Senin, 25 September, 2023
Informasi Damai
Archives by: M. Katsir

M. Katsir

0 comments

M. Katsir Posts

Orang Beriman Pasti Toleran, Tidak Percaya?

Orang Beriman Pasti Toleran, Tidak Percaya?
Keagamaan
Berbicara iman tidak hanya berhenti pada persoalan keyakinan saja. Pembicaraannya pun tidak melulu tentang syirik, bid’ah, murtad dan kafir. Tema-tema itu terlalu menyeramkan untuk menjadi orang beriman. Menjadi orang beriman sederhana, memantapkan keyakinan dan berbuat kebajikan. Iman dan kebajikan sosial adalah dua sisi dari mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Teman sejati orang yang beriman adalah perilaku sosial yang baik. Al-Quran banyak menyandingkan persoalan iman dengan kebaikan sosial. Contohnya : ...
Read more 0

Kampus Siaga dari Radikalisasi: Mengatasi Ancaman Ekstremisme di Perguruan Tinggi

Kampus Siaga dari Radikalisasi: Mengatasi Ancaman Ekstremisme di Perguruan Tinggi
Narasi
Pada 2018 silam, dunia kampus dikejutkan dengan penangkapan dan penggeledahan yang dilakukan oleh Densus 88 Antiteror Polri di salah satu kampus di Pekanbaru Riau. Dalam proses itu, ditemukan bom siap ledak di gelanggang mahasiswa kampus tersebut. Dalam keterangan lanjutan, rencananya bom tersebut akan digunakan aksi untuk diledakkan di Gedung DPR Senayan dan DPRD Riau. Pelaku tidak lain adalah tiga alumni dari kampus tersebut. Pada tahun 2022, kembali Densus 88 menangkap ...
Read more 0

5 Panduan Praktis Moderasi Beragama di Kalangan Milenial

5 Panduan Praktis Moderasi Beragama di Kalangan Milenial
Narasi
Di tengah era digital dan globalisasi saat ini, milenial adalah generasi yang dihadapkan pada beragam pandangan dan keyakinan agama. Namun, sayangnya, kondisi saat ini juga memberikan konteks yang kompleks dengan munculnya ancaman ekstremisme agama di kalangan milenial. Beberapa faktor seperti akses yang lebih besar terhadap internet dan media sosial, pengaruh dari lingkungan sekitar yang terkadang radikal, serta rasa ketidakpastian dan ketidakpuasan terhadap kondisi sosial dan ekonomi, semuanya telah membuat generasi ...
Read more 0

Paradoks Toleransi, Ketidaksantunan dan Perusak Atmosfer Demokrasi yang Sehat

Paradoks Toleransi, Ketidaksantunan dan Perusak Atmosfer Demokrasi yang Sehat
Narasi
Di Swedia dan Denmark atas nama kebebasan berpendapat orang bisa menghina dan menyakiti keyakinan orang lain. Membakar kitab suci diijinkan atas nama kebebasan berpendapat. Harus demokrasi dan kebebasan berpendapat dijalankan dengan prinsip seperti itu? Atau atas nama kebebasan berpendapat, bisakah orang melancarkan kritik dengan menghina martabat orang lain? Pertanyaan-pertanyaan di atas mengingatkan pada teori “paradox toleransi” yang dikemukan Karl Popper. Baginya, kebebasan berpendapat merupakan prinsip fundamental dalam berdemokrasi. Namun, kebebasan ...
Read more 0

Salah Kaprah Hijrah : Dari Kasus Intoleran Hingga Ekstrem

Salah Kaprah Hijrah : Dari Kasus Intoleran Hingga Ekstrem
Narasi
Hijrah memang suatu peristiwa penting-untuk tidak mengatakan paling penting-dalam sejarah Islam. Tonggak sejarah peradaban Islam bukan hanya sebagai agama, tetapi komunitas dimulai dari sejarah ini. Tidak salah jika kemudian ini menjadi penanda awal tahun dalam sistem kalender sendiri yang berbeda dengan kalender masehi. Hijrah sebuah peristiwa yang mengandung makna yang diperingati. Karenanya, hijrah hari ini menyisakan makna yang terus dipelajari dan dipraktekkan. Ada Sebagian pula yang ingin mengulangi sejarah hijrah ...
Read more 0

NII : Gerakan yang Menyimpang dari Ajaran Agama dan Konsensus Negara

NII : Gerakan yang Menyimpang dari Ajaran Agama dan Konsensus Negara
Narasi
Gerakan Negara Islam Indonesia (NII) ternyata masih meresahkan di tengah masyarakat. Berbagai cerita tentang hilangnya beberapa mahasiswa, pembaiatan dan penggelapan uang adalah cerita kecil dari bahaya besar dari gerakan bawah tanah ini. NII meresahkan karena dua hal. Pertama, ia merupakan gerakan yang sejatinya menyimpang dari ajaran agama. Gerakan yang memanipulasi agama-lebih tepatnya politisasi agama-untuk mencapai tujuan politik kekuasaan. Pada prakteknya, ia mengeksploitasi dalil agama sesuai dengan tafsir nafsu politik. Kedua, ...
Read more 0

