Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dibangun atas dasar kesalingpercayaan. Ini bisa dilihat dari sila keempat sebagai dasar Demokrasi Pancasila berada di antara sila ketiga, yakni persatuan dan sila kelima, yakni keadilan sosial.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah/kebijaksanaan dalam permusyaratan mempunyai dua syarat sekaligus: persatuan dan keadilan sosial. Kedua syarat ini ibaratkan dua sayap, yang jika salah satunya hilang, maka dasar kesalingpercayaan itu akan rapuh.
Dalam Demokrasi Pancasila, negara tidak boleh menggadaikan keadilan sosial demi terwujudnya persatuan, sebaliknya, warga negara tidak boleh mencampakkan persatuan demi menuntut terwujudnya keadilan sosial.
Kesalingpercayaan itu bisa tumbuh dan kokok jika semua negara dan warga negara, pemerintah juga rakyat yang diperintah, mengindahkan kedua syarat ini.
Inilah keunikan Demokrasi Pancasila yang bisa mempertemukan antara kepentingan (baca: kepercayaan) rakyat dengan kepentingan pemerintah. Rakyat harus menaruh rasa percaya kepada pemerintah; sebaliknya pemerintah juga harus menjaga dan menjalankan amanat rakyat itu.
Keseimbangan yang diberikan oleh Demokrasi Pancasila adalah modal yang luar biasa bagi Indonesia. Sebab, banyak kasus di berbagai negara lain yang sedang berkecamuk dengan berbagai konflik horizontal, tidak memiliki kedua syarat di atas.
Akibatnya, negara bersifat otoriter, tidak bisa menjaga kepercayaan rakyat untuk mewujudkan keadilan sosial. Sebaliknya, warga negara menuntut dan memprotes negara untuk menjalankan tugasnya mewujudkan kesejahteraan, tetapi menabarak nilai-nilai persatuan.
Jangan Kebablasan
Dalam kamus demokrasi Indonesia tidak dikenal tindakan esktrem dan anarkis. Artinya, baik negara maupun warga negara tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang justru memperlebar jarak. Ujaran kebencian, provokasi, hoax, dan tindakn anarkis lainnya memperlebar jarak persatuan di antara kita.
Layaknya dua belah pihak dalam kontrak. Pemerintah dan warga yang diperintah harus beriktikad baik. Iktikad baik itu terwujud, jika pemerintah melaksanakan kontrak sosialnya dengan menjalankan amanah kepercayaan yang diberikan oleh rakyat.
Rakyat juga harus tetap menaruh rasa percaya kepada pemerintah dengan tetap kritis dan mengawasi pemerintah dengan tetap berpengan kepada perinsip persatuan dan keadilan sosial.
Dengan demikian, Demokrasi Pancasila bukan tidak membuka ruang untuk saling mengingatkan dan saling mengoreksi. Jika pemerintah abai terhadap amanah kepercayaan yang diberikan, warga boleh protes, melakukan aksi demonstrasi, tetapi dengan catatan tetap dalam koridor persatuan.
Pemerintah juga bisa memberikan sanksi jika dalam perjalanannya, ada warga yang kebablasan, bersikap anarkis, dan besikap anti terhadap pemerintah. Tentu sanksi yang diberikan tetap dalam koridor keadilan.
Aksi saling mengingatkan dan saling koreksi sangat bagus dalam iklim demokrasi. Akan tetapi, akhir-akhir ini, justru ini yang hilang dari kita. Kritik dianggap hinaan; hinaan diklaim sebagai kritik.
Tidak sedikit tindakan, atas nama kebebasan berpendapat yang keluar justru adalah caci-maki, ujaran kebencian, dan provokasi. Masih ada anggapan, merusak fasilitas umum, membakar tempat kerja warga yang tak tahu pangkal-ujung masalah dianggap sebagai tindakan heroik.
Pemerintah pun demikian, tidak transfaran dalam mengeluarkan peraturan; jika ada suara yang kritis dianggap sebagai duri dalam daging. Ketika warga bergerak dicap sebagai gerakan yang didasarkan pada hoax. Tuduhan-tuduhan ini tentang membuat jalan demokrasi kita tertatih-tatih.
Kedua belah pihak yang bersikap dewasa. Jika ada “masalah” kita kembalik keapada hikmah-kebijaksanaan. Hilangkan sikap menuduh, mengklaim, dan tindakan anarkis, Dalam alam demokrasi, riak-riak kecil itu pastia ada. Mari kita jadikan itu sebagai penghangat dalam hubungan antara negara dan warga negara. Pemerintah dan rakyat harus saling percaya. Kita jaga budaya kesalingpercayaan kita.