Dinamika Sejarah Relasi Islam-Kristen; Apa ‘Lesson Learned’ dalam Konteks Kekinian?

Dinamika Sejarah Relasi Islam-Kristen; Apa ‘Lesson Learned’ dalam Konteks Kekinian?

- in Narasi
110
0
Dinamika Sejarah Relasi Islam-Kristen; Apa ‘Lesson Learned’ dalam Konteks Kekinian?

Di antara tiga agama dalam rumpun ajaran Ibrahim, Islam dan Kristen barangkali adalah dua agama yang relasinya cukup dinamis. Jika kita menengok realitas sejarah, maka tampak bahwa hubungan Islam-Kristen mengalami pasang surut.

Secara sederhana, dinamika sejarah relasi Islam-Kristen ini bisa dibagi ke dalam setidaknya tiga pembabakan. Babak pertama, adalah di masa periode awal dakwah Rasulullah di Mekkah dan Madinah. Di fase ini, relasi Islam dan Kristen bisa dikatakan sangat harmonis.

Bahkan, ketika dakwah Islam mendapatkan tekanan dari komunitas Quraisy di Mekkah, Rasulullah mencari perlindungan ke Habasyah yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Meski hanya 3 bulan, namun relasi Nabi Muhammad beserta pengikut dan masyarajat Habasyah terjalin erat.

Selanjutnya, di periode dakwah Rasulullah di Madinah, relasi Islam dan Kristen pun berjalan harmonis. Nabi Muhammad bahkan mengundang Kaum Najran yang beragama Kristen untuk menetap di Madinah dan membentuk komunitas baru.

Babak kedua yakni pada masa Abad Pertengahan, relasi Islam dan Kristen mengalami dinamika yang diwarnai pasang surut. Agenda perluasan wilayah teritorial Islam yang digalakkan oleh para khilafah mau tidak mau tidak mau telah menimbulkan gesekan horisontal dengan umat Kristen.

Sejumlah wilayah berpenduduk Kristen berhasil ditaklukkan oleh kekuatan Islam dengan pendekatan militeristik. Menariknya, tidak semua wilayah Kristen yang ditaklukkan Khalifah Islam itu penduduknya dipaksa menjadi muslim. Banyak wilayah yang penduduknya tetap memeluk agama Yahudi atau Kristen, namun dibebani kewajiban membayar pajak (jizyah).

Puncak relasi konfliktual Islam dan Kristen di masa Abad Pertengahan ini terjadi pada akhir Dinasti Ayubiah dan berlanjut ke Dinasti Mamluk. Yakni ketika terjadi Perang Salib antara tentara muslim dan Kristen.

Perang Salib ini terjadi selama kurun waktu dua abad, dimana umat Islam dan Kristen silih berganti mengalami kemenangan dan kekalahan. Perang Salib tidak diragukan merupakan peristiwa sejarah paling traumatik yang efek psikologisnya masih terasa hingga saat ini.

Di fase ketiga, yakni era modern relasi Islam dan Kristen bisa dikatakan jauh lebih baik ketimbang fase Abad Pertengahan. Namun demikian, sisa trauma sejarah Perang Salib tampaknya belum sepenuhnya sirna. Relasi umat Islam dan Kristen pun kerap diwarnai oleh kecurigaan. Di banyak negara, termasuk Indonesia, relasi Islam dan Kristen harus diakui masih bernuansa canggung (awkward).

Membangun Paradigma Baru Relasi Islam-Kristen

Dalam konteks Indonesia, relasi Islam dan Kristen juga diwarnai oleh sentimen mayoritanisme. Umat Kristen sebagai kaum minoritas yang lemah secara posisi tawar, kerap menjadi obyek diskriminasi, intoleransi, bahkan persekusi yang dilakukan kelompok mayoritas. Fenomena pelarangan pendirian gereja, atau pembubaran aktivitas ibadah dan doa umat Kristen adalah contoh konkret bagaimana kaum minoritas menjadi obyek intoleransi.

Dinamika relasi Islam dan Kristen sejak era klasik (kenabian), pertengahan (kekhalifahan), dan era modern yang diwarnai pasang surut itu memberikan pelajaran penting bagi generasi sekarang. Setidaknya ada pelajaran penting yang relevan untuk dijadikan semacam lesson learned bagi dunia kekinian untuk membangun relasi keagamaan Islam-Kristen yang lebih harmonis.

Lesson learned pertama, adalah bahwa tidak ada yang namanya konflik Islam dan Kristen, yang ada adalah konflik antara penganut Islam dan penganut Kristen. Islam dan Kristen sebagai agama pada dasarnya berasal dari satu ajaran yang sama, yakni Nabi Ibrahim. Jadi, konflik Islam dan Kristen yang mewarnai sejarah keduanya tidak bisa dikatakan sebagai konflik teologis.

Pasang-surut relasi Islam-Kristen, apalagi dalam konteks Perang Salib justru lebih banyak dilatari oleh faktor kepentingan politik. Ekspansi wilayah, baik yang dilakukan oleh kekhailifahan Islam maupun kerajaan Romawi (Kristen) kerap membuat keduanya terlibat peperangan terbuka. Perang Salib dengan demikian lebih pantas disebut sebagai konflik politik antara Islam dan Kristen, ketimbang konflik teologis.

Lesson Learned kedua yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa model relasi Islam-Kristen di Abad Pertengahan yang diwarnai pertentangan itu nyatanya tidak menghalangi keduanya untuk saling bertukar ilmu pengetahuan.

Transmisi pengetahuan secara resiprokal antara Islam dan Kristen kala itu terjadi secara masif. Banyak karya ilmuwan Kristen dialihbahasakan dan dipelajari oleh ilmuwan Islam untuk dikembangkan di dunia Islam. Dan begitu juga sebaliknya. Banyak hasil pemikiran ilmuwan Islam dalam berbagai bidang yang diadaptasi oleh ilmuwan Kristen.

Transimisi resiprokal keilmuan yang melibatkan Islam dan Kristen ini cukup punya andil signifikan pada kemajuan peradaban manusia yang kita nikmati hari ini. Model relasi resiprokal dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan itulah yang kiranya relevan diadaptasi dalam konteks kekinian.

Itu artinya, ke depan kita perlu mengembangkan relasi Islam-Kristen yang berbasis dan berorientasi pada isu-isu pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dengan begitu, umat Islam dan Kristen akan terbebas dari jebakan sejarah trauma masa lalu yang membuat relasi keduanya selalu canggung.

Facebook Comments