Tahun ini bangsa Indonesia memeringati HUT Kemerdekaan yang ke-73. Salah satu hal yang mesti terus diperjuangkan sebagai bangsa merdeka adalah terciptanya kehidupan yang aman dan damai. Kita sadar bahwa perdamaian hanya akan tercipta ketika setiap orang memiliki sikap dan kesadaran saling menghormati. Perbedaan atau keragaman di antara manusia harus diikat rasa persaudaraan kemanusiaan, sehingga tercipta kehidupan yang harmonis dan damai. Bagi bangsa Indonesia, pengikat tersebut tak lain adalah Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara merekatkan kemajemukan bangsa Indonesia, untuk bersatu padu dalam semboyan Bhinneka Tungga Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Pancasila menjamin hak setiap warga negara untuk memeluk keyakinannya. Pancasila menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, dan keberadaban. Pancasila adalah juga tentang persatuan, musyawarah, dan semangat keadilan sosial. Prinsip-prinsip tersebut merupakan fondasi yang dibangun para pendiri bangsa, untuk dijadikan dasar menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah realitas kemajemukan yang ada.
Selain digali pendiri bangsa dari nilai-nilai yang sudah mengakar di masyarakat Nusantara, dalam sejarahnya, Pancasila juga mengalami berbagai perdebatan dan diskusi, sebelum akhirnya menjadi kita kenal sekarang ini. Setelah Panitia Sembilan dibentuk untuk menggodok berbagai masukan dalam perumusan dasar negara, pada tanggal 22 Juni 1945 dihasilkan rumusan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Isi Piagam Jakarta sama dengan Pancasila yang kita kenal sekarang, hanya berbeda di sila pertama, yakni berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Sejarah mencatat, beberapa kalangan non-muslim dan juga dari Indonesia Timur saat itu berkeberatan atas sila pertama tersebut, sehingga akhirnya dicoret dan diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” demi mengakomodasi semua pihak yang nantinya hidup bersama dalam alam Indonesia merdeka (Agustinus W. Dewantara, 2017: h. 14). Di samping memberi gambaran tentang semangat kebersamaan para pendiri bangsa, sejarah tersebut, lebih jauh lagi juga menyiratkan adanya kebijaksanaan dan kebesaran hati dari wakil kalangan Muslim saat itu untuk menekan egoisme identitas demi kepentingan bersama yang lebih luas dan besar; bangsa.
Bagi masyarakat Muslim di Indonesia, apa yang ditunjukkan oleh para pendiri bangsa dari kalangan Muslim dalam salah satu babak sejarah perumusan dasar negara tersebut bisa menjadi teladan berharga. Bahwa bangsa ini bisa berdiri tidak hanya karena satu golongan, namun oleh perjuangan dan peran beragam golongan. Bahwa semangat beragama tidak berarti harus membuat kita melupakan hak-hak saudara kita yang lain. Dalam sejarah peradaban Islam, lewat kepemimpinan Rasulullah Saw. kita juga melihat pentingnya menjamin hak-hak bersama, meski berbeda suku dan keyakinan.
Sejarah hijrah Rasulullah Saw. dan para pengikutnya dari Makkah ke Madinah, di samping menjadi bentuk perjuangan menyebarkan ajaran Islam, di saat bersamaan juga lekat dengan misi menegakkan keadilan dan kesetaraan. Quraish Shihab dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad, sebagaimana dijelaskan Faturrahman Ghufron (2016), menulis bahwa salah satu momen penting dalam proses hijrah Nabi Muhammad Saw. adalah menegaskan semangat kolektif untuk mencapai cita-cita bersama.
Semangat tersebut tergambar jelas lewat Piagam Madinah yang dibuat untuk mengakomodir kepentingan berbagai suku, golongan, kelompok, dan agama yang ada di masyarakat Yatsrib saat itu. Di tengah kondisi Madinah (Yatsrib) yang multi suku dan kepercayaan, serta berbagai perpecahan dan perang saudara yang membuat kota tersebut krisis saat itu, Rasulullah Saw. hadir dan membangun masyarakat ideal berlandaskan nilai-nilai ketauhidan dan saling menghargai hak masing-masing dalam kesetaraan dan keadilan lewat Piagam Madinah.
Hak setiap suku, kelompok, dan umat bergama benar-benar dilindungi. Pasal 37 dalam Piagam Madinah menyebutkan, Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi kaum Muslim ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan Muslim) bahu-membahu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat… Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.. Di sini kita melihat bagaimana prinsip keadilan, kesetaraan, juga saling menghargai, gotong royong, dan bahkan kepedulian terhadap yang lemah dijadikan landasan membangun kehidupan bersama, sehingga terbangun masyarakat yang beradab, sejahtera, dan harmonis.
Nadirsyah Hosein, seperti dikutip Ghurfron Ibnu Mas’ud (2018), menyebut bahwa Piagam Madinah sebagai potret konstitusi yang demokratis. Dan yang menarik untuk digarisbawahi, dalam piagam tersebut tidak ada terma “Negara Islam”. Di tengah keragaman masyarakat, Rasulullah Saw. lebih memilih membentuk Piagam Madinah yang bisa mendamaikan dan mengakomodir hak-hak setiap suku, kelompok, dan agama yang ada, untuk kemudian bersatu dan bekerjasama menciptakan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan. Di sinilah salah satu letak kesamaan antara Pancasila dan Piagam Madinah, yang mana keduanya sama-sama diformulasikan untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik tanpa harus memaksakan egoisme identitas kelompok tertentu.
Menelusuri sejarah perumusan Pancasila dan Piagam Madinah membuat kita semakin sadar pentingnya menjaga konsensus kebangsaan. Dan di tengah masyarakat yang beragam atau majemuk, yang dibutuhkan adalah sebuah konsensus yang bisa mengakomodir dan menjamin hak semua kemajemukan tersebut. Piagam Madinah dirancang Rasulullah Saw, panutan dan teladan utama kita umat Muslim. Artinya, dari Piagam Madinah kita bisa mengambil hikmah untuk semakin menguatkan tekad sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila. Jika komitmen kita akan Pancasila kuat, Indonesia akan tetap berdiri kokoh, bersatu, dan siap menghadapi segala tantangan zaman. Wallahu a’lam..