Bung! Negara Barat Tak Sekeren Filmnya

Bung! Negara Barat Tak Sekeren Filmnya

- in Narasi
1427
0
Bung! Negara Barat Tak Sekeren Filmnya

Pada 2015 kampung saya dikunjungi beberapa orang warga negara asing yang sedang menjalani pertukaran mahasiswa, kunjungan mereka itu dalam rangka berlibur ke Bali, Yogyakarta, dan Lampung untuk menutup program sebelum kembali ke negara masing-masing. Karena saat itu bertepatan dengan Idul Fitri, mahasiswa yang berwarga negara Amerika, China, Australia, dan Afrika itu kehabisan penginapan dan akhirnya menginap di rumah saya.

Seperti yang biasa kita lihat jika ada bule masuk kampung, anak-anak terkagum-kagum sekaligus malu-malu untuk mendekat, mereka yang muda dengan terbata-bata mengajak foto untuk konten medsos mereka, para tua tengak-tengok dari kejauhan seolah ada warga baru yang bisa jadi bahan gosip. Ditambah suasana semarak Idul Fitri membuat macam-macam warna mata, kulit, dan rambut itu seperti sedang jadi penampil peragaan busana yang jadi tontonan.

Sebaliknya, orang-orang asing itu terkagum-kagum saat mengunjungi satu per satu rumah warga karena mendapat sambutan hangat sekaligus dapat menikmati macam-macam kudapan tradisional hingga kalengan, serta dibuntuti anak-anak. Umumnya memang orang banyak melihat warga negara asing, khususnya yang berasal dari negara-negara barat yang rupanya seperti Tom Cruise sebagai orang di kasta atas yang memiliki peradaban lebih baik.

Kenyataannya, mereka juga sama seperti anak kos di gang-gang Jl. Gejayan, jorok di kamar mandi, menjemur daleman sembarangan, nyampah, dan bengak-bengok ala bapak-bapak di pos ronda. Soal mereka bisa mendarat di Bulan lebih dulu dan sebentar lagi di Mars itu soal kemandirian berpikir dan peradaban mereka yang dimulai lebih awal dan kita justru memutus rantai peradaban nenek moyang yang jauh lebih canggih seperti zaman Majapahit dan Sriwijaya.

Sekalipun Amerika dikenal sebagai negara paling dewasa proses demokrasinya, itu tak menjamin kehidupan masyarakatnya mengutamakan kesetaran ras dan gender. Malah, Indonesia jauh lebih dewasa soal hidup berdemokrasi dalam keberagaman. Hal ini terbukti dari tulisan seorang profesor Hukum Loyola University Maryland, Elizabeth J. Kennedy, di MIT Sloan Management Review edisi Winter 2021 yang menuliskan terjadi tindakan rasisme yang institusional dan struktural di Amerika, khususnya dalam isu kulit putih dan berwarna.

Di Amerika saat pandemi ini, orang kulit berwarna cenderung lebih bekerja di garis depan dengan upah rendah dan dengan perlengkapan pelindung yang minim, sementara mereka yang berpenghasilan lebih tinggi berlindung di rumah. Elizabeth juga mendapatkan hasil riset bahwa kekayaan bersih rata-rata orang kulit berwarna satu berbanding sepuluh dari orang kulit putih. Kesenjangan kekayaan rasial itu begitu mengakar sehingga menurut beberapa perkiraan, pada tingkat pertumbuhan saat ini, dibutuhkan waktu 228 tahun bagi keluarga kulit berwarna untuk mengumpulkan kekayaan yang saat ini dimiliki oleh keluarga kulit putih. Ketimpangan suku dan ras di Amerika bahkan terjadi dalam hidup harian angkutan umum, pemisahan perumahan, pekerjaan, dan hak sebagai warga negara.

Di Indonesia meskipun ada ketimpangan-ketimpangan ras tapi tidak seekstrem di Amerika, hal yang paling dirasakan hanya perbedaan kesejahteraan antara etnis Tionghoa dan Jawa umumnya, itu pun tidak final bahwa Tionghoa lebih sejahtera dari Jawa misalnya, karena banyak terjadi sebaliknya juga. Hal tersebut pernah disampaikan Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj bahwa di Indonesia perbedaan suku sudah lebih cair dengan bukti kehadiran beragam suku di berbagai jabatan swasta dan pemerintahan.

Terputusnya penceritaan sejarah melalui teks, narasi, pemikiran, film dan lagu, membuat kebanyakan orang Indonesia melakukan glorifikasi terhadap bangsa barat dan juga timur yang jika ditelusuri dan diperbandingkan dengan sejarah keemasan bangsa Indonesia tidak ada apa-apanya. Hal itu terjadi karena kita lupa bagaimana warga Desa Ara dan Lemo-Lemo di Sulawesi telah mampu membangun Kapal Pinisi pada 1800-an yang berlayar hingga China, pada 770 leluhur kita juga membangun Borobudur dan puluhan candi-candi besar lainnya di gunung hingga pesisir. Pada zaman yang sama, rasanya suku asli Amerika sedang belajar berkuda.

Buku sejarah yang membosankan, museum kumpulan manekin, perpustakaan yang lebih tepat dinamai gudang buku, kurangnya peneliti sejarah, hingga minimnya narator milenial membuat generasi ke genarasi semakin tercerabut dari akar sejarahnya yang amat keren dan justru mengagung-agungkan kapitalisme barat dan khilafah timur yang dipaksakan menjadi gaya hidup.

Benarlah pepatah “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China,” tetapi pulang dan benamkanlah ilmu-ilmu pengetahuan itu ke dalam konteks Nusantara. Masa kolonialisme Belanda selama 350 tahun mau tidak mau memang mengkerdilkan sikap kritis dan percaya diri bangsa, maka kita perlu kembali pada kesadaran bahwa kita terlahir dari rahim bangsa yang besar. Seperti cerita telur Elang yang dierami Ayam, hal itu tak akan mengubah Elang jadi Ayam dan pada waktunya Elang tetap akan mengarungi langit. Pada waktunya, Sang Garuda akan kembali menguasai langit dengan sayap gagahnya, dan waktu itu adalah sekarang.

Facebook Comments