Israel vs. Iran dan Runtuhnya Mitos “Sesama Muslim”

Israel vs. Iran dan Runtuhnya Mitos “Sesama Muslim”

- in Narasi
6
0
Israel vs. Iran dan Runtuhnya Mitos “Sesama Muslim”

Dalam sepanjang sejarah republik Indonesia, atau bahkan jauh sebelum NKRI terbentuk— khususnya pada masa Adipati Unus yang pernah mengobarkan perang dengan portugis ketika Malaka (yang bukan Jawa) terjajah—, pernahkah orang Indonesia ataupun Nusantara tergelegak jiwa jantannya dan berperang untuk orang-orang syi’ah?

Ketika tak ada rasa simpatik dan bahkan empatik terhadap orang-orang Nusantara pada kepedihan orang-orang syi’ah, maka lantas patut dipertanyakan tentang status orang-orang syi’ah di kalangan muslim Indonesia ataupun Nusantara. Padahal, orang-orang syi’ah, sebagaimana orang-orang ahlussunah, juga percaya pada Tuhan yang Esa dan Muhammad sebagai rasulnya.

Keayeman bangsa Indonesia—yang biasanya cukup terseret emosi ketika “saudara-saudara sesama muslim” terinjak-injak oleh golongan lain sebagaimana emak-emak yang terperdaya telenovela—dalam menyikapi konflik Israel dengan Iran tampaknya masih menyisakan perspektif purba bahwa syi’ah belumlah atau bahkan bukanlah Islam.

Ada dua hal yang bagi saya cukup disyukuri sekaligus di-eman. Pertama, tak kambuhnya bangsa Indonesia atas penyakit lamanya yang suka menjebakkan diri pada konflik orang lain. Kedua, konsistensi bangsa Indonesia yang konon cukup ramah terhadap perbedaan, mengingat syi’ah masihlah juga mempercayai Tuhan yang Esa dan Muhammad sebagai rasulnya.

Secara teologis, sebenarnya syi’ah tak jauh berbeda dengan kalangan sunni yang meniti jalan tasawuf. Taruhlah status Ali ataupun anak keturunannya yang dipercayai berada di atas segenap manusia di muka Bumi ini setelah nabi.

Dalam konsep ittihad ataupun hulul, yang juga cukup familiar dikalangan para sufi sunni, dikabarkan bahwa manusia memiliki dua dimensi: dimensi lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Pribadi-pribadi yang sudah mampu mendominankan dimensi lahut-nya atas dimensi nasut-nya itu konon dapat disimpulkan telah jumbuh dengan Tuhan, namun hanya sebatas pada nasut-Nya.

Dan kepercayaan semacam itu, sebenarnya cukup banyak dijumpai di kalangan sufi sunni sendiri yang konon menempatkan para sosok mursyid tarekat pada titik itu. Sebagamana pula di kalangan kejawen yang menempatkan para raja Jawa beserta segala atributnya pada titik yang sama: raja titising dewa.

Maka, lumrahlah ketika konsep kepemimpinan dalam syi’ah bersifat genealogis, sebagaimana konsep kepemimpinan dalam tarekat-tarekat tasawuf sunni ataupun kerajaan-kerajaan Jawa.

Lazimnya, konsep kepemimpinan genealogis kaum syi’ah itulah yang menjadi persoalan utama bagi kalangan ahlussunah yang konon percaya pada konsep musyawarah ataupun pemilihan.

Dengan demikian, jelas bahwa sunni ataupun ahlussunah dalam hal ini adalah kalangan ahlussunah yang minus pendekatan tasawufi, dan tak mencerminkan kalangan ahlussunah secara keseluruhan.

Konsistensi bangsa Indonesia atas sikap melainkan Iran yang syi’ah dalam pusaran konflik politik internasional semestinya pula dikenakan pada Palestina ataupun negara-negara yang konon dianggap sebagai sesama muslim ketika terseret pada isu yang sama. Bukankah terasa menggelikan ketika antara Palestina dan Iran yang sama-sama berteriak “Allahu Akbar” mendapatkan penyikapan yang berbeda dari “sesama muslim” Indonesia ketika mereka berjuang dengan masalahnya masing-masing?

Facebook Comments