Wahhabisme merupakan sebuatan pada gerakan penganut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab (1703 – 1791) yang notabene merupakan aliran Salafiyah (menerapkan tradisi generasi perdana Islam) dan muwahhidun atau penegak tauhid. Beraliran Salafiyah, Wahhabisme melakukan perlawanan keras terhadap golongan yang dianggap mereka sebagai thaghut (kelompok yang tidak berhukum dengan hukum Allah versi Wahhabisme) dengen mempertentangkan khasanah lokal dengan ideologi mereka (Ridwan, 2020).
Di Indonesia pertentangan itu muncul melalui gerakan yang ingin membabat habis praktik-praktik beragama seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang mengedepankan pendekatan kultural. Oleh sebab itu kaum Wahhabisme tak segan memberi label bid’ah terhadap tahlilan, sedekah bumi, merti kali, sekalipun dalam praktiknya menggunakan doa sesuai ajaran Islam. Maka tentu saja ideologi ini tak hanya mengkhawatirkan bagi Islam yang membumikan rahmatan lil ‘alamin melalui khasanah lokalnya tetapi juga agama-agama lain yang tentu lebih keras mereka lawan.
Berbaju apapun, ideologi Wahhabisme dapat ditelusur melalui praktik destruktif seturut apa yang pernah dibuat Muhammad bin Abdul Wahhab semasa hidup. Abdul Wahhab pada usia 20-an gemar menghancurkan kubah para syuhada, makam ulama, pohon-pohon besar, dan simbol-simbol keagamaan dengan alasan semua itu syirik.
Sebanarnya, Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan anak dari Syekh Abdul Wahhab, seorang ulama, ahli fiqh dan hakim yang disegani di Uyainah. Namun atas ulah anaknya, Syekh Abdul Wahhab dipecat sebagai hakim dan terpaksa meninggalkan Uyainah. Bahkan, dalam Sejarah Lengkap Wahhabi (2020), Abdul Wahhab ditegur oleh ayahnya karena ia tak dengan tekun belajar agama dan dianggap justru memperburuk martabat keluarga atas pemikiran-pemikiran radikalnya. Dalam buku yang sama, Abdul Wahhab juga merupakan anak putus sekolah (jika tak ingin dikatakan dikeluarkan) dan dikritik habis oleh guru-gurunya atas pemikirannya yang dinggap menyimpang dari ajaran Islam.
Namun kerinduan untuk kembali ke zaman kejayaan Islam dan kebesaran Nabi Muhammad SAW membuat ajaran Abdul Wahhab dianut semakin banyak orang dan tersebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Wahhabisme sendiri masuk ke Indonesia melalui orang-orang yang menjalankan ibadah haji di Tanah Suci yang kebetulan atau disengaja bersinggungan dengan Abdul Wahhab yang kemudian membawa ajaran itu masuk ke organisasi-organisasi Islam.
Wahhabi yang sempat mendapatkan ruang di organisasi-organisasi Islam lambat laun semakin tidak diminati mayoritas pemeluk Islam di Indonesia yang rahmatan lil ‘alamin. Sehingga pengikut Wahhabi yang kadung tumbuh itu mesti menyamarkan diri dalam institusi pendidikan, BUMN, partai politik, hingga terang-terangan mendirikan ormas yang pengasong khilafah.
Meski tak semua pemuja Wahhabi mendalami sejarahnya, tawaran mengembalikan Islam ke khitahnya menjadi sesuatu yang patut diperjuangkan. Akhirnya, Wahhabi menjadi sangat cair dan bahkan tak membawa ciri-ciri Wahhabi sebagai organnisasi. Namun, Wahhabi sebagai ideologi radikal tetap dapat dengan mudah terbaca melalui tidakan-tidakan dan sikap intoleran yang mereka lakukan seperti junjungannya, Muhammad bin Abdul Wahhab.
Namun sikap intoleran atau resisten terhadap perbedaan baru awalan saja, sikap itu akan disusul dengan pola pikir dan tindakan radikal seperti menolak bertetangga dengan yang berbeda keyakinan, mengkafir-kafirkan yang berbeda keyakinan bahkan sesama Islam namun berbeda pemikiran, mendirikan perumahan eksklusif, membuat tata cara hidup semaunya seperti membuat pasar dirham, anti Pancasila, anti NKRI, dan mengajak orang lain berpaham seperti itu. Berikutnya, kolompok radikal ini dapat menjadi pelaku terorisme yang tak segan melakukan aksi-aksi teror yang mengancam nyawa. Jadi, ada proses sebelum seseorang atau sekelompok melakukan aksi teror dan proses inilah yang mesti diputus.
Pada era media sosial, penyebaran Wahhabi tak lagi melalui kajian-kajian eksklusif lintas kampus atau komunitas tetapi sudah dengan fasih memanfaatkan media sosial melalui konten-konten bernafaskan takfiri dan intoleran. Untuk itu kita perlu memperhatikan media sosial dan internet sebagai medan tempur baru menghadapi penyebaran ideologi-ideologi perusak bangsa.
Menurut penelitian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2020, secara ringkas dapat disimpulkan bahwa potensi radikalisme di Indonesia terjadi pada perempuan, generasi Z dan milenial, dan penduduk urban. Untuk itu Savic Ali, aktivis 98 dan pegiat media sosial dalam diskusi daring “Intoleransi dan Ekstremisme di Media Sosia” mengatakan perlu ada paradigma baru terhadap media sosial sebagai sarana pencegahan terorisme. Katanya, ibarat sebuah sungai, media sosial itu banyak tercemar limbah berbahaya, beracun, bahkan mematikan dan untuk membersihkannya perlu menghidupkan mata air bersih dan membanjiri sungai dengan air bersih sampai limbah-limbah itu hilang. Dalam hal ini, masyarakat perlu membanjiri media sosial dengan narasi-narasi positif, toleransi, bahagia, dan keberagaman.