Fenomena “Zero Terrorist Attack”, Akankah Terulang di 2024?

Fenomena “Zero Terrorist Attack”, Akankah Terulang di 2024?

- in Narasi
130
0
Fenomena "Zero Terrorist Attack", Akankah Terulang di 2024?

Sebagaimana disampaikan Kepala BNPT Komjen. Pol. Rycko Amelza Dahniel, tahun 2023 tidak ada satu aksi terorisme di Indonesia. Dengan kata lain, kita berhasil mewujudkan zero terrorist attack sepanjang tahun 2023. Sebuah capaian yang layak diacungi jempol karena sulit mewujudkannya.

Baru beberapa hari lalu, bom meledak di acara misa sebuah gereja di Marawi Filipina. Bom itu diledakkan oleh anggota ISIS. Setidaknya 5 orang tewas dan puluhan lainnya terluka. Aksi teror itu menegaskan bahwa sel teroris ISIS masih bergentayangan di kawasan Asia Tenggara. Sel jaringan teroris itu tampaknya juga masih eksis di Indonesia.

Terbukti, selama dua bulan belakangan ratusan teoretis ditangkap dari sejumlah daerah di Indonesia. Sekitar 150 teroris yang ditangkap Densus 88 itu diketahui berafiliasi dengan organisasi Jamaah Islamiyyah, Jamaah Ansharut Tauhid, Jamaah Ansharud Daulah yang semuanya menyatakan berbaiat pada ISIS.

Pergeseran Pola Gerakan Terorisme

Artinya, nihilnya aksi teror di tahun 2023 itu tidak bisa diartikan sebagai musnahnya sel teroris. Mereka tidak musnah, namun sekedar tiarap dan mengubah strategi gerakan. Di dunia nyata, mereka memang tidak melancarkan aksi teror. Namun, sebaiknya di dunia maya mereka gencar menebar provokasi dan propaganda rasikalisme ekatremisme melalui berbagai kanal media sosial.

Ada sejumlah ciri untuk mengenali konten propaganda radikalisme dan ekatremisme keagamaan di media sosial. Antara lain, pertama konten yang memuat narasi eksklusivisme beragama yakni menganggap agama sendiri paling benar dan menuding agama lain sesat. Kedua, konten keagamaan yang dikemas dalam debat perbandingan agama namun sebenarnya bertendensi merendahkan atau mendeskreditkan agama lain.

Ketiga, konten keagamaan yang menebar kebencian dan ketidakpercayaan pada pemerintahan yang sah. Keempat, konten keagamaan yang membangun asumsi bahwa bentuk pemerintahan dan sistem politik kita hari ini mengadaptasi orang kafir dan representasi thaghut. Kelima, konten keagamaan yang mengajak umat untuk melakukan tindakan makar dan mengubah NKRI menjadi negara Islam.

Kelima model konten keagamaan itu dapat dengan mudah ditemui di medsos hari ini. Kembali ke pertanyaan di judul tulisan ini, apakah fenomena zero terrorist attack dapat kembali terulang di tahun 2024? Saya pribadi tetap optimistik tahun 2024 akan kembali steril dari aksi teror.

Optimisme itu bukan imajinasi kosong belaka. Namun, ada dasar argumentasinya. Dari sisi keamanan, kita makin percaya bahwa aparat kepolisian dan militer kian sigap dalam membaca arah pergerakan kelompok teroris. Terbukti, ratusan teroris berhasil ditangkap aparat selama dua bulan terakhir sebelum mereka melancarkan aksi teror di momen Nataru.

Dari sisi birokrasi pemerintahan kita melihat kian kuatnya sinergi lintas sektor dalam penanggungan rasikalisme dan ekstremisme. Program penanggulangan terorisme berbasis kolaborasi lintas sektor (pentahelix) yang dicanangkan BNPT beberapa waktu lalu harus diakui mulai tampak efektivitasnya. Pencegahan radikalisme dan ekatremisme kini mulai dilakukan oleh setiap kementerian dan lembaga pemerintah.

Sedangkan dalam konteks global kita juga melihat adanya semacam kebuntuan gerakan radikal-ekstrem. Pasca kekalahan ISIS di Suriah dan Irak, praktis tidak ada satu pun organisasi yang merepresentasikan gerakan terorisme dalam skala global. Alhasil, kelompok teori lokal pun seolah kehilangan patron untuk melanjutkan gerakannya.

Mempertahankan Kondisi Zero Terrorist Attack di 2024

Jika kondisi itu bisa terus dijaga di tahun depan, besar kemungkinan prestasi zero attack terrorist akan bisa diulang di tahun 2024 dan seterusnya. Hanya saja, seperti disebut di atas, medan tempur kita hari ini mulai bergeser ke ranah online. Radikalisasi dunia maya tidak kalah berbahayanya dengan infiltrasi rasikalisme dunia nyata. Di dunia maya, narasi radikal bahkan bisa menjangkau seluruh kelompok dan lapisan masyarakat. Kenyataan ini tentu patut diwaspadai.

Mitigasi rasikalisme di dunia maya tentu berbeda di dunia nyata. Perang terorisme di dunia nyata membutuhkan pasukan bersenjata yang terlatih. Di media sosial, perang melawan narasi radikal membutuhkan pengetahuan dalam keagamaan, kemampuan menyusun narasi dan produksi konten serta kelihaian menaklukkan algoritma media sosial. Ini jelas bukan hal mudah. Namun, juga bukan hal yang mustahil.

Ke depan, strategi kontra-radikalisme dan ekstremisme harus diarahkan secara masif ke ranah maya terutama media sosial. Kaum muslim moderat yang selama ini lebih cenderung memposisikan diri sebagai silent majority di media sosial tidak boleh tinggal diam alias pasif. Kelompok muslim moderat harus aktif memproduksi wacana keagamaan yang bertendensi menciptakan budaya toleran, inklusif, dan nasionalis.

Dengan begitu, fenomena self-radicalization yang marak melanda kalangan milenial dan generasi Z karena asupan konten ekstremisme di media sosial bisa dibendung. Cara ini akan memutus regenerasi sel teroris di kalangan anak muda dan remaja. Terputusnya rantai regenerasi teroris adalah upaya untuk mengakhiri lingkaran setan kekerasan dan terorisme berlatar isu agama.

Facebook Comments