Dalam sejarah Nusantara, Ormas memiliki peran aktif dalam menghimpun kekuatan massa sekaligus melakukan pendidikan terhadap umat yang diharapkan akan memperjuangkan prinsip Ormas tersebut. Tanpa keberadaannya, sulit mengatakan bahwa Islam di Indonesia bisa berkembang seperti sekarang ini.
Buku ini menyebut empat Ormas yang menjadi Objek penelitian; Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis, dan NU. Pemilihan keempat Ormas ini sebagai Ormas keagamaan yang dinilai berpengaruh terhadap perkembangan keislaman di Indonesia dilandasi beberapa hal.
Pertama, Ormas-ormas ini memiliki akar Jama’ah yang sangat kuat hingga ke akar rumput yang secara sosiologis berbeda antar satu dengan yang lainnya. Kedua, mereka memiliki rasion d’etre sendiri atas kehadirannya di Indonesia. Ketiga, organisasi-organisasi ini telah memiliki aset dan infrastruktur hingga ke tingkat pedesaan dan bahkan lebih kecil dari itu. Keempat, dan ini merupakan hal terpenting, mereka menggunakan Nalar yang berbeda satu sama lain dalam memahami sumber ajaran Islam, al-Quran-Hadits.
Konsekuensi logis dari banyaknya Ormas di Indonesia adalah keragaman pemikiran keislaman Nusantara. Keragaman ini mengindikasikan kuatnya kecenderungan pemikiran keislaman yang tidak monolitik. Dengan diwakili Ormas yang ada, Islam Nusantara mencoba meretas zaman dalam menghadapi gejolak dan perkembangan sosial-politik negeri ini. Bahkan, keseragaman berfikir dalam satu Ormas nyaris tidak ditemukan.
Sebut saja NU, sebagai Ormas keagamaan terbesar di dunia pemikirannya terbentang dari konservatif hingga liberal. Muhammadiyah-pun demikian, organisasi ini kini tidak lagi representasi salah satu sayap pemikiran Islam yang lain, Islam Modernis. Dalam buku ini setidaknya ada empat varian yang meliputi Muhammadiyah. Keempat varian dalam sosiologi Muhammadiyah itu biasa diidentifikasi dengan Muhammadiyah puritan, Muhammadiyah toleran, Muhammadiyah NU, dan Muhammadiyah abangan.
Al-Irsyad dan Persis memiliki pengalaman yang berbeda. Sekalipun diawal perkembangannya kedua organisasi ini mengalami pergerakan pemikiran keislaman yang signifikan namun beberapa tahun belakangan kedua Ormas ini mengalami stagnasi pemikiran, keduanya masih berkonsentrasi pada pengembangan institusi pendidikan dengan tetap mempertahankan purifikasi lama.
Secara gamblang buku ini mencoba membuktikan bahwa dari sekian banyak keragaman yang ada semuanya tidak lepas dari landasan epistemologis yang sama, al-Quran dan Hadits. Kesimpulan yang berbeda antar Ormas merupakan bagian dari ijtihad dan pergulatan Ormas tersebut dengan realitas sosial, ekonomi, politik, budaya, dan keagamaan di Indonesia, yang tentunya dibatasi oleh ruang-waktu dan juga bergantung pada siapa yang membawa lokomotif pemikiran dalam Ormas tersebut. Tidak mengherankan jika sebuah Ormas bisa bersikap lunak terhadap satu masalah dan juga bisa sebaliknya.
Dengan membaca buku ini, pembaca dapat memetakan geneologi keilmuan yang menjadi landasan perjuangan Ormas perempuan di Indonesia melalui corak pemikiran yang dibawa oleh induk semang-nya (baca: organisasi induk). Buku ini juga laik dibaca mengingat keempat ormas yang menjadi objek penelitian tidak pernah terkait dengan aksi radikalisme dan terorisme. Sebuah jalur pemikiran keislaman yang turut menjaga republik dari ideologi brutal.