Radikalisme agama dan terorisme merupakan dua hal yang tidak dapat disamakan, meskipun keduanya saling berhubungan. Radikalisme berhubungan dengan pemahaman yang keras, sedangkan terorisme merupakan aktualisasi dari gerakan radikal tersebut. Radikalisme agama cenderung berfokus pada persoalan intern agama, dan terorisme mengarah pada gejala yang membutuhkan tindakan tertentu.
Kasus radikalisme telah berkembang, dari segi modus, aksi, pola gerakan, pelaku hingga proses perekrutan anggota. Radikalisme selalu dihubungkan dengan pandangan ekstrem dan keinginan kuat menciptakan perubahan sosial secara cepat dan terstruktur. Beberapa studi menunjukkan faktor munculnya radikalisme di kalangan generasi muda dipengaruhi faktor psikologis, kondisi politik, hilangnya figur panutan (seorang ibu), sehingga mencari figur kharismatik baru.
Ibu dalam keluarga merupakan lingkungan terdekat dan utama sebelum terjun di lingkungan sosial masyarakat. Melalui keluarga harus ditanamkan nilai wawasan keagamaan, moral, nasionalisme, serta kearifan lokal sebagai cara membentuk karakter dan jati diri anak sebelum menjalin hubungan sosial. Kearifan lokal dari keluarga sebaiknya diterapkan sejak dini, guna memfilter penyebaran radikalisme dan terorisme secara masif dari beragam media. Ibu memiliki peran yang sangat dominan dalam mendidik, menentukan perilaku, dan membentengi anak dari pengaruh buruk lingkungan sekitar.
Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an dalam surat An- Nisa’ ayat 9 yang artinya: “Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak- hak keturunannya).”
Ayat tersebut mengisyaratkan keutamaan peran orang tua, khususunya ibu, agar menjadi anggota keluarga yang tangguh, sejahtera, harmonis, dan utuh. Kaum ibu berperan besar pada perkembangan pendidikan anak daripada ayah, karena ibu lebih sering kontak langsung dengan anak sejak dalam kandungan, hingga lahir ke dunia. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi SAW. diriwayatkan Abi Hurairah yang artinya: “Tidak ada yang terlahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi.”(HR. Bukhari Muslim).
Hadis tersebut mengisyaratkan seorang anak membutuhkan lingkungan yang positif dalam mengembangkan potensi dirinya. Ibu sebagai pihak terdekat dengan anak, berperan menstimulasi, membimbing, mengarahkan potensi fisik, biologis, intelektual, sosial, dan emosional mereka sesuai bakat dan minat yang bersifat positif. Kaum ibu harus menanamkan toleransi bagi anaknya melalui edukasi tentang keutamaan ilmu agama, persatuan, nasionalisme, dan kasih sayang sejak dini.
Jika seorang ibu tidak berpikir secara moderat, kreatif, inovatif, toleran, adil dan wawasan luas, maka berdampak langsung pada perilaku anggota keluarga (terutama anak) menjadi intoleransi atau mendekati perilaku radikalisme, bahkan mengarah pada tindak kekerasan. Melalui kasih sayang seorang ibu serta perannya sebagai agen perdamaian, maka radikalisme dan terorisme dapat ditangkal untuk menjaga keutuhan keluarga.
Anak sebagai generasi muda cenderung memiliki jiwa yang labil dan mudah terprovokasi isu sesuai fase transisi dalam pertumbuhan usia menyebabkan rawan krisis identitas. Seorang anak tidak akan menjadi teroris secara instan, tetapi melalui tahapan berawal dari sikap intoleran dan radikalisme, diikuti persebaran propaganda dan narasi kebencian terkait agama untuk menciptakan negara Islam yang merdeka via offline maupun media sosial online.
Dalam beberapa kasus yang booming peran perempuan dan generasi muda bergeser dari korban menjadi pendukung, bahkan menjadi pelaku tindakan radikal. Hal ini sejalan pendapat Fitri W, bahwa perempuan sangat rentan dieksploitasi sehingga mudah masuk dalam kelompok radikalisme. Dalam budaya patriarki, perempuan dipandang memiliki kelebihan tersendiri, yakni persepsi bahwa perempuan dianggap tidak berbahaya dibandingkan laki-laki.
Radikalisme menjadi salah satu permasalahan yang marak terjadi dan mengincar kaum perempuan serta generasi muda terutama di lingkungan Sumbersari, Jember. Lingkungan Sumbersari ini menjadi fokus penelitian, karena dikelilingi beberapa perguruan tinggi terkemuka. Peristiwa yang menjadi trending adalah Kampus Universitas Jember telah terpapar paham radikal yaitu sebanyak 22% mahasiswa.
Mother School Sumbersari Jember
Hal ini tidak menutup kemungkinan untuk menjalar ke Instansi Pendidikan lain seperti sekolah-sekolah. Sehingga tepatlah jika KUA Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember sesuai instruksi Kepala Kementerian Agama Kabupaten Jember mengembangkan kampung binaan yaitu “Mother School Sumbersari” (selanjutnya disingkat MoSS) atau sekolah ibu.
Kurikulum MoSS terdiri atas dua jenis, yaitu kurikulum wajib dan kurikulum tambahan atau ekstrakurikuler. Salah satu materi kurikulum wajibnya adalah menangkal radikalisme dari rumah. Melalui beragam kegiatan dalam MoSS diharapkan mampu membekali kaum ibu dengan wawasan keagamaan, pengetahuan, maupun keterampilan. Selain menangkal radikalisme di rumah, tujuan dari kegiatan ini juga untuk meminimalisir bibit radikalisme di lingkungan keluarga.
Pihak MoSS telah bekerja sama dengan semua pihak yang kompeten, seperti penyuluh agama, ustadz, guru mengaji, penegak hukum, aktivis perempuan dan beberapa civitas akademis, untuk memberikan wawasan terutama radikalisme dikaitkan dengan kegiatan Islami, maupun keterampilan penunjang perekonomian keluarga. Hal ini didasarkan asumsi bahwa seorang ibu berbekal wawasan yang luas dan ketrampilan memadai dapat mengajarkan kepada anak-anak tentang keutamaan wawasan keagamaan untuk menanggulangi bahaya radikalisme.