Saat ini manusia butuh berita sebagaimana butuh makanan. Jika makanan terkait kesehatan fisik, berita terkait kesehatan pikiran. Tanpa makanan untuk asupan gizi, orang bisa sakit. Tanpa berita sebagai asupan informasi, orang bisa terjungkal diserempet laju perkembangan zaman yang melaju makin gesit.
Dalam hal makanan, agar menjadi asupan yang sehat perlu diperhatikan nilai gizi, kebersihan, kualitas dan kuantitas makanan yang melewati tenggorokan. Teledor memperhatikan aspek-aspek tersebut, berbagai penyakit siap ‘menggentayangi’ tubuh. Begitu juga dalam hal informasi, tidak sembarang berita bisa dikunyah dan ditelan mentah-mentah.
Menjamurnya sumber berita bukan sekadar membuat pembaca kelimpahan informasi. Sebagaimana diistilahkan duet jurnalis top Amerika, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, saat ini kita sudah sampai ke taraf tsunami informasi. Pembaca seperti tersesat di gelombang kencang informasi. Dalam kondisi beginilah hoax bisa menyebar dengan gampang. Hoax adalah kepalsuan yang sengaja dibuat sedemikian rupa agar dianggap sebagai kebenaran. Artinya, hoax diproduksi dengan sengaja untuk membuat pembaca tersesat dalam informasi,
Indonesia sempat mengalami masa “swasembada hoax”. Syukurlah tren ini belakangan menurun. Hoax yang tersebar menyasar ke berbagai soal, mulai soal bahaya membunuh kecoa, hoax yang berhubungan dengan alien, sampai hoax yang menyerempet tema sensitif seperti politik dan SARA. Dalam politik, bermacam-macam hoax yang bertentangan bisa disebarkan bersamaan dengan tujuan membuat pembaca kebingungan.
Sudah bukan hal yang aneh di media sosial saat ini menyaksikan orang dengan mudahnya menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya. Sumbernya dari situs berita online yang tidak menyertakan keterangan struktur redaksi dan penanggung jawab yang jelas dijadikan referensi. Bahkan tidak jarang blog pribadi yang tidak jelas pengelolanya dipaksakan untuk menjadi sumber data.
“Membaca koran itu penting. Tapi jangan asal telan. Kamu bisa ketulangan”, tulis kolumnis legendaris yang jenaka, Mahbub Djunaidi, di salah satu kolomnya. Metafora ini sangat pas untuk diingat pada era sekarang. Pembaca mesti mengawasi baik-baik kualitas berita dari segi akurasi, narasumber yang dikutip, reputasi sumber berita, perbandingannya dengan berita yang sama dari sumber yang berbeda, dan lain sebagainya. Lalai bersikap waspada terhadap berbagai berita, berisiko membuat pikiran tidak bekerja dengan baik. Orang-orang yang terbiasa mempercayai hoax biasanya daya kritisnya menumpul.
Sudah sering terlihat orang-orang yang kerap menyebarkan berita hoax tidak lagi peduli ketika berita yang disebarkan terungkap kebohongannya. Ia juga biasanya akan tetap percaya pada sumber berita yang menyebarkan hoax, meski telah kepergok kebohongannya berkali-kali dan tidak pernah meminta maaf atau melakukan klarifikasi.
Untuk alasan kesehatan, tubuh perlu diet terhadap asupan makanan tertentu untuk menyeimbangkan kesehatan. Sementara untuk kesehatan pikiran, kita perlu melakukan apa yang disebut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel sebagai “diet informasi”, menghindar dari kebiasaan membaca berita busuk.