Menurut syariat Islam, Jihad adalah berjuang dengan sungguh-sungguh, dalam prakteknya jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi menegakkan agama. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah: “Barang siapa mati sedangkan ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan untuk berjihad, ia mati dalam salah satu cabang kemunafikan (HR. Abu Hurairah). Pada perkembangannya, pemaknaan terhadap konsep jihad semakin bervariasi, belakangan bahkan muncul pemikiran yang memaknai bahwa jihad harus dilakukan untuk melawan negara yang sah.
Jihad dalam artian terakhir di atas kerap dikumandangkan oleh kelompok-kelompok anti nasionalisme yang ingin menghancurkan kesatuan bangsa dengan sebuah gerakan yang diatasnamakan agama. Sehingga jihad dalam pemaknaan ini bukan saja dimaksudkan untuk menegakkan ajaran agama, tetapi juga memaksakan agama sebagai alasan untuk menghancurkan sistem negara yang telah ada.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia telah lama diincar sebagai tempat persemaian strategis bagi tumbuh kembang radikalisme, hal itu dapat dilihat dari banyaknya kelompok-kelompok radikal yang terus-terusan ada dan berusaha menggerogoti NKRI. Dalam konteks ini, Jihad kerap digunakan sebagai legitimasi sekaligus alat pembodohan untuk mengajak masyarakat memusuhi negeri dan bangsanya sendiri.
Di negeri yang memiliki 1.340 suku bangsa ini, agama Islam bersanding sejajar dengan lima agama lainnya yang sama-sama diakui oleh negara. Pemeluk keenam agama yang berbeda ini dapat hidup rukun dan sejahtera, sehingga urgensi jihad di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini patut dipertanyakan. Perlukah jihad (dalam arti memerangi pemerintahan yang sah) di negeri ini? saya rasa tidak.
Jihad dalam artian memerangi pemerintahan yang sah dan mengganti ideologi negara menjadi ideologi berbasis agama nyatanya tidak pernah bisa diterima oleh ulama. Sejarah menunjukkan bahwa sejak semula ulama lebih memilih untuk membangun Indonesia berdasarkan pancasila, yang menurut mereka sudah merupakan syariat Islam dalam bungkus Indonesia.
Jihad terbesar yang pernah dilakukan oleh umat Islam di negeri ini adalah perang melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Saat itu para ulama, kaum santri dan rakyat bersatu untuk mempertahankan kedaulatan dan kehormatan bangsa ini. Bahkan Nahdlatul Ulama sampai mengeluarkan Resolusi Jihad yang kemudian dijadikan dasar untuk keluarnya fatwa dari Rais Akbar NU untuk bersama-sama mengusir penjajah.
Penjajah pun dapat diusir, para ulama merayakan kemenangan ini dengan mensyukuri keragaman yang telah mereka miliki. Hal itu ditunjukkan dengan kesediaan mereka untuk tujuh kata pada piagam Jakarta yang juga pembukaan UUD 1945 yang berbunyi; “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, menjadi “ Ketuhanan yanga maha Esa”.
Jika saat ini muncul banyak ‘ulama’ yang mengaku memperjuangkan nilai agama namun dengan cara memusuhi negara, tentu para ulama tersebut ahistoris atau alpha terhadap sejarah bangsa. Konflik berkepanjangan di negeri-negeri dengan mayoritas penduduknya Muslim seperti yang terjadi di Afganistan, Suriah, Irak, Somalia, dst saat ini disebabkan oleh minimnya pemuka agama yang memiliki rasa nasionalisme.
Alih-alih mengajak umatnya untuk menjaga perdamaian dan kesejahteraan bangsa, para pemuka yang telah mabuk agama itu justru menggunakan agama untuk berbuat rusuh terhadap sesama.
Nasionalisme dan jihad bukanlan hal yang tidak bisa disatukan, keduanya mempunyai korelasi yang kuat karena mencintai dan mempertahankan negara adalah bagian dari jihad.