‘Ayo Mondok!’ menjadi buah bibir. Di jejaring sosial, tagar #AyoMondok bertebaran. Di Twitter, tagar in bahkan sempat menjaditrendingtopicdan ramai dibicarakan di medsos lain, seperti Facebook. Terhadap ajakan ‘ayo makan’, tidak perlu ada pertanyaan lagi ‘mengapa makan?’ karena semua orang sudah paham tentang lapar dan kenyang. Hal ini tentu berbeda dengan ajakan ‘ayo mondok’, sebab meskipun kata ‘mondok’ akrab di telinga, namun tidak semua orang tahu alasan ini-itunya, maka tidak heran jika kemudian ada orang yang menolaknya. Itulah yang akan saya tulis di sini.
‘Ayo Mondok’ adalah ‘kampanye’ yang awalnya disuarakan oleh RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah). Ajakan ini lebih mudah ditengarai tujuannya dibandingkan dengan ajakan ‘ayo minum susu’ yang belakangan digunjingkan ramai-ramai, atau ‘ayo ikut KB’ yang juga ditentang banyak orang. Ayo Mondok adalah ajakan yang ditujukan kepada orangtua (dengan ‘cc’ kepada putra-putrinya) agar menjadi santri dan tinggal di pondok pesantren.
Mengapa harus mondok dan tinggal di pesantren? Adakah kecemasan terhadap lingkungan pergaulan anak? Apakah orangtua mulai kehilangan perhatian dan wibawa di mata anaknya?
Sejauh pengalaman saya menjalani masa muda hingga kini menjadi orangtua, menjadi santri hingga mengasuh santri, keinginan mondok lebih sering muncul dari orangtua, bukan dari si anak. Catat saja ini sebagai pertanda bahwa mondok adalah hal yang kurang disukai oleh anak muda, berbeda dengan berlibur, main PS, ataupun balapan. Memang, belum ada data valid yang menjelaskan tentang statistik peningkatan atau penurunan kecenderungan orangtua untuk membiarkan anaknya berada di rumah daripada membawanya mondok. Namun secara sepintas dapat dilihat: dulu, orang tua mengatur anak, tapi orang moderen bebas memilih, dan di masa berikutnya, malah anak yang mengatur orangtua.
Karena mondok dianggap suatu pengalaman yang tidak asyik atau tidak keren atau sebentuk kekangan bagi anak-remaja, maka keinginan mondok jarang sekali timbul dari anak. Jadi, “ayo mondok”, sejujurnya adalah ajakan untuk orangtua, syukur-syukur jika si anak bisa turut mengerti mengapa harus mondok tanpa perlu dipaksa.
Saya pernah mengatasi anak yang menolak mondok dan dia protes, nangis jengking-jengking, emoh tinggal di asrama ketika orangtuanya hendak pulang. “Kamu tinggal belajar di sini, tinggal makan, duit biar aku yang cari,” kata si ayah yang dibantah secara frontal dan emosional oleh si anak dengan membalik statemen, “Sudah, aku yang kerja dan Bapak saja yang mondok!”. Saya tertawa mendengarnya karena si anak masih berusia 10 tahun kala itu. Sebegitu sengsarakah mondok itu?
Jika mondok dianggap ‘tidak atau kurang’ dalam hal kekerenan, keasyikan, dan kebebasan, maka anak semestinya berpikir bahwa itu adalah asumsi, bukan kesimpulan. Karena kesimpulan baru muncul setelah dijalani, sedangkan asumsi bisa dibangun hanya berdasarkan sampel dan data-data contoh. Gawatnya, asumsi yang melahirkan ketegorisasi itu rentan muncul dari wawasan seseorang, terutama anak-anak dan juga orangtua yang masih labil. Untuk mendukungnya, saya tulis beberapa pengalaman pribadi tentang pondok sebagai sesuatu yang sudah saya jalani meskipun tidak berhiaskan data statistik yang menggugah selera.
‘Mondok’ berasal dari kata pondok yang memperoleh simulfiks sehingga kata benda menjadi kata kerja; tinggal di pondok. Mondok artinya tinggal di asrama atau di bilik yang disediakan oleh pesantren dan atau pondok (papan/gedek) yang dibangun sendiri (pondok cangkruk zaman dulu) oleh calon santri. Siapa pun yang mondok harus mengikuti kegiatan belajar di madrasah dan juga kegiatan di luar jam sekolah, yakni kegiatan pesantren. Terkait ini, ada istilah ‘santri kalong’ (Madura: ‘colokan’), yaitu mereka yang tetap tinggal di rumah (karena dekat pesantren, misalnya) namun mengikuti kegiatan sekolah/madrasah saja. Mereka acapkali menyebut dirinya ‘santri’ karena ‘belajar di pesantren’. Tetapi mereka tidak akan bilang ‘mondok’ di pesantren, sebab mondok adalah ‘tinggal dan menetap’ di pesantren.