-kelompok vigilantis berbaju agama yang kerap memaksakan kehendaknya terhadap kelompok lain. sasaran utama kelompok ini ialah golongan agama atau aliran minoritas, mulai dari kelompok non-muslim, aliran Ahmadiyyah, dan belakangan Syiah. Dengan kekuatan massa yang mereka miliki, mereka berusaha menekan kelompok minoritas agar patuh pada aturan main yang mereka buat sendiri. Kelompok inilah yang disebut oleh Buya Syafi’i Ma’arif sebagai “preman berjubah”. Penyebutan itu meskipun bernada peyoratif, namun dalam banyak hal merepresentasikan realitas yang sesungguhnya.

Ormas-ormas vigilantis yang gemar main hakim sendiri dan mengedepankan cara-cara kekerasan untuk menekan kelompok yang berbeda pandangan ini memang lebih mirip preman ketimbang pejuang agama. Di satu sisi, mereka mengklaim menegakkan kesucian agama Allah, namun di saat yang sama mereka juga menuding kelompok yang berseberangan sebagai kafir dan sesat. Bahkan, mereka tidak segan memakai cara kekerasan untuk menghalangi aktivitas ibadah kelompok-kelompok tertentu, mulai dengan menyegel tempat ibadah, bahkan merusaknya. Fenomena yang demikian ini tentu menjadi ironi tersendiri prinsip kemerdekaan, kebebasan dan kesetaraan dalam hal sosial, politik dan agama yang selama ini dijunjung tinggi di negeri ini.

Baca Juga : Dekonstruksi Beragama Dan Siap siaga Menjaga Kemerdekaan Bangsa

Para preman berjubah yang dengan arogannya mengibarkan panji-panji takfirisme terhadap kelompok yang berseberangan ialah kelompok yang disebut oleh Paul F. Knitter sebagai “mikrofasisme agama”. mereka layak menyandang predikat tersebut lantaran secara jumlah, mereka sebenarnya tergolong minoritas. Seperti kita ketahui, mayoritas umat beragama di Indonesia umumnya berkarakter moderat, toleran dan inklusif. Namun, meski secara komposisi demografis mereka tergolong komunitas mikro, secara sosiologis mereka kerap menunjukkan posisi yang dominan di ruang publik. Hal itu dimungkinkan lantaran mereka aktif mengorganisasi dan memobiliasi massa sebagai bagian dari strategi menekan kelompok yang berseberangan dengan mereka.

Unjuk kekuatan massa sebagaimana dipertontonkan oleh kaum radikal-takfiri inilah yang selama ini menjadi ancaman bagi harmoni kebangsaan. Dalam perspektif yang lebih luas, radikalisme-takfirisme juga menjadi ancaman serius bagi kemerdekaan bangsa. Radikalisme-takfirisme yang marak berkembang belakangan ini tidak diragukan telah memunggungi spirit para pendiri bangsa. Para pendiri bangsa telah meletakkan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang berpedoman pada nilai-nilai kemanusiaan. Para pendiri bangsa menginginkan Indonesia tumbuh sebagai rumah bersama bagi semua golongan dan entitas suku, ras dan agama.

Fenomena mikrofasisme agama yang mewujud pada gerakan radikal ini tentu memperihatinkan. Keragaman suku, agama dan ras di Indonesia seharusnya bisa menjadi kekuatan dan modal sosial untuk meraih kemajuan. Namun, kaum radikal tampaknya mengalami gejala gagal paham dalam mengelola keragaman. Bagi mereka, kelompok yang berbeda ialah musuh yang harus dimusnahkan. Kenyataan ini menyadarkan kita bahwa tantangan dan ancaman nyata bagi kemerdekaan bangsa saat ini ialah kelompok radikal dengan karakternya yang eksklusif, arogan bahkan fasis. Mereka gemar mengerahkan kekuatan massa bahkan menggunakan cara main hakim sendiri (vigilante) demi memuluskan agenda terselubungnya. Situasi ini kian parah ketika masyarakat cenderung permisif bahkan apatis pada praktik sosial-keagamaan yang menyimpang ini.

Sinergi Pemerintah dan Masyarakat Menangkal Gerakan Radikal

Diperlukan kesiapsiagaan nasional yang melibatkan seluruh unsur dan elemen bangsa untuk menjaga kemerdekaan dari ancaman gerakan radikal. Sebagaimana kemerdekaan yang diraih dengan perjuangan fisik, harmoni kebangsaan juga tidak lahir dari ruang kosong, alih-alih lahir dari proses panjang. Diperlukan komitmen kebangsaan yang tinggi untuk menerima perbedaan dan mengelolanya dalam bingkai kesetaraan dan keadilan. Pemerintah dan masyarakat memiliki peran dan tanggung jawab yang setara dalam hal ini. Di satu sisi, pemerintah harus mengamalkan apa yang diistilahkan oleh Paul Ricouer sebagai “negara partisipatoris”. Yakni sikap negara yang mau terlibat langsung mengurusi persoalan kebangsaan, terutama melalui pendidikan.

Seperti kita ketahui, sistem pendidikan nasional kita selama ini belum memberikan porsi lebih pada isu-isu heterogenitas dan inklusivitas agama. Akibatnya bisa dilihat, output pendidikan kita cenderung belum mampu menghasilkan manusia yang memiliki karakter intelektual, relijius, namun juga nasionalis dan berwawasan kebangsaan luas. Maka dari itu, pemerintah berkewajiban menjadikan lembaga pendidikan sebagai laboraturium integrasi sosial-agama yang melahirkan insan-insan yang berkarakter moderat, toleran dan inklusif. Sosok-sosok seperti itulah yang akan mengisi kemerdekaan bangsa melalui inovasi atau terobosan yang bertumpu pada prinsip dan nilai kemanusiaan.

Tentunya, negara partisipatoris itu tidak aka nada artinya tanpa keberadaan masyarakat sipil yang terbuka, independent dan progresif. Kesiapsiagaan nasional dalam menjaga kemerdekaan bangsa dari ancaman radikalisme membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat sipil (civil society). Dalam hal ini, masyarakat sipil perlu membangun sinergi dan konsolidasi untuk membangun semacam gerakan tandingan bagi kelompok radikal. Kita tidak boleh membiarkan kelompok radikal yang sebenarnya berjumlah mikro dan minoritas itu menguasai ruang publik kita. Segenap kekuatan masyarakat sipil harus bersinergi dan bersatu-padu membendung gerakan radikal yang harus kita akui mulai mendominasi ruang publik kita. Di tahun 2020 ini, kita merayakan Hari Kemerdekaan di tengah suasana penuh keprihatinan. Di depan mata, wabah Covid-19 semakin hari kian sukar dikendalikan. Dampak ekonomi dan ongkos sosial akibat pandemi ini harus kita bayar mahal. Belum lagi dinamika polariasi politik di tengah masyarakat sebagai residu Pilpres 2019 yang belum reda sepenuhnya. Hal itu diperparah dengan maraknya narasi propaganda radikalisme yang nyaris saban hari tersaji di ruang publik virtual kita. Tentu semua persoalan itu harus kita pahami sebagai bagian dari dinamika kebangsaan yang jika berhasil dilewati akan membuat bangsa kita naik kelas satu tingkat lebih maju dan solid. Maka, sangat penting bagi pemerintah dan masyarakat sipil untuk membangun sinergi demi memperkuat kesiapsiagaan nasional dalam menjaga kemerdekaan bangsa terutama dari ancaman kelompok mikrofasisme berkedok agama.

Facebook Comments