Jadikan Agama Sebagai Lem Perekat, Bukan Palu Pemecah!

Jadikan Agama Sebagai Lem Perekat, Bukan Palu Pemecah!

- in Narasi
1822
1

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”

(Q.S Al-Hujurat [10]: 13)

Ayat al-Qur’an tersebut dengan jelas dan gamblang sekali menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia di dunia ini tidak sama melainkan berbeda. Beda jenis kelamin, beda suku, beda bangsa, beda warna kulit, beda agama, beda keyakinan dan perbedaan-perbedaan lainnya yang jika dijabarkan akan menghabiskan banyak sekali tinta dan pena. Dengan jelas juga, ayat tersebut menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan perbedaan tersebut agar saling kenal satu dengan lainnya. Saling menghargai dan hidup saling berdampingan.

Semua yang ada di dunia ini beragam, tidak berisi satu warna, tetapi kompleks; menegaskan bahwa dunia ini beragam, tidak berisi satu warna, tetapi kompleks; di samping bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, warna juga tak terhingga; bisa diolah dan dicampur dengan warna lain, sehingga membentuk warna baru. Pun demikian dengan sejarah manusia yang beragam dan dipenuhi dengan perbedaan. Demikian tulis Al-Makin Dosen UIN Sunan Kalijaga dalam bukunya yang berjudul Keragaman dan Perbedaan.

Dengan demikian, merasa paling benar sendiri atas yang lain dengan mengagungkan agama dan keyakinannya sendiri sementara menganggap yang lain salah, merupakan salah satu bentuk pengingkaran hakiki terhadap sunnatullah Tuhan. Tuhan saja sengaja menciptakan semuanya berbeda, mengapa kita yang sejatinya hanya makhluk harus menyamakan dan menganggap yang berbeda dari kita salah?

Agama, menurut Jappay Pellokid adalah percaya adanya Tuhan yang Maha Esa dan hukum-hukumnya. Dan semua agama di dunia ini–baik itu agama samawi (Islam, Kristen, Yahudi) dan agama Wad’i (Hindu, Budha, Tao, Khonghucu dan berbagai aliran keagaman lain atau kepercayaan)–mengajarkan keyakinan adanya Tuhan kepada pemeluknya dengan sebutan yang berbeda. Semua agama juga memiliki ajaran-ajaran universal, seperti larangan membunuh, larangan mengambil hak orang lain, larangan berjudi dan berbagai perintah untuk melakukan kebaikan. Lantas apalagi yang hendak diperdebatkan?

Islam sendiri mengajarkan dengan tegas untuk saling menghargai satu sama lain, lakum dinukum waliyadin (untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku). Islam juga mengajarkan bahwa seorang muslim harus mampu mengelola dengan baik hablum minallah (hubungan manusia dengan Tuhan) dan hablum minannas (hubungan manusia satu dengan manusia lainnya).

Jika seorang muslim hanya rajin beribadah menjalin hubungan yang baik dnegan Tuhan, tapi mengesampingkan hubungannya dengan sesama manusia, padahal hidup di dunia, tentu hal itu tidak baik. Pun sebaliknya, jika seorang manusia mengabaikan Tuhannya dan amat mementingkan hubungannya dengan manusia, juga tiak elok rasanya. Di sinilah Islam mengajarkan keseimbangan satu dengan yang lainnya. Meminjam bahasanya Gus Mus, seorang mukmin selain saleh ritual juga harus saleh sosial.

Saling Menyadari

Semua pemeluk agama harus saling menyadari bahwa berbeda itu tidak masalah bahkan malah indah. Ini perlu dilakukan agar semua perbedaan yang ada bisa menyatu dalam sebuah harmoni yang menawan bak pelangi, beragam warna, tapi sedap dipadang mata. Jangan sampai semua pemeluk agama saling mengklaim bahwa agamanya lah yang paling benar, sehingga menganggap yang lain salah. Agama harus menjadi lem perekat antar pemeluk agama satu dengan pemeluk agama lain. Jangan malah agama dijadikan palu pemecah yang bisa menghancurkan semua.

Oleh karena itu, bagi Al Makin, menekankan suatu sikap atau pandangan bahwa semua itu sudah berbeda dan akan terus berbeda, tanpa berniat menyeragamkan mereka semua untuk mengikuti kehendak segolongan atau hanya satu individu perlu untuk dilakukan. Agar tidak terjadi perpecahan atau pun pertikaian yang dikarenakan adanya sebuah perbedaan.

Al Makin menjelaskan bahwa penyeragaman dan penyatuan tidaklah mungkin dan tidak manusiawi. Yang harus dilakukan adalah menekankan pemahaman bahwa perbedaan itu indah. Memahami dan menghargai perbedaan, tidak selalu mencari persamaan, justru sangat menolong untuk saling mengisi dan hidup berdampingan. Kita harus mengakui bahwa kita memang tidak sama dan berbeda. Beda iman, beda aliran dan beda madzhab. Kita tekankan inti perbedaan dan perbedaan itu sendiri, namun kita tetap harus saling menghormati, melindungi dan menyayangi.

Pemahaman seperti itulah yang harus dikembangkan, agar agama tidak menjadi sumber bencana dan sumber perpecahan tapi jadi lem yang mampu merekatkan semua. Dalam konteks keindonesiaan, hal itu penting untuk dilakukan mengingat negara ini memiliki ribuan suku bangsa dan keyakinan yang berbeda. Jangan sampai hanya karena perbedaan agama, Indonesia yang dulu didirikan dengan susah payah oleh para pahlawan bangsa ini, menjadi terpecah belah. Ingatlah, bahwa Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu jua).

Facebook Comments