Hidup Terhormat adalah Mati Syahid

Hidup Terhormat adalah Mati Syahid

- in Narasi
4175
0

Hampir tiap kali ada teroris mati, entah karena menjalani hukuman mati atau ‘sukarela’ meledakkan diri sendiri, selalu saja ada orang-orang yang melabeli mereka dengan ‘gelar’ syuhada atau orang yang mati dalam keadaan syahid. Aduh, apalagi ini? Masak orang yang menciptakan keresahan dan kerusakan seperti itu disebut sebagai ‘orang yang mati karena membela agama’ sih?

Syuhada kerap digunakan untuk merujuk kepada orang-orang yang meninggal dalam keadaan membela Islam. Secara bahasa, syuhada berarti orang-orang yang bersaksi, yakni orang-orang yang menjadi saksi atas manusia, termasuk atas dirinya sendiri. Beberapa pakar juga mengartikan bahwa syuhada adalah saksi dan kontrol atas peradaban, bukan mati dalam kebiadaban. Artinya, menjadi syuhada adalah sebuah keniscayaan bagi seluruh manusia, karena di tangan manusialah peradaban ditentukan.

Mati dalam membela agama tidak boleh diartikan sebagai usaha untuk mati konyol demi kejayaan sebuah agama. Ingat, orang mati tidak bisa melakukan apa-apa. Sebagai bagian dari peradaban, agama lebih membutuhkan orang hidup, yang dapat berkarya dan terus berbuat baik terhadap sesama, bukan malah memilih untuk mati seenaknya sambil berharap mendapat hadiah surga.

Salah satu kata ‘penyemangat’ yang kerap digunakan oleh kelompok pecinta kekerasan adalah ungkapan isy kariman au mut syahidan (hidup mulia atau mati syahid). Mereka akan menemukan kalimat ini sebagai pembenaran atas berbagai pemikiran dan tindakan mereka yang melenceng jauh dari semangat perdamaian. Mungkin mereka lupa (atau tidak peduli), kalimat di atas adalah sepenggal nasehat yang hanya pas untuk satu momen saja, dan momen itu sudah berlalu.

Kalimat di atas adalah nasehat Asma kepada anaknya, Ibnu Zubair, saat menemui kesulitan dalam menghadapi musuh di medan perang. Ibnu Zubair sendiri kemudian dikenal sebagai seorang pejuang Islam yang hebat, tidak pernah gentar menghadapi musuh di medan perang. Ia pun sosok yang sangat tekun beribadah dan dikenal sebagai salah seorang syuhada muslim terhebat. Namun sayang, ia harus meninggal dalam keadaan yang sungguh mengenaskan, ia harus mati dengan cara disalib, kepalanya dipenggal oleh Hajjaj bin Yusuf untuk kemudian ‘dihadiahkan’ kepada Abdul Malik, penguasa kekhalifahan Bani Umayyah.

Kalimat di atas kemudian ‘dibangunkan’ lagi di era modern oleh Sayyid Qutb, ideolog dan salah satu pembesar gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Kalimat isy kariman au mut syahidan ia dengungkan disaat ia akan menghadapi hukuman gantung rezim Gamal Abdul Nasser. Dan entah bagaimana ceritanya, kalimat tersebut kemudian dijadikan semacam mantra oleh para extrimis untuk membangkitkan semangat menjemput ajal. Namun sayang, penekanan kalimat tersebut hanya terletak pada frase terakhir, mut syahidan (mati sahid), bukan pada isy kariman (hidup mulia). Sehingga tak pelak, orang-orang yang telah ‘kalah’ dalam kehidupan tersebut memilih untuk mati bersimbah luka daripada hidup mulia.

Bagi saya, isy kariman au mut syahidan berarti hidup (dengan cara) mulia (akan mengantarkan seseorang kepada) kematian yang syahid. Artinya, kematian yang syahid hanya akan bisa didapat oleh orang-orang yang menjalani hidup dengan mulia, bukan melalui jalan pintas dengan bom bunuh diri yang justru melukai sesama. Bukankah hidup terlalu indah untuk ditinggalkan begitu saja?

Facebook Comments