Bangsa Indonesia Tidak Boleh Merasa “Menang” dari Aksi Teror

Bangsa Indonesia Tidak Boleh Merasa “Menang” dari Aksi Teror

- in Narasi
1
0
Bangsa Indonesia Tidak Boleh Merasa “Menang” dari Aksi Teror

Sejak awal dipublikasi pada 2023 hingga hari ini, narasi zero terrorist attack memang tidak bisa selalu dikesankan positif. Aksi teror hanyalah gunung es (Scharmer, 2018). Proses terjadinya aksi yang melandasi gunung es itu—seperti intoleransi, swaradikalisasi, pendanaan teror, dan rekrutmen—bergerak sangat subtil di tengah masyarakat.

Berdasarkan laporan dari We Are Social, terdapat 185,3 juta pengguna internet aktif per Januari 2024. Analisis dari Kepios juga menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia meningkat sebear 0,8% dari tahun 2023. Indonesia juga memiliki 139 juta pengguna media sosial aktif per-Januari 2024, setara dengan 49,9% dari total populasi (Kemp, 2024).

Tren jumlah pengguna internet di Indonesia diprediksi akan terus bertambah hingga lima tahun ke depan. Statistik tersebut bukan hanya soal angka, tetapi potensi target radikalisasi di media sosial. Penangkapan terduga teroris di Kota Batu, Jawa Timur, berinisial HOK (19) pada 2024 misalnya. Remaja berstatus pelajar itu mengalami swaradikalisasi melalui media sosial.

HOK kedapatan sudah berbelanja bahan peledak dan berencana melakukan teror di tempat ibadah (Kompas 2024). Yang terbaru, Densus 88 menciduk remaja bernisial MAS (18 tahun) di Gowa yang aktif melakukan propaganda di media sosial dan mengajak warganet melakukan pengeboman di tempat ibadah (Tempo, 2025).

Dua kasus ini bukan lagi gejala intoleransi, tetapi satu langkah menuju tahap aksi, satu langkah lagi untuk menggugurkan predikat zero terrorist attack. Ini menunjukkan bahwa predikat zero terrorist attack memang tidak boleh dipahami secara dangkal. Lalu bagaimana Pemerintah, terutama masyarakat, seharusnya membaca zero attack ini?

Nihilnya aksi teror terus diamplifikasi oleh Pemerintah sejak akhir 2023. Tren positif Indonesia pada Global Terrorism Index 2024 turut meneguhkan kampanye itu di tengah masyarakat. Dalam level institusional, label ini memang tidak bisa dipersalahkan.

Selain menjadi ukuran keberhasilan dalam menghentikan serangan teror fisik, ia juga menjadi indikator keberhasilan dalam upaya preventif hasil kolaborasi aktif antara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Densus 88, dan para pemangku kepentingan terkait.

Di banyak kesempatan, BNPT mengatakan siap berkomitmen mempertahankan zero terrorist attack. Komitmen ini tidak boleh berhenti pada ranah wacana. Menciptakan rasa aman terhadap masyarakat tidak bisa sekedar “jualan” zero terrorist attack.

Meminjam tesis Fathali M. Moghaddam dalam tulisannya The Staircase to Terrorism: A Psychological Exploration (2005), radikalisasi bukanlah proses satu malam, melainkan hasil dari perkembangan psikologis yang panjang (berjenjang) melalui serangkaian perubahan dalam cara manusia memandang dunia dan diri mereka sendiri. Komitmen menjaga zero attack wajib diimbangi dengan upaya mendeteksi gejala-gejala ini hingga di sub-sosial terkecil.

Eksklusifitas, intoleransi, perasaan terancam, saling curiga adalah sebagian komposisi utama “gunung es” itu. Dalam spektrum yang lebih luas, narasi zero attack harus dibarengi dengan penanggulangan yang tepat terhadap potensi sempalan eks Jamaah Islamiyah.

Pemerintah tidak perlu mengkhawatirkan transformasi kelompok teror yang membubarkan diri. Karena pada dasarnya yang terjadi adalah fragmentasi, bukan transformasi (Malik, 2025).

Konsekuensinya berbeda. Fragmentasi meniscayakan mutasi sel-sel kelompok dari inangnya sehingga keberadaannya lebih sporadis dan sulit dideteksi. Sedangkan transformasi hanya “sebatas” mengganti bentuk dan struktur pergerakan kelompok. Mereka masih mudah dilacak karena komandonya masih tersentralisasi.

Dalam konteks transformasi, Pemerintah bisa melihat pergerakan mutakhir eks Hizbut Tahrir Indonesia. Mereka memiliki patron yang solid dengan metode “dakwah” yang gen-Z friendly. Ini membuat acara mereka seperti Metamorfoshow bisa bebas beroperasi. Konten mereka pun juga terdigitalisasi dengan baik. Jika sebelumnya HTI dikenal dengan propaganda langsung tentang khilafah, kini narasi yang dibangun lebih halus dan kontekstual.

Mereka mengangkat isu-isu aktual, seperti krisis ekonomi global, ketimpangan sosial, dan kritik terhadap demokrasi liberal, yang kemudian dirangkai dengan solusi sistem khilafah secara implisit (Kompas, 2025). Dalam pengertian ini, zero terrorist attack bukan lagi argumentasi statistik, tetapi laku hidup yang harus terus berjalan dinamis, kontekstual, dan regeneratif.

Dalam teori kausalitas, Pemerintah harus meletakkan narasi zero attack sebagai “sebab” bukan “akibat”. Artinya, ia tidak hanya dilihat sebagai hasil yang dicapai, tetapi juga mensyaratkan konsekuensi selanjutnya—seperti kebijakan yang lebih proaktif—untuk menjaga agar serangan teror benar-benar nihil di masa yang akan datang.

Predikat zero terrorist attack memang penting sebagai indikator keberhasilan dalam mencegah serangan teror fisik, tetapi jika hanya dilihat secara dangkal, ia bisa menjadi “kuda troya” yang menyembunyikan ancaman dan petaka besar. Karena tidak ada serangan besar yang terjadi, banyak yang mungkin beranggapan bahwa ancaman terorisme telah benar-benar hilang.

Membaca transformasi dan fragmentasi kelompok-kelompok teror oleh Pemerintah menjadi krusial. Dalam sub-sosial yang lebih kecil, masyarakat tidak perlu ragu mengawasi atau melaporkan gejala-gejala sosial yang meresahkan. Kedua upaya itu perlu dilakukan dalam rangka melanggengkan narasi dan esensi zero terrorist attack.

Bangsa Indonesia tidak boleh merasa “menang” dari aksi teror. Narasi ini mungkin terlihat pahit, tetapi perlu disampaikan agar kita tidak bernasib sama dengan bangsa Troya puluhan abad silam itu.

Facebook Comments