Inspirasi Persaudaran Lintas Iman dari Desa Baturan : Sebuah Cerita Pengalaman

Inspirasi Persaudaran Lintas Iman dari Desa Baturan : Sebuah Cerita Pengalaman

- in Narasi
3076
0
Menebar Toleransi dan Kebajikan di Tengah Masyarakat Majemuk

Sebagaimana diketahui, kuliah kerja nyata (KKN) merupakan syarat kelulusan untuk menjadi sarjana. Pengalaman ini didapat 2 tahun yang lalu, ketika saya ditempatkan di Kabupaten Klaten tepatnya di desa Baturan Kecamatan Gantiwarno. Memang, desa tak jauh dari jantung kota, sekitar 30 menit dari Yogyakarta dan 30 menit dari pusat kota Klaten. Medan untuk menempuh desa Baturan sangat mudah ditempuh, jalannya mulus sedangkan sepanjang perjalanan dikelilingi hamparan hijau sawah.

Menariknya, mata memandang sebelum masuk desa ini. Ada tagline menarik yang bertuliskan “desa Banturan, desa Pancasila”. Betapa terkejut saya, ada yah desa seperti ini. Gambaran saya, pasti desa ini memiliki keragaman, mungkin etnis atau agama.

Memang tagline bukan sekedar simbol saja. Di desa ini setelah turun langsung, kondisinya sangat beragam pemeluk agama. Ada Islam ( Agama Mayoritas), Katolik ( Agama kedua yang paling dianut ), Kristen ( Agama Minoritas), Hindu (Agama Minoritas).

Selama hampir dua bulan saya menetap di Desa Pancasila ini, saya tinggal di keluarga muslim sederhana. Ibu Narni namanya ( Seorang Pedagang Sayuran di desa), tetangga tempat tinggal juga beraneka ragam misalnya Pak Karni (Seorang Mudin Desa), Pak Lanjar ( Ketua RW 02, Penganut Katholik yang taat ),Pak Sutadi ( Ketua RT, Seorang Katholik Taat ), Ibu Rini ( Seorang Katholik ).

Ketika pengabdian dimulai memang banyak memang berinteraksi dengan warga sekitar. Bagi seorang muslim tradisionalisseperti saya, soal berhubungan tak pandang bulu untuk bergaul kepada siapapun. Apalagi soal agama tak menjadi penghalang untuk berinteraksi.

Perkumpulan RT, Gotong Royong Desa, hingga perayaan keagaaman semuanya saya ikuti dengan baik, seraya belajar bermasyarakat dengan baik dan benar. Mulai menghormati secara budaya seperti gaya bahasa Jawa yang sedikit halus (apalagi saya hidup besar di Jawa timur), kemudian secara berbeda agama terhadap masyarakat non-muslim. Dalam KKN ini, benar-benar dipraktikan internalisasi pancasila dalam rutinitas sehari-hari.

Ada yang menarik pembelajaran soal persaudaran lintas iman di desa Baturan, ada sebuah keluarga yang deket dengan saya. Pak Sutadi ( Seorang Katholik dan dipercaya menjadi Ketua RT 04) beliau berujar kepada saya mengenai keragaman agama di Desa Baturan, beliau mengkisahkan bahwa di desa ini sudah turun menurun saling menghargai sesama tetangga. Bahkan, ketika perayaan keagamaan misalnya Idul Adha. Warga Katholik saling membantu warga muslim untuk gontong royong menyebelih hewan qurban, sebaliknya ketika perayaan paskah pemuda muslim juga membantu sebagai panitia. Ujar Pak Sutadi.

Pernyataan Pak Sutadi benar adanya, ini dibuktikan ketika saya terjun langsung di lapangan langsung. Mulai dari gontong royong membersihkan kampung hingga perayaan keagamaan, saya temukan kedekatan antara warga muslim dengan non muslim tak ada masalah. Bahkan, kedekatan sudah selayaknya seperti keluarga.

Suatu contoh, jamiyah tahlil sebagai ritual umat muslim untuk mendoakan tetangga yang sudah meninggal. Pada suatu kesempatan, saya mengikuti bersama ritual itu. Sudah sebagaimana biasanya tahlil, ada pembacaan doa hingga ditutup dengan makan bersama. Namun, yang unik warga umat non-muslim ikut juga melaksanakan ritual tahlil, walaupun tak ikut keseluruhannya. Ada tempat yang disediakan secara khusus, bahkan warga non-muslim juga ikut membantu sebagai penerima tamu.

Keragaman di desa Baturan yang begitu multietnis tak menjadi halangan dalam merajut persaudaraan. Walaupun, di daerah yang lain perbedaan keagamaan menjadi persoalan bahkan tak ada menyelesaikan. Desa Baturan menjadi beacmark soal persaudaraan lintas iman.

Pada dasarnya, fenomena desa Baturan menggungah untuk berfikir tentang makna pluralisme. Beckford (2010) mengusulkan tiga makna pluralisme, yaitu sebagai pertama, deskripsi realitas, yaitu keanekaragaman realitas dalam masyarakat. Kedua, manajemen negara dalam pengelohan keanekaragaman berkaitan masalah hukum normatif dan ketigaide-ide intelektual tentang realitas keanekaragaman.

Pernyataan Becford (2010) tema pluralitas menjadi bagian terpisahkan dengan realitas tak bisa dihindari. Kita tak mungkin menghindari perbedaan dalam masyarakat kita, munculnya beragam etnis dan agama yang hidup berdampingan dengan kita menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan. Persaudaraan lintas iman menjadi jawaban yang semestinya, untuk membingkai harmonis di daerah tempat kita.

Untuk itu, kedekatan secara kultural menjadi upaya yang tidak langsung akan mengubur jauh-jauh perbedaan. Ini terjadi di desa Baturan, kultur sebagai orang desa yang memiliki kedekatan secara sosiologis, memberikan jalan tengah untuk menyamakan persepsi untuk hidup damai. Tak menjadi soal, tetangga berbeda dengan kita. Terpenting, bagaimana sistem sosial masyarakat desa bisa terwujud secara baik dan benar.

Tidak ada percecokan, pertengkaran hingga ribut soal agama bagi desa Baturan justru akan membuat mereka mengalami kemunduran. Kemunduran itu bisa terjadi, akibat energi yang terkuras saling mencela hingga saling ribut soal perbedaan agama.

Indahnya keragaman di desa Baturan ini menjadi pembelajaran bagi kita semuanya, bahwa hubungan antara agama dan masyarakat bisa terjadi saling harmonis. Ini cara mudah sebenarnya dalam membangun perbedaan dengan masyarakat. Kesadaran sosial ini bagian penting proses menunjang kedamaian di desa ini. Terakhir, hubungan antara agama dan negara sudah berakhir dengan internalisasi Pancasila sebagai falsafah negara terhadap realitas di desa Baturan. Jika Desa Baturan bisa melakukan bersaudara lintas iman, berarti di daerah lain juga bisa melakukan.

Facebook Comments