Belajar Untuk Tidak Onar

Belajar Untuk Tidak Onar

- in Narasi
7634
0

Catatan Pendek Kongkow Dengan Gus Nuril…

Saya masih ingat betul percakapan ringan saya dengan Gus Nuril, pengasuh belasan pesantren dan pendakwah ulung yang kerap dituduh linglung lantaran sikap moderatnya yang sudah tidak kepalang tanggung.

Sore itu, dengan mengenakan udeng (ikat kepala) khas Bali, Gus Nuril duduk santai tepat di samping saya. Kepala saya seolah langsung penuh sesak dengan berjibun pertanyaan terkait dengan sosok satu ini.

Salah satu pertanyaan yang ingin sekali saya ajukan adalah perihal tuduhan yang kerap ditujukan padanya, baik melalui media massa maupun melalui forum-forum pengajian. Maka dengan memberanikan diri, saya menyapa; “Gus Nuril”,

Beliau hanya menoleh, saya hendak melanjutkan tapi lidah serasa kaku. Tapi kalau tidak sekarang kapan lagi? pikir saya. Maka dengan semangat ‘bodo amat’ saya pun memberanikan diri bertanya. “gus, katanya gus nuril sesat, betul tidak itu?”

Saya tahu pertanyaan saya begitu bodoh, tapi biarlah, terkadang pelajaran berharga justru didapat dari sesuatu yang kita anggap tidak berguna.

Mendengar pertanyaan itu, gus Nuril memandang saya sambil tersenyum riang. “Mas, Saya ini memang sesat. Saya bahkan mengakui kesesatan saya minimal 17 kali dalam sehari”

Saya tentu terperanjat kaget dengan jawaban itu, saya tidak menyangka beliau akan sangat santai dan santun dalam menjawab pertanyaan yang seharusnya bisa membuat beliau sangat tersinggung.

“Loh, masak sih, Gus?” tanya saya makin penasaran. Setahu saya, sesat tidaknya seseorang hanya dia dan Tuhan saja yang tahu, jadi ya tidak harus ngaku. Apalagi sampai 17 kali, “gimana ngakunya?” tanya saya kemudian.

“Saya mengaku langsung kepada Tuhan bahwa saya masih sesat” jawabnya mantab

“Dalam tiap sholat yang saya lakukan, saya meminta kepada tuhan untuk menunjukkan jalan yang lurus, ihdinah siratal mustaqim. Lha ini kan bukti kalau saya belum tahu jalan yang lurus. Artinya, saya masih sesat!”

Jleb, jawaban dan penjelasan pendek itu tentu menyentak ‘kawasan aman’ yang selama ini saya agung-agungkan. Bagaimana bisa ada orang yang tidak uring-uringan meski dituduh berkawan dengan setan? Menganggap tuduhan sesat sebagai bagian dari nikmat?

Tanpa Gus Nuril perlu menjelaskan lebih jauh lagi tentang makna sesat dan cara ‘menikmati’ tuduhan itu, saya sendiri sudah langsung asik dengan kepala saya beserta seluruh isinya.

Memori yang terselip di otak saya menyeret saya untuk mengingat kembali betapa di luar sana ada banyak orang yang dengan seenaknya saja merasa sebagai pemegang kunci surga; karenanya mereka merasa paling layak untuk menentukan mana kawan mana lawan.

Mereka mungkin sudah sangat yakin bahwa mereka telah berada tepat dibelakang tuhan, sehingga keraguan atau kecemasan bahwa ibadah dan amal baiknya belum tentu mampu ‘menyenangkan’ tuhan tidak pernah terlintas di kepala mereka yang besarnya tidak seberapa.

Saya lalu teringat dengan Cak Nun (Emha Ainun Najib), mungkin karena sosok gus Nuril yang sekilas memang terlihat mirip dengan cak Nun, atau bisa jadi karenany keduanya memiliki pendekatan yang berbeda dalam memahami dan menikmati agama. sebagai seorang tokoh dan pemikir Muslim, Cak Nun nyatanya belum juga berani mengaku sebagai muslim. Dalam suatu kesempatan beliau pernah berkata, “Aku menyebut diriku Muslim saja aku tidak berani, Karena itu merupakan hak preogatif Allah untuk menilai aku ini Muslim atau bukan”

Perdebatan, atau bahkan pertikaian ‘yang katanya’ demi membela agama makin hari makin membuat kewarasan kita nyeri. Mereka yang merasa ahli surga justru makin bersemangat mendaftarkan teman dan tetangga sebagai penghuni tetap neraka, sementara yang dicap jauh dari Tuhan, nyatanya malah menunjukkan kearifan dan kematangan dalam bertindak dan menggunakan otak. Dan, bukankah itu yang paling penting?

Maka sebagai penutup, ijinkan saya berdoa, “Ya Tuhan, jika memang benar kunci surga sudah dipegang oleh mereka yang gemar menyakiti dan mengkafirkan sesama, maka ijinkan saya untuk masuk ke surgamu yang lain”

Facebook Comments