Fikih Toleransi Berbasis Maqashid Syariah

Fikih Toleransi Berbasis Maqashid Syariah

- in Keagamaan
3188
0

Di dalam ayat al-Quran, kata toleransi (tasamuh) memang tidak disebutkan secara literal. Namun, sinonim atau kata-kata yang memiliki padanan makna dengannya sangat banyak. Terma tasyawur (musyawarah), tawashi (mengingatkan dalam kebaikan), tarahum (saling mengasihi), ta’aruf (saling mengenali), adalah sederet kata yang terkandung dalam al-Quran dan bermakna sangat dekat dengan terma tasamuh (toleransi). Kata-kata tersebut menegaskan bahwa perbedaan adalah rahmat.

Dalam literatur kamus bahasa Arab konvensional yang menjadi rujukan para mufassir al-Quran dalam membantu mereka memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Quran, kata “tasahul” (mepermudah/memudahkan) merupakan sinonim dengan kata “tasamuh” (toleransi). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mandhur, dalam karya monumentalnya berjudul Lisanul Arab. Sementara Al-Fairuz Abadi dalam kamus al-Muhith, menyatakan bahwa makna kata musahalah (derivasi dari tasahul) sama seperti musamahah (dari akar kata yang sama dengan tasamuh).

Al-Quran sebagai rujukan primer bagi kaum muslim dalam menjalankan syariat Islam memberikan penjelasan tentang pluralitas suku bangsa manusia sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (QS: Ar-rum, 22)

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS: al-Hujurat, 13)

Toleransi dalam Diskursus Fiqh Kontemporer

Syariat Islam diturunkan kepada umat manusia agar menjadi rahmat serta membawa kemaslahatan bagi alam semesta, terlebih kepada manusia. Hukum syariat (fikih) dibangun atas dasar kemaslahatan (jalb al-mashalih) dan mencegah kerusakan (dar’ al-mafasid). Pembahasan seputar ini terangkum dengan baik dalam literatur-literatur ushul fikih klasik hingga kontemporer.

Sejumlah pakar maqashid syariah modern mencoba menggulirkan wacana fikih peradaban. Sebuah fikih yang berlandaskan pada prinsip-prinsip universal syariah (maqashid syariah) yang sudah digagas oleh sarjana-sarjana klasik seperti Imam Haramayn al-Juwaini dan muridnya, Imam al-Ghazali. Kedua guru-murid ini saling menyempurnakan wacana maqashid syariah. Pemetaan maqashid yang dilakukan al-Juwayni tentang kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial yang terangkum dalam kitabnya (al-Burhan fi Ushul al-Ahkam) diteruskan oleh muridnya, al-Ghazali, Di tangan al-Ghazali kajian maqhasid memiliki cakupan lebih luas, al-Ghazali memetakan maqhasid syariah menjadi tiga:

  1. Dlaruriyah (Kebutuhan primer)
  2. Hajjiyah (Kebutuhan sekunder)
  3. Tahsiniyyah (Kebutuhan suplemen)

Dari ketiga pemetaan di atas, al-Ghazali membaginya kembali menjadi lima kategori:

  1. Hifdz al-Din, melindungi agama; yang terimplementasikan dalam kebebasan memeluk agama dan kewajiban untuk menghormati pemeluk agama lain
  2. Hifdz al-Nafs, melindungi jiwa; dengan diterapkannya hukum perdata sebagai bentuk penjagaan terhadap jiwa-jiwa manusia.
  3. Hifdz al-Nasl, menjaga keturunan; yakni dilegalisasikannya nikah demi menjaga keturunan, juga diharamkannya zina karena merusak keturunan.
  4. Hifdz al-Aql, melindungi akal; yang diterapkan melalui diharamkankannya khamr, hak untuk mendapatkan pendidikan.
  5. Hifdz al-Mal, melindungi harta; menjaga dari pencuri, membayar zakat, hak mendapatkan pekerjaan, dll.

Lima dasar prinsip-prinsip universal syariat Islam (al-kulliyat al-khamsah) ini merupakan asas penting yang harus dijadikan tolok ukur dalam melakukan ijtihad-ijtihad fikih kontemporer, terlebih dalam menciptakan budaya toleransi antarumat seagama dan antarumatberagama. Oleh sebab itu, pengetahuan akan hal ini merupakan syarat mutlak bagi ahli fikih sebagai piranti dalam memahami dan mendialogkan antara teks dan realitas untuk menjawab problematika umat.

Walahu A’lam bis Shawab

Facebook Comments