Catatan pengalaman mahasiswa Indonesia di Syiria Bagian 1
Saya tumbuh di lingkungan yang sama sedari kecil hingga dewasa. Lingkungan yang sangat kental tradisi, pemikiran, dan keyakinan Muhammadiyah. Hingga membentuk pola pikir, kebiasaan, dan setting pengetahuan saya mengenai dunia dengan perspektif lingkungan saya.
Hingga kemudian saya terlempar jauh ke sekitar 10000 KM dari Indonesia. Di sebuah tempat yang sangat asing. Syria, sebuah negara di Asia, dekat dengan Turki, Libanon, Irak, dan Palestina.
Untuk apa saya ke Syria? Saya ke sana dalam rangka melanjutkan studi saya setelah lulus Aliyah. Sekolah saya di Syria adalah sebuah boarding school, siswanya berasal dari 50 negara muslim di dunia. Di sanalah saya bertemu dengan orang-orang berbeda budaya, bahasa, kebiasaan, pola pikir, bahkan ‘keyakinan’ walaupun kami semua muslim.
Selama 18 tahun saya berada di zona nyaman, setiap orang di sekeliling saya memiliki perangkat keyakinan dan pola pikir yang sama dengan saya, sehingga tidak ada perdebatan yang sangat tajam antara saya dan teman-teman di lingkungan saya.
Ketika saya berada di tempat baru, Syria. Saya menemukan momen keterasingan. Pendapat-pendapat yang menjadi kebenaran kolektif di lingkungan saya yang lama malah dianggap kebenaran yang asing bahkan ditolak. Saya jadi berpikir ulang mengenai struktur pengetahuan yang saya punya.
Saya yang tadinya ada di dalam rahim mayoritas, terlahir menjadi seorang minoritas. Contohnya, saya dan komunitas saya terdahulu setiap sholat shubuh tidak pernah melakukan qunut (doa tambahan selepas rukuk di rakaat terakhir sholat shubuh, dilakukan dengan menengadahkan tangan). Di Syria, teman-teman dan ustadz saya melakukannya.
Kawan-kawan pelajar Indonesia di Syria mayoritas anggota Nahdhatul Ulama, memiliki tradisi yang asing bagi saya. Saya di Syria sendirian. Tapi saya diperbolehkan ikut serta dalam acara-acara mereka bahkan diberikan kesempatan untuk berbicara dalam diskusi dan forum lainnya. Saya merasa diayomi dan diterima walaupun saya dari latar belakang yang berbeda.
Apalagi ketika saya dihadapkan dengan teman-teman yang berbeda negara. Saya menjadi sadar bahwa Indonesia dan suku saya yaitu Sunda, begitu amat kecil di hadapan dunia. Saya hanya bagian kelompok minor dari kelompok-kelompok yang ada di semesta.
Perbedaan itu kaya dan pengetahuan begitu lentur dan luasnya. Teman-teman saya berasal dari Afrika, Asia, Eropa, Australia, Rusia, masing-masing berbeda dan punya pengetahuan masing-masing. Saya tidak bisa memaksakan keyakinan saya dan pengetahuan saya sebagai sesuatu yang benar secara absolut, itulah yang saya sadari. Dan tentu saya pun tidak menerima jika teman-teman saya itu memaksa saya untuk menerima pengetahuan dan keyakinannya pada saya.
Dalam konteks ini, makna mayoritas dan minoritas menjadi luluh dan lebur bahkan tak lagi berarti. Saya, kamu, dia, mereka, menjadi kita. Pengetahuan berbeda bukan untuk diperdebatkan, bukan untuk diperlombakan siapa yang unggul, tapi dijadikan sarana untuk saling mengenal. Mengenal kelemahan dan keterbatasan diri kita sendiri. Mengenal ketidakterbatasan kemungkinan untuk berteman dan bersahabat.
Di bumi yang indah ini ada orang-orang intoleran dan begitu alergi pada perbedaan. Orang-orang inilah yang mengganggu dan mengacaukan indahnya kebersamaan. Saya pribadi merasa kasihan kepada orang-orang yang intoleran dan alergi perbedaan. mereka sesungguhnya orang yang kurang luas pergaulan dan minim pengalaman. Hingga pikirannya tak terbuka. Padahal pikiran itu seperti parasut, hanya berguna apabila ia terbuka.
Mereka dengan susah payah meminta pengakuan dan tuntutan akan kebenaran yang mereka agungkan, hingga lupa memberikan salam dan sapa pada tetangganya yang berbeda keyakinan. Mereka belum pernah merasakan menjadi minoritas. Mereka belum pernah merasakan kasih sayang dari orang yang berbeda kelompok dan latar belakang. Mereka orang yang masa kecil, remaja, muda, dan dewasanya kurang cinta dan mencintai. Semoga Allah mengajari mereka tentang pendidikan menjadi minoritas!