Wahabi dan Kerentanan Konflik Sosial : Saatnya Momentum Bersih-bersih Ajaran Pemecah Belah

Faktual
Aksi unjuk rasa warga Nahdliyin Kabupaten Pamekasan menolak ajaran Wahabi terjadi di depan masjid Usman bin Affan di Nyalabuh. Gerakan ini dipicu oleh viralnya video Yazir Hasan yang menyampaikan perayaan maulid Nabi Muhammad SAW merupakan ajaran sesat dan tanpa dasar yang kuat. Tidak hanya itu ia juga menyampaikan bahwa pendiri NU, Kiayi Hasyim Asya’ari menolak keras ajaran Maulid di Indonesia. Diketahui bahwa pernyataan dari Yazir ini diungkapkan pada saat shalat ...
Read more 0

Menguji Air Mata Umar Patek dan Masa Depan Ancaman Teror di Indonesia

Menguji Air Mata Umar Patek dan Masa Depan Ancaman Teror di Indonesia
Faktual
Hisyam Alias Umar Patek tidak kuasa menahan air matanya ketika mengucapkan permohonan maaf kepada keluarga korban Bom Bali 1 tahun 2002. Dengan rasa sesal yang tinggi, ia menumpahkan tangis dengan permohonan maaf khususnya kepada keluarga korban. Apa yang ia lakukan, menurutnya, akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Suaranya sempat hilang saat menguraikan kejadian Bom Bali yang telah menewaskan 202 orang tersebut. Ia begitu sangat menyesali keterlibatannya dalam tragedi yang menghantarkan Indonesia ...
Read more 0

Bencana Agama Lebih Mengerikan di Tangan Kelompok Radikal

Bencana Agama Lebih Mengerikan di Tangan Kelompok Radikal
Keagamaan
Sejatinya agama tidak memiliki wajah ganda antar kebaikan dan keburukan. Agama apapun mengajarkan tentang kasih sayang, perdamaian, dan kebajikan. Persoalannya, agama kerap menampakkan wajah garang ketika dipahami secara salah dan sesat oleh para penganutnya. Sejarah telah mencatat agama menjadi bencana paling mengerikan dalam sejarah umat manusia karena ulah para kelompok yang mempolitisasi dan memanipulasi agama. Tragedi dan bencana kemanusiaan yang membawa agama sebagai justifikasi telah menghadirkan tinta hitam dalam sejarah ...
Read more 0

