Sabtu, 23 November, 2024
Informasi Damai
Archives by: M. Katsir

M. Katsir

0 comments

M. Katsir Posts

Hinaan terhadap Ibu Negara dan Problem Arus Kebencian di Media Sosial

Perhelatan G20 yang diadakan di Bali menuai kesuksesan luar biasa. Pujian tidak hanya datang dari dalam negeri tetai juga dari luar negeri, bahkan para pemimpin negara. Indonesia tidak hanya sukses menggelar denga naman dan lancar, tetapi secara subtansi dan tujuan bisa tercapai. Namun, di tengah hingar binger kesuksesan itu selalu ada kata nyinyir yang selalu muncul. Salah satu yang sempat viral adalah perihal hinaan yang dilakukan oleh netizen terhadap Ibu Negara, Iriani Jokowi. Sontak masyarakat dibuat geram dengan hinaan terhadap penampilan ibu negara tersebut. Ternyata hinaan itu terus berlanjut meskipun satu pelaku telah meminta maaf. Ditemukan akun lain dengan nada hinaan dengan topik yang berbeda-beda. Kenapa hal ini muncul? Sebuah candaan? Atau kritik? Atau hanya keusilan? Sejatinya masyarakat sudah sangat belajar dari berbagai kasus ketidakcerdasan bermedia sosial yang berujung penjara. Jeratan UU ITE akibat ceroboh dalam bermedia sosial telah banyak memakan korban. Tetapi mengapa arus hinaan dan cacian di media sosial kerap muncul bahkan kepada sosok seperti Presiden dan Istri Presiden sekalipun. Apakah kurang literasi? Jika mengatakan bahwa kurangnya literasi sebagai akar dari kecerobohan orang dalam menggunakan media sosial rasanya kurang tepat. Masyarakat tentu memiliki literasi yang bagus dalam persoalan teknologi dan informasi jika sudah belajar dari berbagai kasus yang ada. Nampaknya, bukan sekedar kurangnya literasi, tetapi sejatinya yang menjadi salah satu penyebab seseorang jatuh dalam ujaran kebencian, provokasi dan hasutan di media sosial adalah karena belum mampu bebaskan diri dari narasi kebencian. Ketidaksukaan dalam konteks yang berbeda pandangan politik, agama, etnis dan budaya memang kerap melahirkan rasa benci. Rasa benci inilah yang mendorong seseorang tidak memiliki prestasi, tetapi suka menebar sensasi. Apa yang disampaikan bukan berdasarkan profesi, tetapi murni kebencian dan ketidaksukaan terhadap seseorang berdasarkan pilihan sadar. Karena itulah, narasi kebencian ini menjadi salah satu parameter penyakit di media sosial yang disebut dengan ujaran kebencian (hate speech). Ujaran kebencian menjadi salah satu momok yang banyak menjerat mereka yang berpendidikan sekalipun atau pun mereka yang sudah pakar dalam bidang teknologi dan informasi sekalipun. Berbagai kasus ini menjadikan diri kita mestinya belajar tentang bagaimana bersikap cerdas dan bijak dalam bermedia sosial. Cerdas berkaitan dengan kecakapan kita dalam mengetahui aturan, norma dan etika bermedia sosial. Sementara, bijak merupakan sikap kematangan dalam diri untuk tidak mengumbar informasi yang menyesatkan diri atau orang lain atau memangkas kebencian terhadap yang berbeda. Varian Narasi Kebencian yang Berujung