Jejak Persia dan Syiah di Nusantara

Jejak Persia dan Syiah di Nusantara

- in Budaya, Peradaban
5616
0

Seorang pelaut Muslim asal Maroko bernama Ibnu Bathutah pada abad ke-13 pernah melancong ke Samudera Pasai. Dalam catatan hariannya, ia merekam bahwa pengaruh Persia (yang menjadi pusat peradaban Syiah) begitu mendominasi di Kerajaan Pasai. Wakil Laksamana Kerajaan Pasai disebut bernama Behruz orang Persia. Bahkan, penggunaan kosakata serapan dari bahasa Persia ke bahasa Melayu tampak populer di Pasai. Kanduri (kenduri), astana (istana), bandar (pelabuhan), bedebah, biadab, diwan (dewan), piala, firman, dan sebagainya.

Peringatan kematian Husein di Karbala yang jatuh pada 10 Muharram setiap tahunnya diperingati pula di beberapa wilayah di Nusantara. Di Aceh bulan Muharram disebut “Asan-Usen”, di Sumatera Barat “bulan tabuik”, dan di Jawa “bulan sura”. Belum lagi penamaan gelar raja-raja di berbagai wilayah Nusantara yang menggunakan gelar Sayyid dan Syarif, seperti Sayyid Jamaluddin Agung yang menjadi raja Palembang atau Syarif Hidayatullah di Cirebon, gelar para keturunan Nabi di mata Syiah.

Berbagai fakta sosial itu dimaknai oleh sebagian sejarawan sebagai bukti adanya pengaruh Syiah di Nusantara. Bahkan, ada yang menyebut bahwa masuknya Islam di wilayah Nusantara dimulai oleh para keturunan Nabi, orang-orang dari Arab Yaman, dan dari Gujarat India; yang kesemuanya itu adalah penganut Syiah.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, para pelarian Syiah dari kejaran kekhalifahan Abbasyiah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Dan salah satu dari mereka, atau keturunan mereka yang juga Syiah, menyebarkan Islam ke Nusantara. Nah, para penyebar Islam dari India, Yaman, atau keturunan Nabi itulah pada hakekatnya adalah penganut Syiah.

Pendapat ini diperkuat oleh fakta bahwa para penyebar Islam keturunan Nabi, Yaman, dan India di Nusantara merupakan para keturunan Ahmad al-Muhajir. Dia adalah keturunan ke-8 dari Nabi Muhammad. Al-Muhajir mengungsi ke Bashrah lalu ke Hadramaut, Yaman. Dari sinilah para penyebar Islam di Nusantara berasal. Bahkan, seluruh wali songo di tanah Jawa –selain Sunan Kalijaga– memiliki mata rantai keturunan hingga Al-Muhajir. Sekalipun mata rantai tersebut juga menyertakan keturunan Cina, sebagaimana nasab Bong Swie Ho alias Sunan Ampel.

Ensiklopedia Arab berjudul Qomus al-Munjid merekam jejak para keturunan Nabi di Hadramaut Yaman dengan sebutan sukkanuha Syi’iyyuna Syafi’iyyuna (penduduknya adalah orang-orang Syiah bermadzhab Syafi’i). Ini berarti para leluhur penyebar Islam di Nusantara yang berasal dari Hadramaut Yaman (termasuk orang-orang India Gujarat keturunan Arab) adalah orang-orang Syiah yang menganut madzhab Syafi’i yang notabene adalah madzhab Sunnah. Mengapa dualisme madzhab ini bisa terjadi? Jawabnya, karena Syiah memiliki prinsip taqiyyah, sebuah prinsip yang membolehkan penganutnya menyembunyikan kesyiahan demi keselamatan, mengingat mereka adalah orang-orang pelarian.

Tentu saja hal ini bisa diperdebatkan. Fakta sosial di atas tidak melulu bisa diartikan bahwa ritual tersebut merupakan bagian dari Syiah ideologis. Persinggungan kebudayaan tidak bisa dihindarkan karena memang para penyebar agama Islam di Nusantara merupakan para keturunan biologis Nabi melalui jalur Ali bin Abi Thalib, sehingga secara kultural memiliki kesamaan dengan fakta sosial di Nusantara. Namun, juga tidak bisa disebut bahwa para penyebar Islam itu adalah Syiah.

