Kebhinekaan merupakan kekayaan terbesar bangsa Indonesia. Konsekuensinya perlu terus dipupuk upaya merawatnya oleh semua komponen bangsa. Bibit-bibit yang mengancam kesuburan dan keberlanjutannya mesti segera dicerabut hingga akar-akarnya.
Aktualisasi toleransi adalah segala-galanya bagi terciptanya kebhinekaan yang lestari serta perdamaian bangsa dan dunia. Faktanya, seiring konstelasi sosial politik lokal hingga global iklim toleransi terasa menjadi segalau-galaunya. Kegalauan ini muncul akibat munculnya bibit intoleransi dari hampir semua pihak.
Tindakan berprinsip “Elo jual gue beli” rawan menjadi bibit intoleransi yang kontraproduktif bagi dinamika bangsa. Semua pihak penting saling melakukan kontemplasi guna menunjukkan kedewasaan berbangsa dengan menjunjung tinggi tolerasi tanpa memandang SARA.
Konsepsi Toleransi
Kata “toleransi” berasal dari bahasa Latin “tolerate”. Artinya membiarkan mereka yang berpikiran lain atau berpandangan lain tanpa dihalang-halangi. Susan Mendus (dalam Abdillah, 2015) membagi toleransi menjadi toleransi toleransi negatif (negative interpretation of tolerance) dan toleransi positif (positive interpretation of tolerance). Toleransi negatif hanya mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan tak menyakiti orang/kelompok lain. Sedangkan toleransi positif juga membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan kelompok lain.
John Locke (dalam Nugroho, 2010) menjabarkan tiga pikiran mengenai pentingnya toleransi. Pertama, hukuman yang layak untuk individu yang keluar dari sekte tertentu bukanlah hukuman fisik melainkan cukup ekskomunikasi (pengasingan). Kedua, tidak boleh ada yang memonopoli kebenaran, sehingga satu sekte tidak boleh mengafirkan sekte yang lain. Ketiga, pemerintah tidak boleh memihak salah satu sekte, sebab masalah keagamaan adalah masalah privat.
Toleransi adalah kunci tersemainya kehidupan damai. Persepsi terkait aktualisasi toleransi pun bervariasi. Ada yang menyerukan toleransi tanpa batas, sebagian lagi tetap mempersyaratkan batasan toleransi. Toleransi untuk urusan kemanusiaan dan duniawi merupakan titik temu antar persepsi tersebut.
Indonesia sangat menjunjung tinggi toleransi. Faktanya intoleransi masih menjangkiti. Setara Institute (2020) melaporkan sejak 2007 pelanggaran KBB (kebebasan beragama dan berkeyakinan) serta intoleransi menjadi persoalan terbesar pada level negara. Pada periode pertama Jokowi, terdapat 846 peristiwa pelanggaran KBB dengan 1.060 tindakan. Sementara pada periode kedua ada 200 peristiwa pelanggaran KBB dengan 327 tindakan.
Perbedaan adalah keniscayaan dan bentuk rahmat-Nya. Pluratitas bangsa ini masih memberikan implikasi mudahnya terjadi bentuk-bentuk laku intoleransi. Salah satunya dalam dinamika sosial politik yang kerap membentuk bipolarisasi. Intoleransi menjadi mata rantai yang menjebak semua pihak. Provokasi tindakan dan saling balas dendam semakin menyuburkan jebakan intoleransi. Protes dan kritik melalui tindakan tertentu penting dilakukan elegan dan sesuai pada tempatnya.
Mitigasi Intoleransi
Apapun latar belakangnya, intoleransi mesti dilawan. Upaya perlawanan membutuhkan kedewasaan, kebijaksanaan, dan visi ke depan. Saling balas tidak menyelesaikan perbedaan dua kutub pendapat. Perbedaan dan saling kritik sudah saatnya disalurkan pada kanal produktif. Tindakan “move on” mesti dibuktikan dan dilakukan sesegera mungkin jika gagasan atau pihak yang didukungnya mengalami kekalahan.
Kompetisi apalagi dalam kontestasi demokrasi wajar ada yang kalah dan menang. Demokrasi tidak mengenal hasil imbang. Elit politik umumnya lebih cair, namun semakin ke bawah justru kian ideologis dan mudah tersulut emosinya. Untuk itu peran elit dan tokoh menjadi penting dalam menetralisasi jika terjadi benturan dan polemik. Hanya memang terkadang dalam sudut pandang politik, situasi ini menjadi penting dan dibutuhkan untuk kepentingan daya tawar elit.
Pejabat publik menjadi penting guna memberikan keteladanan. Masing-masing individu maupun kelompok juga penting menyadari terkait efek era digital. Dalam hitungan detik suatu tindakan cepat tersebar dan mendapatkan respon warganet. Segala risiko memang menjadi tanggung jawab pribadi. Namun implikasi provokatif menjadikan efek bola liar yang tidak produktif. Untuk itu perlu kecermatan dan kematangan berpikir sebelum bertindak.
Tidak sekadar rantai intoleransi, namun jebakan bipolarisasi penting diputus mata rantainya. Bipolarisasi politik akan wajar dan sah jika melalui jalur demokratis. Semua jajaran pada setiap pihak penting disadarkan akan segala tindakannya agar tidak reaksioner dan emosional sesaat. Pendidikan politik menjadi kunci agar kondisi ideal tersebut tercapai.
Pihak pemenang dan kelompok yang pro mesti fokus pada kerja dan pelaksanaan janjinya. Sedangkan pihak oposan dapat fokus melakukan kritik yang konstruktif. Forum-forum produktif dapat dikembangkan dalam berbagai media.
Batas-batas toleransi yang disepakati penting dijaga dan dirawat bersama. Iklim positif dan kepentingan bangsa mesti didudukkan pada skala priotitas pertama. Jika terpaksa terjadi kontroversi dan polemik, maka cukup menjadi bumbu-bumbu kehidupan dan tidak sampai mengarah pada tindakan merugikan. Bagaimanapun kebhinekaan dan toleransi adalah segala-galanya. Intoleransi yang masih segalau-galaunya mesti segera diakhiri di negeri ini.