Gara-Gara Google

Gara-Gara Google

- in Narasi
2762
0

Suatu ketika seorang teman pernah berseloroh bahwa Tuhan kini telah mencipta ‘planet’ baru, dimana planet itu berisi ‘negara’ lengkap dengan ‘penduduknya’ yang sangat banyak. ‘Planet’ itu memiliki banyak sekali informasi, jauh lebih lengkap daripada informasi di sekolah manapun di planet bumi. Di ‘planet’ itu siapapun bisa menjadi apa saja yang mereka inginkan, mau jadi ahli telematika? Bisa! Mau jadi musisi? Bisa! Atau mau jadi kiai? Bisa banget!

‘Planet’ itu bernama google. ‘Penduduk’ google tinggal di akun-akun medsos yang tersebar luas di dunia maya. Dalam akun-akun itu, setiap orang ‘bebas’ menampilkan diri mereka sesuai dengan fantasinya. Seseorang yang sebenarnya bukan siapa-siapa bisa langsung menjadi semacam orang penting di planet google. Sehingga, apapun yang ia katakan dan lakukan akan serta-merta menjadi hal penting di dunia itu.

Gambaran tentang google sebagai ‘planet’ seperti selorohan teman saya di atas memang terkesan berlebihan dan sekilas mengada-ngada. Namun jika dicermati pandangan tersebut ada benarnya juga. Coba anda perhatikan, apa yang tidak ada dalam google? Semua informasi nyaris tersedia didalamnya, iya, semuanya! Termasuk informasi yang baik dan informasi yang tidak baik. Pihak google sepertinya mengusung asas kebebasan berpendapat. Mereka tidak membatasi siapa saja untuk berbagi informasi apa saja, termasuk berbagi informasi yang memiliki muatan negatif.

Dewasa ini masyarakat, termasuk kita, sudah terlalu terbiasa untuk mengandalkan internet sebagai rujukan utama dalam mencari informasi. Fleksibilitas dan efektifitas menjadi dua alasan utama mengapa internet lebih dipilih. Internet menyediakan terlalu banyak informasi yang siap dinikmati kapan saja dan dimana saja. Sayangnya belum banyak dari kita yang menyadari bahwa internet sebenarnya tidak punya ‘polisi’ yang bertugas mengawasi dan memastikan kebenaran dari setiap informasi yang beredar. Sehingga informasi yang tidak benar masih sangat bebas untuk terus beredar.

Banyaknya tindak kejahatan dan kerusakan yang ‘seenaknya saja’ mengatasnamakan agama yang kita saksikan saat ini salah satunya berasal dari penerimaan mentah-mentah terhadap informasi yang tidak benar itu. Yakni informasi yang isinya mengajak kita untuk mulai membenci orang lain, melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain, dan merasa paling tahu apa yang diinginkan Tuhan.

Internet memang memiliki sisi fleksibilitas dan efektifitas, tetapi internet juga sangat lemah pada sisi akuntabilitas. Artinya informasi yang ada di internet belum tentu benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Bagi kita yang baik, munculnya informasi bermuatan negatif tentu sangat mengganggu, terutama karena konten tersebut mulai mengajak orang untuk berhenti menjadi baik. Melalui konten-konten penuh kontroversi, mereka mengajak kita untuk mulai rajin memaki. Saudara yang seharusnya disayangi malah disuruh untuk dibenci.

Hal yang sangat meresahkan terkait dengan banjirnya informasi di internet adalah munculnya para ‘pakar agama’ dadakan. Yakni mereka yang sebenarnya tidak ahli di bidang agama namun ‘sok-sokan’ berlagak laiknya ulama. Orang-orang beginian ini yang keranjingan menebarkan kebencian dan permusuhan.

Kita yang baik tentu tidak boleh kalah, jumlah kita jauh lebih banyak dari mereka. Andai masing-masing orang dari kita bisa nyumbang satu saja konten damai tiap 2 atau 3 hari sekali, maka berita-berita tidak benar yang sempat beredar di ‘planet’ google pasti akan kelabakan. Menjadi orang baik memang terkadang tidak gampang; kita harus terus-menerus berbuat baik, karena orang baik yang berhenti berbuat baik adalah penjahat yang paling sakit!

Banyaknya informasi bermuatan negatif yang kini menyesaki dunia maya sebenarnya merupakan kelanjutan dari majalah cetak yang disebar kelompok penggila permusuhan yang dulu pernah agak jumawa pada era 90-an. Para kiai dan dai saat itu tidak tinggal diam, mereka gencar melakukan pengajian dan pendekatan kepada masyarakat dengan ajaran-ajaran damai, sehingga majalah tersebut akhirnya tidak diterima oleh masyarakat. Kini ketika majalah itu berganti medium ke internet, kita sudah tahu bagaimana mengatasinya.

Pertama, opini dilawan dengan opini plus bukti. Kelompok yang risih pada perdamaian itu selalu menebar opini tentang pentingnya menciptakan musuh dengan berdasarkan pada ayat-ayat agama yang mereka tafsirkan dengan seenaknya. Kita lawan opini tersebut dengan penjelasan yang lebih baik, plus kita berikan bukti bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian dan persaudaraan, bukan permusuhan dan perpecahan. Kedua, rajin melakukan pendekatan personal. Internet mungkin telah membuat kita sejenak lupa tentang pentingnya melakukan pertemuan fisik, padahal pertemuan fisik sangat penting. Karena dari pertemuan itu kita bisa menjalin keakraban dan bahkan persaudaraan. Orang yang telah merasakan indahnya persaudaraan pasti tidak akan sudi untuk menyemai permusuhan.

Ketiga, dongakkan kepala sedikit saja keatas, dan lihatlah betapa layar gadget yang sempat menyibukkan kita itu ternyata sangat kecil dibandingkan dengan realita yang ada di depan mata kita. Mari bersama-sama kembali meramaikan masjid, mempererat silaturahim, dan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Niscaya kebaikan akan dapat terus disebarkan.

Facebook Comments