Berkurban ala Nusantara; Titik Temu Syariat dan Adat

Berkurban ala Nusantara; Titik Temu Syariat dan Adat

- in Kebangsaan
21
0
Berkurban ala Nusantara; Titik Temu Syariat dan Adat

Masyarakat Nusantara dikenal kreatif dan imajinatif. Termasuk dalam menerjemahkan ajaran agama, tidak terkecuali Islam. Maka, perkembangan agama di Nusantara cenderung memiliki karakter yang berbeda dengan wilayah lain. Penyebaran Kristen di Nusantara melahirkan berbagai aliran seperti Kristen Jawa, Kristen Batak, dan sebagainya.

Begitu pula dalam konteks Islam. Perkembangan Islam di Nusantara diwarnai akulturasi kebudayaan yang membuat ekspresi keislaman kian kaya. Salah satunya mewujud pada tradisi kurban ala Nusantara yang otentik.

Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi menyambut Iduladha atau Idulqurban. Di Solo dsn Yogyakarta, ada tradisi Grebeg Besar, berupa arak-arakan prajurit Keraton mengusung hubungan yang tersusun dari hasil bumi. Grebeg Besar menyimbolkan rasa sukur atas nikmat Allah.

Di Bali, ada tradisi Ngejot. Yakni tradisi bertukar minuman antara muslim dan non muslim. Tradisi ini menggambarkan kerukunan agama di masyarakat Bali. Ads pula tradisi Toron di Madura. Tradisi pulang kampung untuk berziarah ke makam leluhur.

Ada pula tradisi Apitan di Semarang dan kawasan pesisir Pantai Utara Jawa Tengah. Tradisi ini digelar dengan memberikan sedekah bumi dan pertunjukan seni tradisional. Di Pasuruan ada tradisi Manten Sapi. Hewan kurban dimandikan, didandani, dihias dengan sorban, untaian bunga, dan sebagainya lalu diarak menuju masjid untuk disembelih.

Tradisi yang hampir sama juga ada di Tulehu, Maluku Tengah. Setelah solat Ied, terus adat menggendong tiga kambing berkeliling kampung. Setelahnya kambing pun disembelih. Ritual ini diyakini dapat menolak bala dan bencana. Tradisi unik ini diberi nama Kaul Negeri dan Abdau.

Tradisi lainnya adalah Kalompoang, di Gowa, Sulawesi Selatan. Yakni tradisi mencuci pusaka kuno kerajaan Gowa. Di Agam, Sumatera Barat, terdapat tradisi Manampuang. Dimana masyarakat berjajar antre pembagian daging kurban dengan wadah apa pun, mulai plastik, daun, bahkan telapak tangan. Manampuang menjadi tradisi unik pelengkap kemeriahan Iduladha.

Dimensi Spiritual, Sosial, dan Kultural Kurban

Masih banyak tentunya tradisi Nusantara dalam menyambut Idulqurban. Fenomena itu menyiratkan titik temu antara budaya dan agama atau antara syariat dan adat. Syariat adalah ketentuan Allah yang sifatnya tetap dan tidak dapat diubah.

Misalnya perintah solat lima waktu sehari, berapa rakaat, dan kapan itu syariat. Tapi, bagaimana pakaian solat, bentuk masjid untuk solat, atau motif sajadah untuk alas sujud, itu adalah hasil kebudayaan manusia. Keduanya memiliki perbedaan, namun bisa bertemu dalam satu titik relasional yang saling memperkaya.

Dalam konteks kurban misalnya, secara syariat sudah jelas syarat hewan kurban, tatacara penyembelihan, dan siapa yang berhak menerima pembagian hewan kurban. Namun, bisa dibayangkan betapa keringnya ritual kurban jika tidak dimodifikasi dengan budaya atau adat setempat. Sebuah ritual keagamaan memang perlu diartikulasikan ke dalam bahasa lokalitas agar memiliki daya tarik tersendiri.

Tradisi kurban di Nusantara adalah cerminan bahwa Islam dan budaya atau adat tidak perlu dipertentangkan. Bahkan, keduanya bisa berakulturasi membentuk entitas budaya atau kearifan baru. Tradisi kurban ala Nusantara juga menggambarkan bahwa unsur lokalitas itu ikut andil dalam membentuk karakter Islam Indonesia yang khas dan otentik.

Tradisi Iduladha ala Nusantara berkembang lantaran sejumlah faktor. Salah satunya adalah kebutuhan syiar dan dakwah. Di masa lalu para penyebar Islam awal memakai pendekatan kebudayaan untuk mengenalkan syariah Islam.

Termasuk ritual kurban yang masih asing bagi masyarakat lokal Nusantara. Mereka lantas mengadaptasi dan memodifikasi budaya Nusantara ke dalam ritual keagamaan, salah satunya kurban.

Modifikasi itu tidak mengubah apalagi merusak syariah. Alih-alih justru memperkaya penerapan syariah itu sendiri. Tradisi arak hewan kurban dengan dirias seperti pengantin misalnya, sama sekali tidak menggangu syariat kurban. Kurban tetap dan secara fiqih. Dan secara syiar, hal itu efektif menarik perhatian umat.

Tradisi kurban ala Nusantara merupakan heritage yang harus terus dijaga dan dikembangkan. Kurban, selain memiliki dimensi spiritual dan sosial, ternyata juga memiliki dimensi kultural yang kaya. Sisi spiritual kurban membuat manusia kian dekat pada Allah.

Sisi sosial kurban mengajarkan manusia sikap empati dan rela berkorban tanpa pamrih (altruis). Sedangkan dimensi kultural kurban membentuk karakter masyarakat yang komunal, kolektif, gemar gotong royong dan bekerjasama.

Tiga dimensi itu tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling berhubungan satu-sama lain alias saling melengkapi. Orientasi kurban bukan hanya riyadoh mendekatkan diri pada Allah, melainkan juga menjadi sarana merawat solidaritas sosial, sekaligus juga melestarikan kekayaan kultural.

Facebook Comments