Beriman dan Sikap Terhadap Agama Lain

Beriman dan Sikap Terhadap Agama Lain

- in Narasi
2228
0

Setiap agama mengajarkan iman. Dalam Islam, iman diartikan sebagai meyakini dalam hati yang dibuktikan dengan ucapan dan sikap kesehariannya. Dengan demikian, beriman kepada Tuhan, misalnya, tidak hanya mengandaikan sebuah ucapan dan sumpah janji melainkan mengamalkan apa yang diperintahkan dan menjauhi apapun yang dilarang. Begitu juga beriman kepada yang lain. Setidaknya, ada enam hal yang harus diimani oleh umat Islam. Namun tulisan ini tidak akan membahas seluruh rukun iman yang enam tersebut tetapi sebagian saja yakni beriman kepada Nabi dan kitab.

Pertama, beriman kepada nabi. Nabi (orang yang dipercaya membawa risalah Tuhan) ada 25 orang. Nabi Muhammad adalah salah satu di antara yang 25 tersebut. Islam mengajarkan bahwa tidak ada perbedaan di antara nabi-nabi tersebut. Umat Islam tidak boleh tidak harus mengimani semua nabi tanpa terkecuali. Keimanan kepada nabi-nabi ini mengandaikan sebuah pengamalan terhadap ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Maka wajar jika beberapa ajaran terdahulu diadopsi oleh Islam seperti shalat, puasa, dan lain-lain yang kemudian disebut sebagai rukun (pondasi) Islam. Hal ini membuktikan bahwa Islam bukan hanya mengimani terhadap para nabi terdahulu tetapi juga memelihara dan mempraktekkan apa yang diajarkan oleh nabi terdahulu.

Kedua, mempercayai kitab. Dalam Islam, kitab yang harus diyakini dan diimani ada empat kitab; Taurat, Zabur, Injil, dan al Qur’an. Kitab-kitab ini diyakini merupakan petunjuk keselamatan menuju Tuhan yang diberikan oleh Tuhan kepada orang-orang suci. Kitab-kitab yang dipercaya dan diimani oleh umat Islam ini pada hakekatnya merupakan kitab suci agama lain. Keimanan terhadap kitab ini secara tidak langsung bukan hanya sebagai anjuran toleransi terhadap agama lain melainkan sebagai upaya ikut serta mengamalkan isinya.

Dengan penjelasan di atas terlihat bahwa Islam datang tidak dalam rangka menghapus agama-agama sebelumnya agar menjadi muslim semua. Sebaliknya untuk saling berkeja keras menyuarakan kebaikan dan ketentraman di dunia. Al Qur’an menjelaskan bahwa nabi Muhammad diutus untuk saling menyegarkan kembali pengamalan terhadap ajaran-ajaran yang tertulis dalam kitab suci tersebut (liyudzhirahu ‘ala al-din kullih). Sementara persaiangan agama-agama yang ditawarkan oleh Islam bukanlah peperangan atau adu kekuatan tetapi berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat) dan dialog dalam kesantunan (jadilhum billati hiya ahsan).

Pertanyaan yang segera muncul atas penjelasan ini adalah mengapa justru Islam menjadi teroris? Kalau tidak, beberapa umat Islam melakukan perusakan terhadap agama lain? Terus terang, ada banyak jawaban tentang ini. Misalnya, pertama, adanya ayat-ayat al Qur’an yang menganjurkan berperang dan memerangi orang-orang musyrik. Benar memang. Tetapi musyrik dan kafir yang diperangi pada hakekatnya tidak identik dengan agama-agama. Musyrik atau kafir yang harus diperangi bisa saja dari kelompok muslim atau non muslim. Karena kafir dalam al Qur’an lebih tertuju kepada sekelompok orang yang menolak kedamaian. Buktinya, dalam ayat lain al Qur’an menyebutkan bahwa nabi Muhammad “bersama orang-orang yang bersamanya” akan selalu saling mengasihi dan tegas bahkan keras kepada orang-orang kafir. Sengaja dikasik tanda petik karena orang-orang yang bersama nabi tersebut terdiri dari berbagai agama yang siap menjaga kerukunan. Lihatlah misalnya di Madinah, ada puluhan kelompok agama dari luar Islam yang tergabung bersama nabi dan hidup rukun bersama beliau. Maka inti dari kekafiran dan kemusyrikan yang harus diperangi adalah pecundang dan pengacau ketentraman.

Atau kedua, bisa juga dilihat dari aspek upaya hegemoni kekuasaan. Sikap seperti ini dalam al Qur’an pernah dilekatkan dengan Yahudi dan Nashrani. Bahwa kedua agama tersebut selalu berupaya melakukan aksi-aksi orang lain ke dalam agamanya. Sekarang? Justru umat Islam yang melakukan hal itu. Seolah-olah umat Islam tidak pernah merasa tenang hidupnya selama ada orang yang berada di luar Islam. Padahal secara literal al Qur’an menolak terhadap upaya-upaya monopoli seperti ini, baik monopoli surga, kebenaran, atau yang lain. Sebaliknya al Qur’an lebih menganjurkan agar melakukan kerja social yang lebih bermanfaat bagi kemanusiaan tanpa melirik apa agamanya. Dengan demikian, seluruh orang, apapun agamanya, penting melakukan aksi penolakan atau bahkan ikut serta memerangi orang-orang yang melakukan monopoli dan hegemoni demi kelompoknya. Karena hal ini berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia. Peperangan tak akan terelakkan jika hegemoni kebenaran dibiarkan tanpa kendali.

Terakhir, pemeluk agama, apapun itu, bukanlah pocong yang harus ditakuti. Tetapi perlu untuk didekati dan diajak bersanding dalam belajar atau aksi-aksi social . Karena permusuhan antar agama berawal bukan hanya karena hegemoni dan tafsir-tafsir kaku atas kitab suci tetapi juga sangat rentan dipengaruhi oleh kebodohan. Wallahu a’lam.

Facebook Comments