Hinaan terhadap Ibu Negara dan Problem Arus Kebencian di Media Sosial

Perhelatan G20 yang diadakan di Bali menuai kesuksesan luar biasa. Pujian tidak hanya datang dari dalam negeri tetai juga dari luar negeri, bahkan para pemimpin negara. Indonesia tidak hanya sukses menggelar denga naman dan lancar, tetapi secara subtansi dan tujuan bisa tercapai. Namun, di tengah hingar binger kesuksesan itu selalu ada kata nyinyir yang selalu muncul. Salah satu yang sempat viral adalah perihal hinaan yang dilakukan oleh netizen terhadap Ibu Negara, Iriani Jokowi. Sontak masyarakat dibuat geram dengan hinaan terhadap penampilan ibu negara tersebut. Ternyata hinaan itu terus berlanjut meskipun satu pelaku telah meminta maaf. Ditemukan akun lain dengan nada hinaan dengan topik yang berbeda-beda. Kenapa hal ini muncul? Sebuah candaan? Atau kritik? Atau hanya keusilan? Sejatinya masyarakat sudah sangat belajar dari berbagai kasus ketidakcerdasan bermedia sosial yang berujung penjara. Jeratan UU ITE akibat ceroboh dalam bermedia sosial telah banyak memakan korban. Tetapi mengapa arus hinaan dan cacian di media sosial kerap muncul bahkan kepada sosok seperti Presiden dan Istri Presiden sekalipun. Apakah kurang literasi? Jika mengatakan bahwa kurangnya literasi sebagai akar dari kecerobohan orang dalam menggunakan media sosial rasanya kurang tepat. Masyarakat tentu memiliki literasi yang bagus dalam persoalan teknologi dan informasi jika sudah belajar dari berbagai kasus yang ada. Nampaknya, bukan sekedar kurangnya literasi, tetapi sejatinya yang menjadi salah satu penyebab seseorang jatuh dalam ujaran kebencian, provokasi dan hasutan di media sosial adalah karena belum mampu bebaskan diri dari narasi kebencian. Ketidaksukaan dalam konteks yang berbeda pandangan politik, agama, etnis dan budaya memang kerap melahirkan rasa benci. Rasa benci inilah yang mendorong seseorang tidak memiliki prestasi, tetapi suka menebar sensasi. Apa yang disampaikan bukan berdasarkan profesi, tetapi murni kebencian dan ketidaksukaan terhadap seseorang berdasarkan pilihan sadar. Karena itulah, narasi kebencian ini menjadi salah satu parameter penyakit di media sosial yang disebut dengan ujaran kebencian (hate speech). Ujaran kebencian menjadi salah satu momok yang banyak menjerat mereka yang berpendidikan sekalipun atau pun mereka yang sudah pakar dalam bidang teknologi dan informasi sekalipun. Berbagai kasus ini menjadikan diri kita mestinya belajar tentang bagaimana bersikap cerdas dan bijak dalam bermedia sosial. Cerdas berkaitan dengan kecakapan kita dalam mengetahui aturan, norma dan etika bermedia sosial. Sementara, bijak merupakan sikap kematangan dalam diri untuk tidak mengumbar informasi yang menyesatkan diri atau orang lain atau memangkas kebencian terhadap yang berbeda. Varian Narasi Kebencian yang Berujung Jeruji Besi Sejatinya, narasi kebencian itu adalah pangkal pokok yang menjadikan seseorang kehilangan akal sehat. Tidak peduli tingkat intelektual yang dimiliki atau titel akademis yang dimiliki, ketika terinfeksi virus kebencian, logika menjadi mati. Ketika logika mati, narasi pun tidak bisa dikontrol yang sepenuhnya menjadi pengatur adalah emosi. Namun, memang tidak bisa dipungkiri narasi kebencian itu memiliki banyak latarbelakang motif. Pertama, ada narasi kebencian yang secara konsisten dilancarkan seputar kebencian terhadap negara dan pemerintah. Dalam kasus ini, berbeda dengan konteks pandangan kritis. Narasi yang dikeluarkan tidak berada pada tataran logis, tetapi apapun sistem negara dan kebijakannya adalah salah. Berlindung dalam tameng demokrasi dan keterbukaan kritik, narasi kebencian mudah terlihat dari beberapa tokoh yang disambut dengan riang gembira oleh para supporter militannya. Yang terjerat hukum kadang bukan tokohnya tetapi para pendukung yang sejatinya tidak bisa apa-apa dan tidak mendapatkan apa-apa. Mereka martir dari korban narasi kebencian. Kedua, narasi kebencian yang secara konsisten mengalir dalam menyerang pandangan keagamaan dan aliran yang berbeda. Dalam kasus ini, tidak hanya monopoli satu agama tetapi telah dilakukan oleh oknum beragama dari masing-masing agama. Menyerang dan mencaci keyakinan lain seolah serangan seperti itu akan menebalkan imannya sendiri. Ketiga, ada pula kebencian yang secara konsisten dan mulai menyeruak karena perbedaan pandangan politik. Bekas kontestasi politik terus dirawat sehingga polarisasi itu tidak kunjung padam. Saling serang berdasarkan kebencian mudah menyulut emosi masyarakat dan para pendukungnya. Lagi-lagi bukan elite politiknya yang bermasalah dengan hukum tetapi para martirnya yang terkena kasus hukum. Keempat, narasi kebencian yang melibatkan irisan perkawinan antara perbedaan politik dan perbedaan keyakinan. Narasi keempat ini memang populer disebut dengan narasi politik identitas yang banyak memakan tumbal masyarakat bawah. Kolaborasi kepentingan politik dengan menjual identitas keagamaan mudah laku dan menyulut emosi netizen. Karena itulah, berhati-hati dalam bermedia sosial bukan sekedar membutuhkan kemampuan literasi, tetapi juga menjaga diri dari narasi kebencian. Semua bermula karena kebencian sehingga memunculkan narasi yang tanpa kontrol. Jika ingin selamat di media sosial, selamatkan otak dan pikiran kita dari kebencian.
Faktual
Perhelatan G20 yang diadakan di Bali menuai kesuksesan luar biasa. Pujian tidak hanya datang dari dalam negeri tetai juga dari luar negeri, bahkan para pemimpin negara. Indonesia tidak hanya sukses menggelar denga naman dan lancar, tetapi secara subtansi dan tujuan bisa tercapai. Namun, di tengah hingar binger kesuksesan itu selalu ada kata nyinyir yang selalu muncul. Salah satu yang sempat viral adalah perihal hinaan yang dilakukan oleh netizen terhadap Ibu ...
Read more 0