Belakangan, lanskap dakwah keislaman di Indonesia diwarnai oleh corak dakwah yang tidak adaptif dan akomodatif pada kebudayaan lokal. Kian banyak pendakwah yang justru membenturkan antara ajaran Islam dan kebudayaan atau kearifan lokal. Nalar konfrontatif itu lantas melahirkan pandangan keagamaan yang tidak ramah, bahkan cenderung anti-pati terhadap nilai budaya, seni, dan kearifan lokal.
Model gerakan dakwah yang seperti itu umumnya digiatkan oleh kelompok puritan Islam. Yakni kelommpok yang menghendaki pemurnian ajaran Islam dari unsur di luar Islam. Terlebih unsur kebudayaan yang hidup di masyarakat setempat. Kelompok puritan menganggap bahwa bentuk akulturasi budaya dan agama merupakan wujud penyimpangan yang dapat menodai kesucian Islam.
Cara pandang yang membenturkan Islam dan kebudayaan lokal ini pada akhirnya mendorong tumbuhnya pemikiran radikal, bahkan ekstrem. Praktik-praktik keagamaan yang tidak diajarkan dalam Alquran maupun Sunnah, seperti tradisi tahlilan, ziarah kubur, maulidan, dan sebagainya lantas dicap sebagai praktik bidah, sesat, bahkan kafir. Labelisasi negatif itu lantas membuat relasi sosial-keagamaan kita menjadi renggang.
Terlebih dalam konteks Indonesia, dimana ekspresi keberagamaan kaum muslim sangat kental dengan nuansa seni dan budaya lokal. Nyaris di seluruh wilayah di Indonesia, Islam telah berkelindan dengan beragam kearifan lokal yang memperkaya khazanah Islam itu sendiri. Maka dari itu, corak dakwah puritan yang anti-kearifan lokal kiranya tidak relevan diterapkan di Indonesia. Sebaliknya, kita harus mengembangkan model dakwah berbasis kearifan lokal.
Dakwah Berbasis Kearifan Lokal ala Walisongo
Dakwah berbasis kearifan lokal ialah model dakwah yang ramah pada dimensi seni, budaya, dan kearifan lokal. Ramah dalam hal ini bisa dimaknai ke dalam setidaknya dua hal. Pertama, menghargai yakni tidak mengejek atau mencemooh kearifan lokal sebagai tidak islami, tidak beradab, primitif dan sejenisnya. Kedua, mengadaptasi yakni meminjam unsur-unsur kearifan lokal untuk menyebarkan pesan-pesan keislaman.
Dakwah berbasis kearifan lokal sebenarnya bukan fenomena baru. Sejumlah anggota Walisongo di masa lalu pernah mempraktikkan hal tersebut. Sebut saja misalnya, Sunan Bonang yang menggunakan musik gamelan Jawa sebagai salah satu media dakwahnya. Juga Sunan Kalijaga yang mengadaptasi wayang sebagai sarana dakwah. Di masa lalu, para anggota Sunan Kalijaga juga biasa menggubah syair tembang Jawa dengan diselipi muatan-muatan dakwah Islam.
Strategi dakwah kultural berbasis kearifan lokal itulah yang menjadi fondasi karakter Islam moderat Indonesia yang langgeng hingga hari ini. Bisa dibayangkan jika model dakwah Islam periode awal di Nusantara itu tidak adaptif pada kearifan lokal, bisa jadi Islam tidak akan berkembang pesat di bumi Nusantara ini. Mengadaptasikan model dakwah kultural berbasis kearifan lokal ala Walisongo ke dalam konteks kekinian merupakan tantangan berat bagi para dai moderat.
Tersebab, saat ini kita tengah menghadapi gelombang dakwah Islam transnasional yang berwatak puritan, konservatif, bahkan radikal. Para pengasong dakwah Islam transnasional ini bahkan tidak segan menyerang otoritas Walisongo. Misalnya ada seorang penceramah agama yang menyebut bahwa nasab Walisongo tidak sampai pada Rasulullah. Serangan ini adalah upaya untuk mendelegitimasi warisan dakwah Walisongo bagi Islam Indonesia. Maka dari itu, kita patut mendorong para pendakwah untuk menangkal narasi dakwah puritan-konservatif yang belakangan ini kian masif.
Dai Berperpesktif Kultural Sebagai Agen Moderasi Beragama
Di sisi lain, kita perlu mengapresiasi model dakwah kultural berbasis kearifan lokal yang ditampilkan sejumlah sosok. Misalnya saja, model dakwah KH. Syarif Rahmat yang kerap wara-wiri di televisi nasional. Dari luar, penampilannya sangat “njawani” yakni mengenakan blangkon layaknya Sunan Kalijaga. Isi dakwahnya pun adem, toleran, dan ramah pada kearifan lokal. Hal yang sama juga tampak pada sosok Gus Muwafiq.
Pendakwah asal Yogyakarta ini, meski tidak memakai blangkon atau pakaian Jawa, namun isi ceramahnya selalu membahas soal relasi agama dan budaya. Ia mendedahkan secara detil bagaimana tradisi tahlilan, ziarah kubur, maulidan, atau mengirim doa untuk orang meninggal tidak bertentangan dengan Islam. Selain dua nama itu, masih ada sejumlah nama lain yang giat berdakwah dengan perspektif kultural dan cukup populer di kalangan umat lslam hari ini. Antara lain, KH. Anwar Zahid, Gus Miftah, Gus Ulinnuha, Utazah Mumpuni, dan lain sebagainya.
Kian banyak dai yang berdakwah dengan perspektif kearifan lokal, maka kita patut optimistik mampu membendung corak dakwah puritan yang mengendorse ideologi radikal-ekstrem. Para pendakwah yang ramah pada kearifan lokal itulah yang idealnya digandeng pemerintah sebagai agen moderasi beragama. Mereka harus lebih banyak diberikan panggung untuk mengamplifikasi pandangan keislamannya.
Di saat yang sama, kita juga perlu menyebarkan dakwah mereka secara masif di media sosial. Sebagai semacam narasi tandingan atas model dakwah puritan yang belakangan justru mendominasi dunia maya kita. Model dakwah yang berbasis kearifan lokal ala Walisongo inilah yang akan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan pengarusutamaan moderasi beragama di Indonesia.