Beberapa waktu yang lalu, Bangkalan menjadi perbincangan publik luas setelah beberapa wilayah di sana menjadi kluster baru covid-19. Bangkalan merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang menjadi tempat menyebarnya covid-19 varian Delta dengan resonasi yang cukup tinggi. Hal ini sejatinya akibat langsung dari lalainya pelaksanaan protokol kesehatan masyarakat.
Masyarakat Bangkalan memang masih cenderung tidak percaya dengan adanya corona bahkan sebagian mereka menganggap covid-19 hanya konspirasi belaka. Covid-19 menurut sebagian mereka adalah buatan seseorang yang ingin melipatgandakan keuntungan finansialnya. Maka dari itu, tak heran kita sangat mudah menjumpai masyarakat di Madura yang tidak menggunakan masker dan bahkan tidak berkenan untuk melakukan vaksinasi.
Dilansir dari Media Indonesia (28/06), sejak awal bulan Juni 2021 lalu, Bangkalan ditetapkan sebagai Zona merah covid-19. Khusunya di delapan desa/kelurahan di Kabupaten Bangkalan, yakni (i) Kelurahan Kraton, (ii) Pejaga, dan (iii) Bancaran (Kecamatan Bangkalan); (iv) Desa Arosbaya, (v) Tengket (Kecamatan Arosbaya), (vi) Desa Moarah (Kecamatan Klampis); (vii) Desa Kombangan (Kecamatan Geger), dan (viii) Kelurahan Tanjung (Kecamatan Bur Neh).
Dengan populasi sekitar 1.006.377 jiwa (Sensus Penduduk, 2020), berdasarkan laporan dari Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga bahwa Bangkalan merupakan daerah yang telah terinvasi covid-19 varian Delta. Varian covid-19 Delta ini disinyalir lebih ganas dan mematikan. Sejumlah tenaga medis di rumah sakit daerah, masyarakat dan ulama muda di wilayah Bangkalan juga telah menjadi korbannya. Maka dari itu, optimalisasi penanganan, kebijakan zonasi covid-19 di sana perlu terus difokuskan sampai di tingkat RT dan RW.
Menurut Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga, Dr Windhu Purnomo bahwa faktor lonjakan kasus Covid-19 di Bangkalan, Madura umumnya disebabkan oleh disiplin protokol kesehatan (prokes) yang sangat buruk. Disiplin menjalankan protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) masyarakat Bangkalan dan Madura secara umum cenderung sangat buruk. Disiplin prokes yang sangat buruk ini tampak dari berbagai video yang beredar di media sosial, serta pernyataan mereka yang pernah mengunjungi Kabupaten Bangkalan dan beberapa wilayah di Madura. Masyarakat di Madura banyak sekali yang tidak menggunakan masker di tempat-tempat umum, termasuk di transportasi umum dan pasar. Bahkan banyak masyarakat yang mengaku tidak percaya adanya virus corona, atau menganggap virus corona sudah tidak ada lagi.
Tak heran jika realitas masyarakat masih saja tetap seperti saat ini, dan tidak adanya mitigasi yang memadai. Maka bisa dipastikan lonjakan kasus Covid-19 di Madura akan berpotensi semakin tinggi. Lonjakan kasus Covid-19 lantas akan membebani hilir, yakni fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit-rumah sakit di Kabupaten Bangkalan sendiri dan di akhirnya ke daerah-daerah sekitarnya terutama Surabaya Raya.
Peran Strategis Ulama
Melihat fenomena yang terjadi di Bangkalan, maka perlunya tokoh masyarakat dan ulama setempat agar berperan dalam mengedukasi masyarakat untuk patuh dan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Mengingat sebagian besar kalangan masyarakat di Madura umumnya sangat hormat terhadap ulama/kiai, sehingga hal ini perlu dimanfaatkan dengan baik sebagai ‘modal sosial’ untuk mengedukasi masyarakat dalam melawan pandemi covid-19.
Karena sebenarnya maraknya masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan di Madura itu bukan hanya disebabkan oleh minimnya informasi dan namun juga akibat maraknya narasi hoaks dan konspirasi yang berseliweran di media sosial, sehingga masyarakat kemudian bingung dan salah kaprah terhadap pandemi covid-19. Selain itu, hal ini juga akibat dari rendahnya kemampuan intelegensi sebagian masyarakat desa di Madura.
Namun, meskipun demikian masyarakat Madura umumnya sangat fanatik terhadap kiai dan “sendiko dawuh” dengan apa yang dituturkan oleh ulama setempat. Maka inilah yang perlu dijadikan strategi melawan pandemi, bagaimana pemerintah menggaet para ulama/kiai lokal untuk menjadi corong informasi dan sosialisasi covid-19.
Akan menjadi aneh, jika para ulama/kiai yang justru menyebabkan masyarakat tidak percaya akan adanya corona. Sebagaimana diakui oleh beberapa Tim Peneliti dari Universitas Airlangga ketika melakukan kunjungan ke Madura awal Maret tahun 2021, bahwa masyarakat di sana bisa dihitung jari yang menggunakan masker. Bahkan ketika dalam forum terdapat oknum ulama yang vokal menyampaikan bahwa ‘di Madura (Bangkalan) tidak ada korona’. Karena itu, mereka tidak mengenakan masker. Menurut ulama tersebut, orang yang mengenakan masker itu ialah orang sakit. Sedangkan mereka merasa dirinya tidak sakit. Karena itu, konsekuensinya mereka tidak mengenakan masker.
Akhirnya, peran ulama sejatinya sangatlah sentral dalam melawan pandemi covid-19. Peran pemerintah melalui tenaga kesehatan dalam mengedukasi dan mencegah covid-19 dengan menggaet kalangan ulama menjadi spirit yang perlu digalakkan, sehingga harapan untuk memutus mata rantai persebaran covid-19 bukan hanya menjadi sebatas wacana belaka.