Jeruji Besi Sejatinya, narasi kebencian itu adalah pangkal pokok yang menjadikan seseorang kehilangan akal sehat. Tidak peduli tingkat intelektual yang dimiliki atau titel akademis yang dimiliki, ketika terinfeksi virus kebencian, logika menjadi mati. Ketika logika mati, narasi pun tidak bisa dikontrol yang sepenuhnya menjadi pengatur adalah emosi. Namun, memang tidak bisa dipungkiri narasi kebencian itu memiliki banyak latarbelakang motif. Pertama, ada narasi kebencian yang secara konsisten dilancarkan seputar kebencian terhadap negara dan pemerintah. Dalam kasus ini, berbeda dengan konteks pandangan kritis. Narasi yang dikeluarkan tidak berada pada tataran logis, tetapi apapun sistem negara dan kebijakannya adalah salah. Berlindung dalam tameng demokrasi dan keterbukaan kritik, narasi kebencian mudah terlihat dari beberapa tokoh yang disambut dengan riang gembira oleh para supporter militannya. Yang terjerat hukum kadang bukan tokohnya tetapi para pendukung yang sejatinya tidak bisa apa-apa dan tidak mendapatkan apa-apa. Mereka martir dari korban narasi kebencian. Kedua, narasi kebencian yang secara konsisten mengalir dalam menyerang pandangan keagamaan dan aliran yang berbeda. Dalam kasus ini, tidak hanya monopoli satu agama tetapi telah dilakukan oleh oknum beragama dari masing-masing agama. Menyerang dan mencaci keyakinan lain seolah serangan seperti itu akan menebalkan imannya sendiri. Ketiga, ada pula kebencian yang secara konsisten dan mulai menyeruak karena perbedaan pandangan politik. Bekas kontestasi politik terus dirawat sehingga polarisasi itu tidak kunjung padam. Saling serang berdasarkan kebencian mudah menyulut emosi masyarakat dan para pendukungnya. Lagi-lagi bukan elite politiknya yang bermasalah dengan hukum tetapi para martirnya yang terkena kasus hukum. Keempat, narasi kebencian yang melibatkan irisan perkawinan antara perbedaan politik dan perbedaan keyakinan. Narasi keempat ini memang populer disebut dengan narasi politik identitas yang banyak memakan tumbal masyarakat bawah. Kolaborasi kepentingan politik dengan menjual identitas keagamaan mudah laku dan menyulut emosi netizen. Karena itulah, berhati-hati dalam bermedia sosial bukan sekedar membutuhkan kemampuan literasi, tetapi juga menjaga diri dari narasi kebencian. Semua bermula karena kebencian sehingga memunculkan narasi yang tanpa kontrol. Jika ingin selamat di media sosial, selamatkan otak dan pikiran kita dari kebencian.
Faktual
Perhelatan G20 yang diadakan di Bali menuai kesuksesan luar biasa. Pujian tidak hanya datang dari dalam negeri tetai juga dari luar negeri, bahkan para pemimpin negara. Indonesia tidak hanya sukses menggelar denga naman dan lancar, tetapi secara subtansi dan tujuan bisa tercapai. Namun, di tengah hingar binger kesuksesan itu selalu ada kata nyinyir yang selalu muncul. Salah satu yang sempat viral adalah perihal hinaan yang dilakukan oleh netizen terhadap Ibu ...
Read more 0

