Dalam bahasa Arab, kata moderasi dikenal dengan kata wasath, bermakna posisi menengah antara dua hal yang saling berlawanan. Dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu yang baik dan terpuji sesuai objeknya. Dalam (KKBI), kata moderasi memiliki dua arti, yaitu pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman.
Al Qur’an melabeli umat Islam dengan sebutan ummatan wasathan (QS. Al-Baqarah [2]: 143), yakni umat yang berada di posisi pertengahan dan harus tetap tampil sebagai umat pilihan. Tegas kata, umat Islam harus tampil sebagai suri tauladan.
Dengan demikian, moderasi bukan istilah baru dalam agama Islam. Ia adalah ajaran inti dan paling esensi dalam misi kenabian yang dirisalahkan kepada Nabi Muhammad. Moderat berarti paham keagamaan yang sangat relevan dalam konteks keberagamaan yang menjadi praktik beragama Nabi, atau merupakan fakta sejarah dalam Islam.
Fakta sejarah sebagaimana teladan beragama Rasulullah yang dimaksud, beliau tidak mengajarkan seseorang untuk bersikap ekstrem, serta tidak mengajarkan sifat berlebihan dalam beragama. Islam mengajarkan sifat tengahan (wasathiyyah) atau moderat; tidak ekstrem kanan liberal juga tidak ekstrem kiri radikal-intoleran.
Di Indonesia, sifat keberagamaan yang kontradiktif dengan idealisme beragama dalam Islam adalah model beragama kelompok radikal-intoleran. Suatu gerakan yang merasa paling benar dan menganggap yang lainnya salah. Alhasil, sikap yang ditampilkan adalah intoleran, tuduhan sesat kepada orang atau kelompok lain, dan menuduh yang tidak sama sebagai bukan umat Islam.
Jelas model beragama seperti mereka bertentangan dengan titah ajaran Islam yang menyerukan sifat moderasi terhadap umat Islam. Fenomena adanya kelompok umat Islam yang radikal-intoleran menjadi penanda, tidak sedikit muslim yang masih belum memahami hakikat bagaimana moderasi beragama itu. Sebabnya paling utama karena lemahnya penguasaan pengetahuan agama. Maka, perlu mengetengahkan dalil moderasi sebagai khittah beragama.
Dalil Moderasi Beragama dalam al Qur’an
Dalam al Qur’an: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Al-Baqarah [2]: 143).
Ayat di atas sebagai alarm peringatan kepada umat Islam untuk senantiasa menjadi umat yang wasathiyyah (moderat), memiliki sifat tengahan dalam segala aspek, khususnya dalam aktifitas-aktifitas keagamaan. Kata moderat adalah antonim kata ekstrem. Maka, sebagai mafhum mukhalafah atau makna sebaliknya dari ayat di atas, maka Islam melarang sifat ekstrem; ekstrem kiri maupun ekstrem kanan.
Sebagai bukti adalah Allah melarang umat Islam berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw) sebagaimana ayat berikut.
“Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar”. (QS. an-Nisa [4]: 171).
Ghuluw dilarang karena dapat sangat mudah diarahkan kepada hal-hal yang bersifat merusak. Secara sederhana ghuluw bisa diartikan kegilaan beragama yang berdampak pada sikap ekstrem. Suatu sikap keberagamaan yang cenderung memposisikan diri sebagai pemilik kebenaran, eksklusif, dan otomatis mengklaim yang lain salah dan sesat.
Nabi mengingatkan: “Wahai manusia, berhati-hatilah dalam sikapmu yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama, karena kehancuran orang-orang sebelum kamu adalah karena mereka terlampau berlebihan dalam hal beragama”. (HR. Ibnu Majah).
Wasiat Nabi ini menjadi “warning” kegilaan dalam beragama dapat merusak sendi-sendi keberagamaan dan kemanusiaan. Sebagai contoh, perbedaan agama, etnis dan suku adalah sunnatullah yang mesti harus diakui. Tapi, sebagian muslim ingkar menganggap perbedaan sebagai ancaman. Akhirnya, ia terjebak pada poros bahwa orang atau kelompok lain yang berbeda adalah musuh yang harus dilenyapkan.
Padahal, keberagamaan, sebagaimana diteladankan oleh Nabi, jelasa mengajarkan sikap tasamuh (toleransi) untuk menghargai setiap perbedaan. Sebagaimana Allah sendir mengingatkan kepada Nabi Muhammad, seandainya Dia berkehendak mudah bagi-Nya menjadikan seluruh manusia dalam satu agama dan satu jenis.
Ghuluw lebih berbahaya dari pada kesesatan. Sekadar sesat saja dalam beragama, masih mungkin diluruskan ke jalan yang benar. Sementara ghuluw sangat sulit (untuk tidak mengatakan mustahil) mengembalikannya ke jalur asal keagamaannya yang waras. Bahkan, sikap ghuluw rentan diarahkan, bahkan diperintahkan untuk melakukan hal-hal negatif dan merusak. Aksi-aksi terorisme seperti bom bunuh diri adalah contohnya. Berapa seseorang sangat mudah dikibuli untuk melakukan tindakan destruktif yang dilarang agama dengan doktrin “jihad semu”.
Dalam hadits lain bahkan Nabi memastikan: “Pasti akan binasa orang-orang yang berlebih-lebihan dalam beragama”. (HR. Bukhari).
Moderasi beragama sebagai jantung agama Islam, menjadi pilihan mutlak bagi umat Islam, khususnya muslim di Indonesia. Untuk menjadi muslim yang moderat wajib memiliki pengetahuan agama yang luas. Bagi umat Islam yang awam alangkah baiknya belajar kepada yang benar-benar ahlinya supaya tidak terjebak pada kesesatan yang dianggap ajaran agama.
Hal itu menjadi keharusan supaya umat Islam tidak terjebak untuk melakukan diskriminasi hak, kekerasan simbolik, pengkerdilan pemikiran, pembungkaman percakapan-percakapan jujur, peminggiran minoritas, hingga pengkafiran terhadap yang berbeda. Moderasi beragama sejatinya jalan penyelamat menuju misi Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Maka, beragamalah secara moderat, waras dan tidak berlebih-lebihan, apalagi sampai melakukan kekerasan atas nama agama. Sebab, dengan beragama yang moderat, simpul-simpul solidaritas diikat, kebhinekaan terawat, persatuan menjadi erat dan umat tidak tercerai-beraikan.