Implementasi RAN PE; CegahTerorisme-Separatisme, Perkuat Nasionalisme

Implementasi RAN PE; CegahTerorisme-Separatisme, Perkuat Nasionalisme

- in Narasi
1366
0
Implementasi RAN PE; CegahTerorisme-Separatisme, Perkuat Nasionalisme

Terorisme pada dasarnya tidak hanya melulu soal kekerasan berbasis agama. Terorisme ialah tindakan ekstremisme atau kekerasan yang dilakukan secara terstruktur, masif dan sistematis dengan tujuan menimbulkan ketakutan dan kecemasan publik. Maka, pemahaman terkait terorisme pun cenderung tidak tunggal. Dilihat dari latar belakang dan motifnya, terorisme dapat diklasifikasikan ke dalam setidaknya tiga jenis.

Pertama, terorisme yang dilatari cara pandang dan penafsiran ajaran agama. Terorisme agama muncul karena pemahaman keagamaan yang tekstualistik dan eksklusivistik. Gejalanya bisa dilihat dari munculnya sikap intoleran terhadap kelompok agama lain. Inilah jenis terorisme yang saat ini paling banyak muncul di Indonesia. Yakni orgnisasi jaringan teroris yang berafiliasi dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).

Kedua, terorisme politik, yakni kekerasan yang dilakukan atas motif kekecewaan terhadap politik praktis. Misalnya kekerasan, perusakan, pembunuhan yang dilakukan oleh individu atau kelompok secara masif lantaran tidak puas atas kekalahan dalam kontestasi politik. Beruntungnya, Indonesia tidak menghadapi fenomena terorisme yang demikian ini.

Ketiga, terorisme separatisme. Yakni aksi kekerasan yang dilatari motif melepaskan diri dari wilayah pemerintahan yang sah. Dalam konteks Indonesia, kita bisa menyebut Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua sebagai fenomena terorisme berlatar isu separatisme. Bertahun-tahun KKB Papua menebar teror dan kekerasan. Mulai dari membunuh aparat Polri dan TNI sampai membantai masyarakat sipil, baik pendatang maupun pribumi.

Kekerasan Berbasis Separatisme

Kekerasan dan teror KKB Papua itu memiliki setidaknya dua tujuan. Pertama, menimbulkan situasi panik, cemas dan takut di tengah masyarakat. Kepanikan, kecemasan dan kepanikan publik itu akan membuat KKB kian leluasa menunjukkan arogansi dan otoritasnya. Kedua, memprovokasi TNI dan Polri agar melakukan serangan balik. Jika itu terjadi, maka KKB dan para SJW (Social Justice Warrior) isu Papua akan mengamplifikasinya ke dunia internasional sebagai tindakan pelanggaran HAM berat.

KKB Papua dan pihak mendukung aksi teror kejinya merupakan musuh bangsa, negara dan kemanusiaan. Layaknya terorisme agama, terorisme separatisme juga kerap membalut praktik kekerasan yang dilakukannya dengan argumen perjuangan. Teroris agama melabeli tindakan destruktifnya sebagai jihad. sedangkan teroris-separatis mengklaim tindakannya sebagai perjuangan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan di Papua.

Klaim itu jelas problematis. Bagaimana tidak? Pasca Reformasi, perhatian pemerintah pusat terhadap Papua sungguh luar biasa. Dana otonomi khusus mencapai puluhan triliun tiap tahun. Tujuannya agar Papua bisa membangun dan mengejar kemajuan layaknya daerah lain di Indonesia. Dalam konteks pemerintahan Joko Widodo, pemerintah giat membangun beragam infrastruktur fisik yang menunjang kehidupan ekonomi dan sosial warga Papua.

Namun, bukannya mereda, eskalasi kekerasan KKB justru kian menjadi. Data menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2019-2021 terjadi sedikitnya 46 kasus kekerasan yang dilakukan KKB Papua.Ini artinya, tujuan KKB Papua bukanlah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan warga Papua. Melainkan lebih sebagai motif separatisme, yakni melepaskan diri dari otoritas pemerintahan NKRI yang sah dan berdaulat.

Memadukan Pendekatan Keras dan Lunak

Sama halnya dengan penanggulangan terorisme agama, terrorisme separatisme juga membutukan dua pendekatan, yakni hard-power dan soft-power. Hard-power ialah pendekatan yang lebih menitikberatkan pada isu pertahanan dan keamanan dengan memaksimalkan kekuatan militer dan persenjataan.

Operasi militer menumpas KKB Papua merupakan manifestasi pendekatan hard-power. Cara ini terbilang efektif mengatasi siklus kekerasan yang dilakukan oleh para teroris-separatis KKB Papua. Terbukti, setelah penetapan KKB sebagai terorisme-separatisme yang ditindaklanjuti dengan operasi militer di basis pertahanan KKB, eskalasi kekerasan di Papua menurun drastis.

Namun, harus diakui bahwa pendekatan hard-power tidak akan menyelesaikan persoalan terorisme-separatisme hingga ke akarnya. Untuk itu, kita perlu memadukannya dengan strategi soft-power. Yakni dengan membuka ruang dialog dengan kelompok separatis Papua. Cara ini pernah dilakukan oleh mendiang Gus Dur ketika beliau menjabat Presiden RI. Dan, cara tersebut nisbi berhasil meredam kekerasan dan konflik di Papua.

Cara lain yang bisa ditempuh ialah dengan membangun rasa nasionalisme di kalangan masyarakat Papua. Cara ini tentu harus melibarkan seluruh komponen masyarakat Papua, termasuk kelompok agama, komunitas adat dan tokoh-tokoh publik yang selama ini memiliki pengaruh besar di Papua. Pendekatan soft-power dengan menjalin sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil ini sekaligus juga akan membentuk semacam mekanisme pencegahan terorisme berbasis separatisme di Papua.

Sinergi pemerintah dan masyarakat Papua penting untuk mencegah masyarakat terlibat organisasi KKB, atau menjadi simpatisan yang mendukung aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan. Melalui sinergi pemerintah dan masyarakat, kiranya bisa dibangun kesadaran akan bahaya separatisme bagi ketahanan dan keutuhan nasional. Dengan terjalinnya sinergi pemerintah dan masyarakat, kiranya tidak akan ada ruang bagi terorisme-separatisme di tiap jengkal wilayah di negeri ini.

Facebook Comments