Isu Khilafah dalam Situasi Chaos

Isu Khilafah dalam Situasi Chaos

- in Narasi
2
0
Benarkah Menolak Baiat pada Khilafah Matinya Su’ul Khotimah?

Isu seputar khilafah secara periodik kembali mencuat di ruang publik Indonesia, terutama pada masa-masa ketidakstabilan sosial, politik, maupun ekonomi. Kelompok-kelompok tertentu kerap memanfaatkan situasi ini dengan mengusung gagasan bahwa sistem khilafah adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi permasalahan bangsa. Narasi semacam ini tidak hanya problematis dari sisi historis dan filosofis, tetapi juga berpotensi mendelegitimasi Pancasila sebagai fondasi bangsa, yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Khilafah dalam Tinjauan Sejarah dan Politik

Dalam tradisi intelektual Islam klasik, konsep khilafah muncul sebagai respons historis atas kebutuhan kepemimpinan politik dan religius setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Namun, penting untuk dicatat bahwa para ulama dan pemikir besar, seperti Imam al-Mawardi dalam karyanya al-Ahkam al-Sultaniyyah, telah menegaskan bahwa khilafah merupakan bentuk kepemimpinan yang bersifat ijtihadiyah (hasil pemikiran manusia) bukan kewajiban syar’i yang baku dan mutlak. Sejarawan dan sosiolog Muslim terkemuka, Ibnu Khaldun, juga berpendapat bahwa sistem politik Islam bersifat dinamis, selalu menyesuaikan diri dengan kondisi sosial dan perkembangan zaman. Ini mengindikasikan bahwa khilafah bukanlah sistem yang harus dihidupkan kembali di setiap era, terlebih dalam konteks negara-bangsa modern dengan realitas politik dan geografis yang sangat berbeda.

Indonesia, sebagai negara-bangsa (nation-state), lahir dari konsensus historis yang mencerminkan kesediaan berbagai etnis, agama, dan budaya untuk hidup bersama di bawah naungan Pancasila. Konsensus ini adalah hasil dari kompromi luhur yang tidak mengabaikan realitas keanekaragaman antropologis Nusantara yang majemuk. Sebaliknya, gagasan khilafah yang diimpor dari luar tidak sepenuhnya selaras dengan realitas historis dan sosiologis bangsa ini.

Pancasila sebagai ‘Mitsaq Nasional’ (Kontrak Nasional)

Dalam tradisi Islam, ada istilah ‘ahd dan mitsaq. Pancasila dapat dipahami sebagai mitsaq nasional bangsa Indonesia. Pancasila lahir tidak hanya dari kompromi politik, melainkan juga dari nilai-nilai religius dan budaya yang telah terinternalisasi di tengah masyarakat. Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” menegaskan spiritualitas bangsa, sementara sila-sila lainnya merefleksikan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, persatuan, dan demokrasi, yang sejatinya sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Tuduhan bahwa Pancasila bersifat sekuler dan tidak Islami sering kali muncul dari pemahaman yang kurang mendalam terhadap hakikat filosofisnya. Faktanya, para pendiri bangsa yang juga merupakan ulama besar, seperti KH. Wahid Hasyim, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari, telah menegaskan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam perspektif ushul fiqh, Pancasila justru dapat dilihat sebagai instrumen yang menjaga maqashid al-syari’ah (tujuan utama syariat) yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Eksploitasi Kekecewaan di Tengah Krisis

Secara sosiologis, kampanye khilafah cenderung menguat ketika masyarakat mengalami krisis, baik itu ketidakadilan ekonomi, kesenjangan sosial, maupun kekecewaan terhadap elite politik. Ini sejalan dengan teori sosiologi konflik yang menyebut kondisi ini sebagai jendela peluang bagi kelompok radikal untuk menawarkan ideologi alternatif. Mereka sering menggunakan retorika simplistis, mengklaim bahwa semua masalah bangsa bersumber dari kegagalan sistem Pancasila dan menawarkan khilafah sebagai solusi tunggal.

Padahal, akar masalah bangsa ini bukanlah terletak pada ideologinya, melainkan pada penyimpangan dari nilai-nilai ideologi itu sendiri. Pancasila tidaklah gagal; yang gagal adalah praktik-praktik oknum yang tidak setia pada nilai-nilai luhur Pancasila. Kondisi ini mirip dengan Al-Qur’an yang tidak mungkin salah, tetapi penafsiran sempit manusia justru dapat menyesatkan.

Mencegah Delegitimasi Pancasila

Upaya delegitimasi Pancasila memiliki implikasi yang serius. Pertama, hal ini dapat menimbulkan fragmentasi identitas yang mengancam persatuan. Kedua, ia menjerumuskan umat ke dalam jebakan politik transnasional yang tidak berpijak pada realitas lokal. Ketiga, menciptakan ilusi bahwa Islam hanya dapat hidup dalam sistem khilafah, padahal sejarah telah membuktikan bahwa Islam telah berabad-abad hidup damai di bawah berbagai bentuk kepemimpinan, seperti kesultanan, kerajaan, bahkan negara republik. Sejarah Nusantara membuktikan bahwa Islam justru berkembang pesat karena akulturasi dengan budaya lokal, bukan karena penolakan terhadapnya.

Untuk menghadapi kampanye khilafah dan upaya delegitimasi Pancasila, beberapa langkah strategis dapat diimplementasikan:

  1. Penguatan Literasi Islam dan Kebangsaan: Sangat penting untuk mendidik masyarakat bahwa khilafah adalah ijtihad politik yang kontekstual, bukan kewajiban syar’i. Para ulama dan intelektual perlu aktif menjembatani pemahaman antara Islam dan Pancasila.
  2. Keadilan Sosial sebagai Benteng: Pemerintah harus serius dalam menegakkan keadilan sosial. Ketidakadilan adalah pintu masuk utama bagi ideologi-ideologi radikal. Kesejahteraan masyarakat akan mengurangi daya tarik retorika khilafah.
  3. Revitalisasi Budaya Nusantara: Nilai-nilai Pancasila hidup dalam tradisi lokal seperti musyawarah, gotong royong, dan kearifan lokal. Menguatkan tradisi ini dapat menjadi bukti nyata bahwa nilai-nilai Pancasila selaras dengan kehidupan masyarakat.
  4. Dialog Inklusif: Penting bagi para ulama, kiai, dan akademisi untuk membangun dialog terbuka dan menegaskan bahwa Pancasila bukanlah ancaman terhadap Islam, melainkan sebuah “rumah besar” bagi seluruh umat.

Dengan demikian, pemahaman yang komprehensif terhadap sejarah, politik, dan sosiologi, serta implementasi langkah-langkah strategis di atas, kita dapat menjaga Pancasila sebagai fondasi bangsa dan mencegah upaya delegitimasi yang membahayakan.

Facebook Comments