Jadikan Puasamu sebagai Perisai dari Benci dan Intoleransi

Jadikan Puasamu sebagai Perisai dari Benci dan Intoleransi

- in Narasi
635
0
Jadikan Puasamu sebagai Perisai dari Benci dan Intoleransi

Bulan Ramadan datang. Umat Islam di seluruh dunia akan melaksanakan ibadah puasa. Puasa bukan sekadar menahan dahaga dan lapar mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, tetapi juga momentum memperbaiki karakter manusia. Pada bulan inilah umat Islam semestinya mengasah dirinya untuk kembali melakukan berbagai amalan kebaikan yang mungkin sudah mulai luntur atau bahkan hilang.

Tujuan dari pelaksanaan ibadah puasa adalah untuk mencapai derajat ketakwaan, suatu keadaan yang mampu menjaga diri dari berbuat keburukan. Allah Swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”(Q.S. Al-Baqarah:183).

Perkataan Zur

Dalam konteks meningkatkan kualitas ketakwaan dalam berpuasa, semestinya umat Islam juga menghindari ucapan-ucapan dan perilaku yang buruk dan dapat menyakiti hati orang lain. Hanya saja, seringkali meskipun seseorang sedang berpuasa, ia secara tidak sadar masih menyebarkan kebencian, intoleransi, kebohongan, dan provokasi.

Nabi Muhammad Saw. Bersabda: Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan zur, maka Allah tidak berkepentingan sedikitpun terhadap puasanya (HR. Bukhari). Ibnu Hajar mengartikan zur denganalkidzbu/dusta.Jadi, pada dasarnya berpuasa tanpa meninggalkan segala macam bentuk kebohongan adalah sia-sia. Imam As-Subki yang menyatakan bahwa sempurnanya ibadah puasa itu jika selamat dari berkata kotor dan berbohong.

Apalagi di era media sosial seperti sekarang, bentuk perilaku ujaran kebencian, adu domba dan intoleransi, tidak hanya bisa dilakukan secara lisan, namun juga jempol kita. Keduanya bisa sama-sama menyakiti hati orang lain ketika memberikan komentar secara kasar terhadap hal-hal yang dilakukan orang lain.

Pepatah mengatakan, Iisan lebih tajam dari pedang. Demikian pula jempol kita, yang dapat lebih tajam dari pedang. Jempolmu harimaumu. Hal tersebut karena marak pula pertengkaran di dunia nyata yang diakibatkan saling sindir dan bullying di medsos.

Puasa sebagai Perisai

Karena itu, momentum puasa Ramadan ini sudah seharusnya menjadi sarana pendidikan karakter diri sehingga dapat membimbing manusia menjadi pribadi bertakwa. Puasa menjadi jeda bagi kita untuk sejenak melakukan pencucian jiwa dan membangun akhlak mulia. Menghindarkan diri dari segala macam bentuk ucapan mengandung kebencian kepada sesama yang dapat menyakiti hati orang lain. Puasa juga sebagai sarana agar kita menghindari kebohongan, tindakan intoleran dan provokasi. Jika demikian, puasa bukan sekadar ritual jasmani menahan lapar dan dahaga yang notabene, melainkan juga ritual rohani menahan diri untuk tidak berbuat maksiat yang dapat mengotori keindahan jiwa.

Sekadar menahan lapar saat puasa ialah selemah-lemahnya iman. Masih ada lagi tingkatan puasa yang lebih tinggi dan berorientasi pada pengendalian diri (Fauzi, 2017). Teringat ketika Rasulullah menyudahi Perang Badar, para sahabat mengira pertarungan telah usai. Rasulullah pun mengenalkan bentuk jihad akbar yang pemenangnya kelak mencerminkan kesejatian manusia. Jihad itu ialah perlawanan atas kebiri nafsu kebinatangan yang menjadi antitesis atas sifat-sifat manusia. Itulah jenis puasa khawash al khawash. Puasa jenis ini tidak sekadar menahan lapar dan dahaga, tapi juga mampu mengendalikan hawa nafsu yang bersifat rohaniah.

Puasa menjadi sarana pendidikan untuk meningkatkan kualitas kalbu, rohani, dan akhlak bagi pelakunya. Puasa mendidik bangsa ini untuk mengekang egoisme dan keinginan yang ada dalam diri yang dapat mewujud dalam perilaku yang melanggar aturan dan norma. Puasa menjadi perisai atas segala perilaku tercela.

Maka itu, berpuasa sejatinya memaksa seseorang untuk berjihad akbar melawan nafsunya sendiri yang umumnya mengarahkan pada keburukan. Tak jarang, orang yang sedang berpuasa senang berlomba-lomba melakukan kebaikan dengan berlomba-lomba memperbanyak beribadah kepada Tuhan dan bersedekah kepada fakir dan miskin guna menekan egoisme diri.

Puasa juga mengajarkan, betapa ukhuwah dan tepo sliro menjadi sangat penting dalam realitas sosial yang notabene rawan dirusak oleh ujaran kebencian, tindakan intoleransi, adu domba dan informasi hoaks yang provokatif. Beragam ritual yang dijalani saat puasa, memang sarat membuat satu sama lain memiliki ikatan yang semakin kuat. Menahan lapar dan haus mengajarkan empati dan simpati, shalat tawarih berjama’ah mengajarkan kerekatan sosial, menunaikan zakat fitrah di akhir Ramadan mengajarkan solidaritas sosial, dan kembali fitri di hari raya Idul Fitri mengajarkan saling memaafkan.

Jadi, momentum bulan Ramadan ini merupakan saat tepat untuk melakukan jihad akbar membentengi diri dari nafsu menyebarkan kebencian dan intoleransi. Ini penting untuk menjaga relasi sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan aman dari konflik destruktif yang merusak persaudaraan kebangsaan. Wallahu a’lam.

Facebook Comments