Kasus pelarangan beribadah di Tangerang menuai kritik dari berbagai kalangan, mulai dari warga setempat sampai instansi keagamaan. Staf Khusus Menteri Agama bidang Media dan Komunikasi Publik, Wibowo Prasetyo mengecam tindakan tersebut sebagai sikap intoleran. Menurutnya, tindakan tersebut tidak sejalan dengan semangat moderasi beragama di Indonesia.
Dari pihak pemerintah, kepolisan Tanggerang Selatan menangkap pihak-pihak yang diduga menjadi dalang dari kekerasant tersebut. Ketua RT dan dua warga ditetapkan sebagai tersangka atas kasus itu. Respon Kemenag dan Kepolisian bertujuan untuk menjaga kerukunan umat beragama di wilayah tersebut.
Respon Kementerian Agama, Walikota Tanggerang, dan Kepolisian menunjukan bahwa isu kerukunan umat beragama masih menjadi tantangan relasi antar umat beragama di Indonesia. Tantangan tersebut juga menjadi penghalang bagi sikap menghormati dalam semangat moderasi beragama di Indonesia. Moderasi beragama yang dimaksud adalah kesadaran sekaligus keinginan agar warga Indonesia saling menghormati dan menghargai kebebasan beragama. Kebebasan beragama adalah sikap saling menghormati pilihan dan ekspresi orang dari latar belakang agama lain.
Sikap menghormati tersebut sejalan dengan konstitusi Indonesia yang mendukung kebebasan beragama sebagaimana tercatat dalam Pasal 29 UUD 1945 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Menurut saya, kerukunan umat beragama sudah sepatutnya berlangsung dalam semangat kebangsaan. Semangat kebangsaan perlu menjadi energi untuk membangun kesadaran bahwa keberagaman dan kebebasan beragama adalah sikap wajib dari warga negara Indonesia. Ide tersebut tersalurkan dengan baik melalui penelitian-penelitian Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Wakaf Paramadina baru saja menerbitkan buku Kumpulan tulisan berjudul ‘Mengelola Konflik, Memajukan Kebebasan Beragama: Ketegangan dalam Ragam Pendekatan Advokasi bagi Kelompok Terpinggirkan yang terbit pada bulan Maret 2024.’
Oleh karena itu, untuk memperkaya wacanan kerukunan umat beragama. Saya menilai penting untuk kita melihat sejauh mana peran wacana kebebasan beragama dan wacana kebangsaan dapat memperkaya pandangan dan sikap kita untuk menghindari kasus intoleransi beragama seperti yang baru terjadi di Tanggerang dan tempat-tempat lainnya di Indonesia.
Inklusi Sosial: Warga Beragama Sekaligus Warga Negara
Secara khusus, buku ‘Mengelola Konflik, Memajukan Kebebasan Beragama: Ketegangan dalam Ragam Pendekatan Advokasi’ mengangkat isu terkait advokasi kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Isu toleransi dan kerukunan umat beragama juga menjadi topik serius yang dikaji oleh para akademisi dan aktivis yang mendapat undangan menulis.
Para penulis di buku tersebut mengangkat ide dasar ‘inklusi sosial’ sebagai tawaran dalam penyelesaian konflik. Inklusi sosial adalah sikap menghormati keberagaman agama sebagai bagian dari hak Masyarakat Indonesia. Artinya keberagaman beragaman adalah fakta sosial karena diizinkan oleh konstitusi di negara ini. Sudah sejak lama, para pendiri bangsa menyadari bahwa masyarakat Indonesia memliki keanekaragaman agama dan kepercayaan. Keragaman tersebut diakui melalui Pasal 29 UUD 1945 ayat 1 dan 2 yang isinya merupakan pengakuan dan pemberian kebebasan bagi Masyarakat Indonesia untuk hidup seturut keyakinan mereka masing-masing.
Sebagai ide dasar, inklusi sosial adalah pengakuan bahwa komunitas beragama adalah komunitas negara Indoesia. Oleh karena itu, penolakan terhadap kehadiran komunitas agama tertentu termasuk praktik agamanya, seperti pembubaran ibadah di Tanggerang, merupakan tindakan melawan hukum sebab negara kita menjamin warganya untuk memeluk dan mempraktikan setiap kepercayaan agama secara bebas.
Inklusi Sosial sebagai Paham dan Sikap Dasar Warga Indonesia
Merespon kasus di Tangerang, saya mendorong agar ide inklusi sosial dapat menjadi pedoman serta panduan masyarakat Tanggerang, dan Indonesia secara keseluruhan untuk menjadi ide penuntut menuju kerukunan umat beragama. Ide tersebut saya uraikan dalam beberapa poin seperti berikut.
Pertama, inklusi sosial bekerja dalam kerangka moderasi beragama sekaligus memperluas ide tersebut. Inklusi sosial tidak hanya mengakui keberagaman beragama tetapi mengakuinya sambil menyadari bahwa keberagaman merupakan fakta sosial. Fakta sosial, keberagaman suku bangsa dan agama, adalah ciri bangsa Indonesia. Ciri tersebut dipahami dengan baik oleh para pendiri bangsa maka dari itu undang-undang di negara ini memberi ruang pengakuan bagi keberagaman tersebut.
Pancasila misalnya lahir dari kesadaran akan keberagaman agama. Maka dari itu, Pancasila dibuat seluas mungkin tanpa mewakili agama tertentu. Sila pertama ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ lahir dari refleksi akan keberagaman keyakinan dan kekayaan paham agama di Indonesia. Maka, inklusi sosial mesti dimulai dari pemahaman akan keberagaman agama sebagai bentuk dari keberagaman sosial yang kemudian diakui sebagai bagian tidak terpisah dari bangsa Indonesia.
Kedua, inklusi sosial berimplikasi pada kewajiban untuk turut menjaga dan merawat keberagaman tersebut. Bentuk kongkritnya adalah menghargai keberlangsungan praktik umat beragama. Tindakan kekerasan yang dilakukan di Tanggerang jelas bertentangan dengan inklusi sosial. Maka dari itu, tidak heran bila para pelaku kemudian diringkus oleh pihak berwenang. Negara, melalui kepolisian, berhak menangkap mereka karena tindakan tersebut bertentangan dengan landasan kehidupan bernegara.
Dengan demikian, inklusi sosial adalah kewajiban warga Indonesia untuk mengakui dan ikut merawat keberagaman agama sebagai tugas warga negara. Negara kita sudah sejak lama mengakui keberagaman tersebut. Oleh karena itu, kita perlu menghargai kebebasan beragama sebagai semangat moderasi dan praktik kerukunan umat beragama. Inklusi sosial adalah kesadaran untuk menghormat umat beragama sebagai bagian dari sesame warga Indonesia yang dilindungi dan dijaga melalui hukum dan konstitusi di tanah air tercinta.