Fikih Lokalitas; ‘Jembatan’ antara Islam dan Kebudayaan dalam Konteks Indonesia

Fikih Lokalitas; ‘Jembatan’ antara Islam dan Kebudayaan dalam Konteks Indonesia

- in Narasi
44
0
Fikih Lokalitas; 'Jembatan' antara Islam dan Kebudayaan dalam Konteks Indonesia

Sebagai bangsa yang multikultur, tentu Indonesia memiliki banyak kebudayaan. Hal itu merupakan keniscayaan yang membuahkan kebanggaan sekaligus tantangan. Lantas, apa makna kebudayaan?

Pakar Antropologi, Koentjaraningrat mengungkapkan ada tiga wujud kebudayaan. Pertama, wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai atau norma. Kedua, wujud kebudayaan sebagai aktivitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Dan ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Sebagaimana definisi tersebut, bisa dikatakan, masyarakat Indonesia memiliki banyak ragam kebudayaan yang berwujud nilai/norma, tindakan/perilaku maupun benda buah karya manusia.

Beragam wujud kebudayaan yang bersumber dari berbagai suku bangsa di Indonesia tersebut, sering diistilahkan sebagai kearifan lokal. F.X. Rahyono dalam Kearifan Budaya dalam Kata (2009) mengungkapkan, kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, sebagai bangsa yang mayoritas menganut agama Islam, kerap terjadi dialektika antara Islam dengan kearifan lokal.

Permasalahan muncul, ketika dialektika itu berbuah pada tindak destruktif yang dilandasi oleh arogansi atau intoleransi. Biasanya, arogansi dan intoleransi itu muncul karena pemahaman agama yang cenderung ekstrem atau fundamentalis.

Peristiwa penendangan sesajen di Lumajang, serta penyerangan massa bercadar terhadap ritual sedekah laut di Bantul beberapa tahun lalu merupakan contoh dari arogansi dan intoleransi yang muncul karena pemahaman agama semacam itu. Dan untuk diketahui, dua peristiwa itu hanya sedikit dari banyak contoh benturan antara keislaman dan kearifan lokal dalam sejarah nusantara, karena fundamentalisme agama.

Padahal, persoalan gesekan atau benturan itu bisa diselesaikan dengan pendekatan fikih. Dalam bukunya yang berjudul Dekonstruksi Syariah, pakar hukum Islam Abdullah Ahmed an Naim mengungkapkan bahwa fikih akan selalu dinamis, cair, dan berubah seiring perkembangan zaman (al-mutaghayyirah).

Fikih juga dinyatakan merupakan produk hukum yang dihasilkan dari penafsiran atas teks-teks kitab suci, yang memiliki banyak aliran dan percabangan. Fikih pun dipandang merupakan aturan instrumental dalam kehidupan manusia, yang merupakan hasil ijtihad manusia.

Sehingga, dari uraian Abdullah Ahmed an Naim itu bisa disimpulkan bahwa fikih ialah sesuatu yang dinamis dan kontekstual. Maka, fikih juga bisa terbangun dari realitas sosial dan budaya masyarakat, atau kearifan lokal.

Bertolak dari pemahaman itu, muncul gagasan fikih lokalitas. Gagasan ini memandang hukum Islam tidak hanya didasarkan pada aspek tekstual, namun juga realitas kontekstual, termasuk kebudayaan masyarakat atau kearifan lokal.

Gagasan fikih lokalitas ini sangat relevan untuk menjadi ‘jembatan’ dalam dialektika antara keislaman dan kearifan lokal, pada konteks Indonesia. Dengan gagasan ini, kehadiran kearifan lokal dalam hukum Islam Indonesia bukan suatu kemustahilan.

Fikih lokalitas juga bisa menjadi bukti bahwa Islam dan budaya tidak harus berbenturan. Sebab di mana pun Islam hadir dan tumbuh, pasti ia akan selalu berdialektika dengan kebudayaan dan kearifan lokal dari ‘tanah’ tempat ia bertumbuh.

Fikih lokalitas juga sejatinya tak asing dalam sejarah Islam. Sebab, Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam sangat adaptif dan akomodatif pada kearifan lokal.

Demikian juga penyebaran Islam di Indonesia oleh para Wali, kerap menggunakan budaya sebagai instrumennya. Hal itu bisa dilihat pada penyebaran Islam oleh Sunan Kalijaga dengan menggunakan wayang kulit, yang sejatinya merupakan budaya pra Islam dari masyarakat nusantara.

Akhirnya, sudah seharusnya ‘jembatan’ bernama fikih lokalitas ini segera dibangun. Bila tidak, Islam dan kebudayaan akan selalu menemukan ‘jurang pemisah’, yang bernama fundamentalisme agama.

Facebook Comments