Dari Fanatisme ke Ekstremisme : Bagaimana Menyembuhkan?

Keagamaan
Saat ini, isu kekerasan yang mengatasnamakan agama merupakan fenomena transnasional yang mampu menghasilkan tragedi kemanusiaan yang paling sadis. Banyak sentimen mengatasnamakan agama dan kebenaran bahkan mengatasnamakan Tuhan sebagai pembenaran terhadap tindakan yang mengingkari kemanusiaan. Fakta sejarah telah membuktikan berapa korban berjatuhan akibat tragedi yang menjadikan agama sebagai justifikasi kebenaran. Banyak manusia yang menyajikan panggung kekerasan mengatasnamakan agama selalu memainkan sentimen atas nama perbedaan. Kekerasan dianggap absah sebagai hukuman paling yang ...
Read more 0

Islamofobia Berawal dari Maraknya Politik Identitas

Pada tahun ini, tepatnya 15 Maret Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Internasional untuk MemerangIslamophobia (The Internasional Day to Combat Islamophobia). Ketetapan PBB tersebut dilandasi atas dasar masih banyaknya muslim yang menjadi korban diskriminasi, persekusi hingga pelecehan atas nama agama, khususnya di dunia Barat dan negara minoritas Muslim. Ketidaktahuan dan stigma negatif terhadap Islam memunculkan islamofobia dalam bentuk pikiran hingga tindakan. Umumnya, Islamofobia muncul di negara-negara Barat yang kurang memahami Islam secara utuh. Mereka mengetahui Islam dari perilaku oknum umat Islam yang mengatasnamakan Islam dalam setiap tindakan kekerasan. Lekat sekali pada akhirnya Islam seolah mendukung terorisme akibat media Barat yang memframing Islam sebagai penyebab utama. Keberadaan oknum-onum muslim yang bertindak mengatasnamakan Islam dengan tindakan kekerasan seolah menjadi cara Barat melihat ajaran Islam dan umat Islam secara keseluruhan. Karena itulah, harus dipahami bahwa islamofobia muncul karena ketidaktahuan dan kurangnya berbaur antar lintas agama. Ada perasaan curiga dan dendam memunculkan ketakutan dan kebencian terhadap Islam. Di beberapa negara, upaya menghapus islamofobia dilakukan dengan silaturrahmi dan kerjasama lintas agama untuk mematahkan persepsi dan prasangka salah tentang Islam. Di Indonesia tentu berbeda dengan negara Barat yang masyarakatnya kurang banyak mengenal Islam. Indonesia negara muslim terbesar di mana muslim menguasai ruang dan fasilitas publik di berbagai daerah. Dari area oflline penyiaran hingga dunia maya, orang mengenal dan berinteraksi dengan Islam. Justru kadang ada umat non muslim yang sudah terbiasa mengucapkan : assalamualaikum, masyallah, astghfirullah karena Islam sudah menjadi identitas inheren dalam masyarakat Indonesia. Namun, bukan berarti Indonesia tidak berpotensi tumbuh Islamofobia. Islamofobia muncul karena prasangka ketidaktahuan dan saling memahami di dalam perbedaan. Selain itu, upaya mengeneralisir pelaku dan oknum kriminal berdasarkan agama. Itulah akar islamofobia belajar dari negeri Barat. Jika masyarakat Indonesia justru mengeraskan sikap intoleran dikhawatirkan ada jarak antara muslim dan non muslim yang menghambat saling mengenal dan menghormati. Gerakan Anti Islamofobia di Indonesia sejatinya harus diarahkan pada gerakan untuk menanamkan toleransi dan saling mengenali (tasamuh dan taaruf). Tentu gerakan anti islamofobia bukan untuk memunculkan peneguhan identitas yang ekslusif apalagi dipolitisasi hanya untuk kepentingan kelompok sesaat. Gerakan Anti Islamofobia jangan justru menjadi gerakan yang justru menakutkan karena akan terkesan ekslusif. Gerakan melawan Islamofobia adalah gerakan santun untuk membuktikan Islam yang sebenarnya. Bukan gerakan yang hanya pandai menyalah-nyalahkan kondisi yang sudah harmoni seperti di Indonesia. Gerakan anti Islamofobia harus diarahkan kepada dua hal. Pertama, diarahkan kepada umat Islam untuk mengajak memamerkan Islam yang sebenarnya penuh kesantunan yang jauh dari stigma Barat tentang kekerasan. Kedua, diarahkan kepada non muslim untuk meyakinkan Islam adalah agama yang bersahabat bukan agama yang merusak. Gerakan anti Islamofobia harus bermula dari mengurangi politik identitas yang kerap menjual agama. Itulah esensi gerakan Anti Islamofobia yang harus digalakkan. Jangan sampai gerakan ini hanya ditunggangi oleh kepentingan politik yang hanya menjadikan isu islamofobia sebagai dagangan politik menarik simpati umat. Semakin politik identitas dijual semakin memperlebar potensi islamofobia.
Faktual
Pada tahun ini, tepatnya 15 Maret Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Internasional untuk MemerangIslamophobia (The Internasional Day to Combat Islamophobia). Ketetapan PBB tersebut dilandasi atas dasar masih banyaknya muslim yang menjadi korban diskriminasi, persekusi hingga pelecehan atas nama agama, khususnya di dunia Barat dan negara minoritas Muslim. Ketidaktahuan dan stigma negatif terhadap Islam memunculkan islamofobia dalam bentuk pikiran hingga tindakan. Umumnya, Islamofobia muncul di negara-negara Barat ...
Read more 0