Ditambah lagi, para pengikut Sunnah tidak memiliki pretensi yang buruk jika mereka menghormati Ali dan para keturunannya. Lain halnya dengan Syiah yang pada sebagian madzhabnya memiliki pretensi yang kurang baik terhadap sahabat besar lain di luar Ali, seperti pada Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Sehingga, tidak bisa diartikan bahwa penghormatan terhadap Ali dan keturunannya di Indonesia dapat disebut sebagai Syiah.

Harus diakui memang perbedaan antara dua aliran besar ini tidak dapat dihindarkan. Secara teologis maupun fikih, dua aliran besar umat Islam ini memang tidak bisa disatukan. Karena keduanya memiliki latar belakang, pengalaman, dan pemikiran yang berbeda. Tentu saja perbedaan yang nyata di antara keduanya bagaikan air dan minyak, dan juga telah menjadi sunnatullah yang tak terelakkan.

Namun demikian, mencari titik temu (kalimatun sawa’) di antara kedua aliran ini tentu merupakan alternatif paling mudah. Setidaknya, untuk menghilangkan konflik berkepanjangan di antara para penganut. Toh jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya perbedaan antara Syiah dan Sunnah tidak lebih banyak dibanding persamaannya. Bahkan, Syeikh Muhammad Al-Ghazali seorang intelektual Al-Azhar, menyebut bahwa perbedaan fikih madzhab Syafi’i –yang merupakan salah satu madzhab Sunnah- dengan madzhab Zaidiyah –yang dianut oleh sebagian orang Syiah saat ini- tidak lebih banyak dibanding perbedaan antara madzhab Syafi’i dan Hanafi yang sama-sama berasal dari golongan Sunnah.

Bagi Muslim di Indonesia, secara kultural kedekatan antara Sunnah-Syiah dalam tradisi dan ritual keagamaan tidak bisa lagi diingkari. Kenyataan bahwa tradisi tahlilan, khaul, diba’an, dan mendoakan arwah yang sudah meninggal yang diamalkan oleh mayoritas muslim di Indonesia memiliki kemiripan dengan praktek Syiah. Demikian pula dalam tradisi pembacaan maulid diba’ di setiap malam Jumat, selain memiliki kesamaan di dalam bacaan diba’ tersebut juga tertullis nama-nama imam yang diakui oleh Syiah.

Dalam tradisi tarekat pun sama. Dua tarekat paling dominan di Indonesia, Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, memiliki mata rantai (sanad) kepada Imam Ali Musa al-Ridha (imam ketujuh), Imam Musa al-Qasimi (imam keenam), Imam Ja’far al-Shadiq (imam kelima), Imam Muhammad al-Baqir (imam keempat), Imam Ali Zainal Abidin (imam ketiga), Imam Husein (imam kedua), dan Imam Ali bin Abi Thalib (imam pertama). Itu artinya, tokoh-tokoh spriritual yang diakui oleh Sunnah juga diakui oleh Syiah.

Di kalangan Syiah pun, Ayatullah Khomeini juga dikenal sebagai komentator kitab ihya’ ‘Ulumuddin karya al-Ghazali yang menjadi rujukan utama Sunnah. Ali Khemenei anak dari Khomeini yang menjadi pemimpin spiritual tertinggi Syiah di Iran saat ini pun menerjemahkan ke dalam bahasa Persia Tafsir fi Dzhilalil Quran karya ulama Sunnah bernama Sayyid Qutb berkebangsaan Mesir. Bahkan, kitab-kitab hadits andalan pengikut sunnah, seperti karya Bukhari dan Muslim, juga dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan Syiah.

Nah, perbedaan-perbedaan di atas itulah yang seharusnya menjadi jembatan proses pembelajaran bagi Sunnah-Syiah. Persamaan itulah, yang sesungguhnya dapat menjadi perekat persaudararaan Islam (ukhuwwah Islamiyyah) di antara para penganut dua aliran itu. Selain kesadaran keislaman, tentu sebagai sebuah bangsa, dua kelompok Sunnah-Syiah pun harus semakin menyadari keberadaannya sebagai bangsa yang terikat dalam sebuah konstitusi yang menjungjung tinggi harkat martabat manusia dan memberikan kebebasan berkeyakinan pada setiap warga negaranya.

Facebook Comments