Kecerdasan buatan (AI) telah mengalami perkembangan yang pesat dalam beberapa dekade terakhir ini. Kemajuan dan terobosan AI meroket ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kecanggihannya telah membuka potensi AI untuk merevolusi segala aspek kehidupan manusia pada tingkat yang lebih mudah, efesien dan efektif seperti transportasi, keuangan dan keamanan.
Namun, disamping potensi transformatif AI yang sangat berguna membantu mempermudah aktifitas manusia itu, terdapat pula tantangan dan risiko baru. Pelaku kejahatan, seperti teroris, bisa memanfaatkan peluang yang ditawarkan AI untuk tujuan kejahatan, sebagai medium baru untuk menjalankan propaganda dan taktik rekrutmen anggota yang belum pernah ada sebelumnya. Yakni, dengan cara mengeksploitasi algoritma AI untuk tujuan jahat mereka.
Gerakan kelompok teroris yang dibantu AI akan lebih kompleks dan lebih berbahaya dari pada sebelum dibantu oleh AI, sehingga membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Pemanfaatan AI oleh kelompok teroris menimbulkan tantangan yang signifikan dan terus berkembang bagi keamanan negara. Dan, dalam konteks kehidupan beragama tantangannya adalah manipulasi informasi keagamaan yang beresiko mendistorsi dan pemahaman keagamaan yang parsial.
Semakin mutakhir teknologi AI, semakin maju pula pola-pola yang dilakukan oleh kelompok teroris yang memanfaatkannya untuk tujuan kejahatan mereka. Kemampuan taktik, teknik dan prosedur mereka akan semakin canggih seiring kemajuan AI. Karenanya, dibutuhkan penanganan yang berbeda, yang lebih proaktif dan komprehensif.
Salah satu kelebihan yang dimiliki organisasi teroris, mereka selalu lebih awal mengadopsi teknologi. Seperti al Qaeda yang telah lama melakukan kampanye, pengenalan, dan pemanfaatannya untuk seluruh anggota di berbagai dunia. Mereka sangat gesit dalam memanfaatkan perangkat dan platform yang baru muncul untuk memajukan agenda mereka.
Fenomena semangat luar biasa organisasi teroris dalam pemanfaatan AI sangat berbahaya, mengingat semakin bergantungnya masyarakat modern saa ini terhadap teknologi dan internet. Dengan cara mengeksploitasi teknologi AI, propaganda dan pengaruh terorisme akan mengalami penjalaran yang lebih cepat. Salah satunya adalah eksploitasi deepfake berbasis AI.
Eksploitasi Deepfake dan Bahayanya
Deepfake, hasil konvergensi AI dan teknik manipulasi multimedia, telah menyita perhatian publik karena memiliki kelebihan yang belum pernah ada sebelumnya. Pada awalnya, ia digemari sebagai hiburan semata karena memiliki kemampuan menumpangkan wajah ke berbagai karakter, atau membuat video lucu yang mulus.
Namun, semakin mutakhirnya teknologi seperti AI, deepfake bisa dikelola berbasis pada AI. Disinilah, sisi gelap eksploitasi deepfake itu dimulai, terutama apabila dilakukan oleh kelompok teroris. Deepfake bertenaga AI memiliki kemampuan memproduksi konten yang manipulatif namun sangat realistis, sebab bisa menganalisis dan meniru kerumitan visual dan pendengaran dari konten asli dengan cermat. Sehingga sulit memverifikasi apakah asli atau palsu.
Sisi suram deepfake apabila digunakan untuk kejahatan berdampak luar biasa. Deepfake mampu menipu namun sangat realistis. Bagi yang awam teknologi ini pasti akan menyangka bukan sebuah tipuan, namun sebagai kenyataan. Alhasil, menjadi senjata baru yang efektif bagi kelompok teroris untuk melakukan propaganda, rekrutmen dan penyebaran disinformasi.
Pemanfaatan ilegal deepfake oleh kelompok teroris pernah terjadi di India, dimana kelompok teroris The Resistance Front (TRF) dan Tehreeki Milat i Islami (TMI) telah memanfaatkan foto dan video palsu sebagai medium provokasi terhadap kelompok tertentu, khususnya kaum muda yang lebih rentan terhadap manipulasi.
Pemanfaatan deepfake untuk tujuan ilegal akan terus berulang dan semakin canggih seiring perkembangan teknologi. Disinformasi, manipulasi dan penipuan yang menjadi senjata kelompok teroris akan semakin ampuh dengan implikasi yang luas. Kerentanan masyarakat akan terpengaruh paham terorisme semakin terbuka lebar.
Dalam kehidupan berbangsa, berimplikasi pada naiknya eskalasi manipulasi opini publik, penyebaran berita hoaks, menebar perselisihan, dan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap negara dan demokrasi. Konten-konten manipulatif, seperti memanipulasi suara dan wajah seorang tokoh agama, akan semakin massif bertebaran di media sosial dan terlihat sangat asli. Hal ini dapat memicu terjadinya kekerasan, ketegangan dan perpecahan.
Selain itu, teknologi deepfake memiliki kemampuan menyebarkan misinformasi dan menimbulkan kebingungan. Dalam situasi demikian, trik jitu kelompok teroris tentu berjalan efektif. Memanfaatkan situasi tersebut untuk propaganda, rekrutmen dan adu domba terhadap pihak yang menentang.
Satu kelebihan lain dari teknologi deepfake yang harus diwaspadai secara serius adalah Text to Speech (TTS), yang berarti teknologi sintesis ucapan. Suatu kemampuan meniru suara seseorang secara persis. Seseorang yang berniat melakukan kejahatan atau menebarkan teror bisa membuat pesan audio yang meyakinkan yang terdengar seperti suara aslinya.
Apabila objek audio tersebut adalah seorang tokoh agama terkenal dan terkemuka, secara pasti akan menimbulkan kehebohan dan kebingungan luar biasa. Terutama, apabila dimanfaatkan untuk kegiatan kejahatan terorisme.
Solusinya?
Jelas organisasi teroris telah mengupdate kemampuan propaganda, rekrutmen dan penyebaran disinformasi melalui deepfake bertenaga AI. Hal ini merupakan asupan gizi baru yang lebih berstamina yang memberikan kemampuan tambahan untuk menimbulkan kerusakan.
Maka, penting untuk menyusun langkah antisipatif guna pencegahan pemanfaatan deepfake oleh kelompok teroris. Mencegah tentu lebih baik seribu kali dari pada mengobati. Harus ada teknologi canggih untuk mendeteksi deepfake. Negara memiliki kemampuan untuk hal ini sebagai langkah signifikan untuk melawan deepfake yang disalahgunakan.
Negara juga bisa membuat regulasi hukum dengan mengkriminalkan pelaku deepfake untuk tujuan kejahatan. Pengguna deepfake untuk penipuan dan penyebaran informasi palsu dapat dihukum. Dan seterusnya. Teknologi deteksi canggih akan sangat membantu mewujudkan hal ini.
Selain itu, karena kelompok teroris kerap menggunakan agama sebagai alat legitimasi, maka langkah pencegahannya adalah dengan mengintegrasikan teknologi deepfake ke dalam kampanye kesadaran publik.
Tindakan penanggulangan penting lainnya adalah edukasi tokoh agama untuk lebih mengenal teknologi mutakhir ini. Kemudian, disampaikan kepada masyarakat supaya lebih terinformasi.