“Diperkirakan Indonesia akan menjadi negara maju di tahun 2030 (15 tahun lagi!).” Demikian prediksi yang sering dilontarkan oleh para pengamat hingga dua presiden Indonesia terakhir, SBY dan Jokowi. Prediksi tersebut bukan tanpa dasar, bahkan cenderung mempunyai landasan yang transparan.
Jika saat ini saja semua negara di Asia Pasifik mengalami penurunan angka fertilitas lebih dari 2 anak pada dua dekade yang lalu, sekarang hanya di angka 1 (satu anak). Bahkan di Jepang, Taiwan dan Singapura sudah menyentuh angka rata-rata di bawah satu anak. Indonesia sebaliknya masih di atas angka 2 dengan jumlah generasi muda aktif yang terbesar di Asia Tenggara (dan Asia Timur).
Apa yang bisa diharapkan dari negara yang sebagian besar penghuninya sudah berusia tua dan masuk pada periode pensiun atau tidak produktif ? Negara tentu akan mengeluarkan anggaran yang semakin besar untuk dana pensiun dan kesejahteraan lainnya, sementara pemasukan negara kecil karena menurunnya produktifitas kerja.
Melirik pada upaya yang dilakukan pemerintah Jepang dalam mengatasi hal ini misalnya, mereka melakukan –dan mungkin akan dilakukan terus– pembukaan kran bagi masuknya tenaga kerja asing yang akan membantu kehidupan bangsa yang sedang dilanda kesepian karena usia anak-anak mudanya yang semakin sedikit. Tentu saja hal ini tidak berlaku bagi Indonesia yang mempunyai angkatan usia aktif yang sangat berlimpah hingga melebihi 50 %.
Jika tanpa disiapkan secara sistematis dan benar, angkatan kerja yang berpotensi ini akan menjadi beban bangsa. Sebaliknya jika dipersiapkan akan menjadi batu loncatan bagi Indonesia menjadi bangsa maju yang bisa berperan besar dalam membangun dunia. Sayangnya isu bonus demografi ini terkesaan kurang mendapat perhatian dari dua perhelatan besar di Jombang dan Makassar 2015: Dua muktamar masih terkesan tidak mau lepas dari kepentingan politik yang diharapkan menjadi jalur distribusi penyebaran power bagi dua organisasi massa Islam terbesar di dunia.
Dalam sidang Pleno I Muktamar Muhammadiyah di UMM pada 3 Agustus 2015 lalu, Din Syamsuddin selaku Ketua Umum memaparkan tiga opsi hubungan Muhammadiyah dengan dukungan politik. Pertama, tetap menjadi ormas dakwah yang independen terhadap dukungan politik, kedua mendirikan partai politik di bawah serikat Muhammadiyah, dan yang ketiga tetap netral sebagai Ormas, tapi pada waktu yang dibutuhkan seperti Pileg atau Pilpres memilih wakil yang dapat menyuarakn kepentingan Muhammadiyah.
Poin kedua sesungguhnya mengisyaratkan Muhammadiyah masih menyimpan hasrat untuk terjun ke arena politik praktis. Sebagai ahli politik, tentu Din Syamsuddin menyadari hajatan besar seperti Pilkada serentak ke depan akan membuka banyak kemungkinan bagi kader- kader Muhammadiyah untuk berkompetisi memenangkan karir politik dan membuat dinamika internal Muhammadiyah semakin hangat.
Tentu saja banyak pihak dalam Muhammadiyah yang berhitung agar serikat tidak melepas begitu saja momen kue politik pilkada serentak yang akan diselenggarakan tidak lama lagi. Dua opsi terakhir yang mengindikasikan Muhammadiyah ingin berpolitik praktis sesungguhnya sangat disayangkan, karena memberi jalan kepada Muhammadiyah dalam perebutan kekuasaan politik hanya akan menyita waktu dan energi. Padahal di balik peran politik, Muhammadiyah mempunyai kekuatan besar untuk mendampingi Indonesia menjadi bangsa maju berkeadaban yang diperhitungkan di dunia.
Sudah jelas, Indonesia dengan generasi aktif terbesar se Asia Tenggara (bahkan Asia Pasifik) saat ini akan menjadi incaran negara-negara di sekitarnya hingga Asia Timur. Sementara negara lain seperti Singapura, Jepang, Taiwan, China, Korea, bahkan Malaysia mengalami penurunan jumlah angkatan kerja aktif.
Indonesia mempunyai stok tenaga kerja yang berlebih. Diperkirakan di tahun 2030-2050, disaat negara-negara tersebut dirundung kesepian karena terlalu banyak generasi tua dan kehilangan tenaga kerja muda, Indonesia menerima bonus demografi, dimana generasi usia aktif yang sangat dibutuhkan negera lain sangat berlimpah di Indonesia.
Muhammadiyah dan NU seharusnya lebih menggarap kesempatan terpenting dalam rentang 100 tahun kedepan yang amat susah terulang lagi. Dengan ribuan sekolah, kampus, rumah anak yatim, rumah sakit, dll, sesungguhnya Muhammadiyah punya kesempatan besar mengarahkan bonus demografi ini menjadi berkah.
(Bersambung…)