Pewacanaan Pancasila dalam kehidupan berbangsa sering kali tidak dibarengi dengan pemaknaan yang memadai. Dalam kaitannya dengan agama, sila pertama adalah yang paling sering dikutip, namun tanpa melihat keterhubungannya dengan sila yang lain. Padahal, lebih dari sekedar jargon, Pancasila mengandung nilai yang perlu dimaknai oleh setiap elemen bangsa dalam berbagai konteks pengalamannya. Presiden Soekarno misalnya -sebagaimana tokoh yang lain- mengusulkan butir-butir Pancasila yang lahir dari hasil pikiran, refleksi, dan penghayatan yang sangat mendalam tentang bagaimana menghidupi Indonesia merdeka secara bermakna.
Dalam kehidupan beragama, keseluruhan butir Pancasila adalah prinsip-prinsip yang dimaksudkan oleh para pendiri bangsa sebagai paradigma untuk mengelola keberagaman keberagamaan yang ada di nusantara. Penghayatan akan ketuhanan, tentu saja tidak dapat dipisahkan dari komitmen terhadap kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Artinya, bertuhan dan beragama adalah bentuk kepenghayatan yang hanya akan bermakna jika menjunjung tinggi kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Dalam hal ini, bentuk keberagmaan ‘radikal’ yang mencederai nilai-nilai komitmen tersebut perlu ditelaah kembali dalam kerangka dasar Indonesia yaitu Pancasila.
Sila ‘Ketuhanan’: Dasar Keberagaman, Bukan Kebencian
Sila pertama acap kali ditempatkan sebagai prinsip yang paling sakral dan tak jarang dijadikan bentuk legitimasi keyakinan dan praktik keagamaan yang bertentangan dengan nilai keindonesiaan itu sendiri. Dalam fenomena sosial, sering kali ditemukan kasus diskriminasi, intoleransi dan bahkan kekerasan yang dilakukan atas nama ‘tuhan’. Dengan dalil agama tertentu, martabat manusia lain -terutama yang berbeda keyakinan- tidak dihargai. Lebih buruknya lagi, pola yang demikian memuncak pada rasa kebencian dan bahkan tindak kekerasan. Bentuk keberagamaan paradoks semacam inilah yang mencederai rasa kemanusiaan dan komitmen kebangsaan akan keberagaman. Padahal sejak mulanya, penghayatan akan agama lah yang telah menjadi salah satu inspirasi utama dalam menenun nilai Bhineka Tunggal Ika.
Hal ini sesungguhnya telah diantisipasi oleh para pendiri bangsa ketika merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. Bukan hanya dari fakta fenomena penghapusan tujuh kata, pemilihan kata “Ketuhanan” pun sesungguhnya adalah bentuk dari komitmen dan penghargaan akan keberagaman agama yang ada di Indonesia. Alih-alih menggunakan terminologi yang merujuk pada teisme tertentu dalam salah satu agama, kata “Ketuhanan” dipilih karena dianggap sebagai bentuk keyakinan yang berlaku universal bagi seluruh elemen bangsa. Keyakinan akan “Ketuhanan Yang Maha Esa” inilah yang memungkinkan bangsa Indonesia yang beragam agama dan keyakinan bisa bersatu. Dengan dasar ini juga, kebebasan beragama adalah hak bagi setiap warga negara secara setara. Untuk itu, sila ‘Ketuhanan’ mestinya tidak dijadikan alat untuk bertindak secara ‘intoleran’ dan ‘radikal’ dalam kehidupan berbangsa.
Moderasi Keberagamaan untuk Tujuan Kebangsaan
Dalam memahami manusia Indonesia sebagai yang berketuhanan, penghayatan akan ‘agama’ dan ‘tuhan’ mengejawantah dalam butir-butir sila yang lain, yaitu: kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Pertama, penghayatan akan agama adalah bermakna jika ia direalisasikan dalam sikap kemanusiaan. Dalam hal ini, prinsip kemanusiaan mengimplikasikan kesetaraan dan keadilan semua manusia terlepas dari identitasnya, termasuk keyakinannya. Kemanusiaan juga menuntut keadaban. Artinya, manusia tidak bersikap barbar terhadap manusia yang lain karena dibekali dengan nurani yang mengarahkannya untuk menjunjung martabat dirinya dan martabat orang lain.
Kedua, menghayati agama dalam konteks Indonesia yang bhineka artinya merawat keberagamaan dalam keberagaman yang menjunjung persatuan. Bentuk keberagamaan yang merendahkan dan bahkan meniadakan bentuk keberagamaan yang lain adalah bertentangan dengan nilai-nilai persatuan. Dengan kata lain, nilai persatuan hanya bisa dimaknai dalam konteks perbedaan sebab kehendak untuk bersatu muncul ketika ada perbedaan. Jika keberagaman dinafikan, maka prinsip persatuan kehilangan maknanya.
Lebih jauh, sila ketiga tentu saja mendorong pada komitmen kebangsaan yang bersinergi, bergotong-royong, dan berkolaborasi dalam membangun bangsa. Perbedaan ajaran, keyakinan, dan praktik keagamaan adalah justru kekayaan yang mestinya dijadikan sumber-sumber inspirasi kehidupan berbangsa. Berbagai persoalan sosial kemanusiaan dapat disasar dengan kekayaan keragaman nilai keberagamaan yang ada sebagai titik pijaknya.
Indonesia yang Demokratis, bukan Teokratis
Ketiga, butir ke empat dalam Pancasila adalah bentuk komitmen Indonesia terhadap sistem demokrasi yang menjunjung tinggi nilai kerakyatan. Dalam hal ini, bentuk negara Indonesia sebagai sebuah republik dengan sistem demokrasi telah menjadi kesepakatan bangsa yang perlu dirawat. Kesepakatan ini tentu saja tidak terlepas dari konteks keberagaman Indonesia itu sendiri. Komitmen terhadap hak, kebebasan, dan martabat setiap elemen bangsa tentu tidak dapat digadaikan pada kelompok tertentu, melainkan pada kedaulatan rakyat itu sendiri. Untuk itu, berbagai upaya untuk memecah-belah Indonesia dengan menjadikannya sebagai negara satu agama dengan bentuk teokrasi adalah bertentangan dengan tujuan kebangsaan Indonesia itu sendiri. Indonesia tidak dapat menjadi Indonesia jika ia berubah menjadi teokratis, alih-alih demokratis.
Keempat, sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” tentu saja menjadi kondisi ideal yang mesti terus diupayakan dalam proyek kebangsaan, termasuk dengan kontribusi agama-agama di dalamnya. Penghayatan akan ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan komitmen persatuan dalam kerangka sistem demokrasi pada akhirnya tidak dapat dipisahkan dari prinsip keadilan sosial bagi semua. Dengan semangat gotong-royong, seluruh rakyat yang disebut berketuhanan/beragama, berperikemanusiaan, dan bersatu dalam kebangsaan Indonesia itu mesti saling berkontribusi untuk mengupayakan keadilan dan kesetaraan. Kondisi ideal inilah yang dicita-citakan oleh setiap agama/keyakinan dan sistem demokrasi itu sendiri, termasuk Indonesia dengan dasar Pancasilanya.