Kenali Tiga Gejala Swa-Radikalisasi di Kalangan Generasi Z

Kenali Tiga Gejala Swa-Radikalisasi di Kalangan Generasi Z

- in Narasi
87
0
Kenali Tiga Gejala Swa-Radikalisasi di Kalangan Generasi Z

Euforia publik atas pembubaran diri Jamaah Islamiyyah belum sepenuhnya usai. Tetiba tersiar kabar aparat keamanan membekuk teroris di Batu, Malang. Tiga teroris berhasil ditangkap. Ditemukan pula bahan peledak berdaya ledak tinggi. Satu tersangka, berinisial HOK berusia 19 tahun. Ia simpatisan gerakan Daulah Islamiyyah dan belajar merakit bom melalui internet. Ia berniat meledakkan dua rumah ibadah di Malang.

Kasus penangkapan ini patut menjadi catatan penting bagi kita. Pertama, pembubaran JI bukan akhir gerakan ekstremisme. Pembubaran JI hanya mengubah konstelasi dan peta gerakan terorisme. Bubarnya JI justru akan menjadi momentum bagi sel teroris yang selama ini tidak terdeteksi untuk mengambil alih peran yang ditinggalkan JI.

Kedua, menilik usia tersangka HOK yang baru 19 tahun, maka jelas bahwa ia merupakan kategori generasi Z. Kelompok yang selama ini disebut-sebut sebagai sasaran utama indoktrinasi dan rekrutmen kelompok teroris. Kelompok milenial dan generasi Z belakangan memang mendominasi pelaku teror di Indonesia.

Belakangan, gen Z kian menjadi aktor utama dalam aksi-aksi kekerasan atau teror. Bahkan, sebagian di antaranya berani melakukan aksi teror tunggal (lone wolf terrorism). Terakhir, tersangka HOK yang ditangkap di sebuah vila di Batu ini berencana meledakkan bom di dua tempat ibadah. Ini artinya fenomena teroris Gen Z tidak hanya isapan jempol belaka.

Peran gen Z di dalam gerakan radikal-terorisme juga tidak hanya sebatas pendukung atau aktor di balik layar. Mereka kini sudah ada yang menjadi inisiator, perancang strategi, ahli bom, dan juga eksekutor lapangan sekaligus. Transformasi gen Z dalam gerakan terorisme ini tentu patut diwaspadai.

Ketiga, kenyataan bahwa tersangka HOK belajar merakit bom melalui media sosial kian memvalidasi tesis tentang self-radicalization atau swa-radikalisasi. Yakni fenomena ketika individu terpapar ideologi radikalisme atau ekstremisme tanpa adanya guru atau mentor khusus, melainkan terpapar secara alamiah melalui buku, artikel, video, audio, dan sebagainya.

Bagaimana Mengenali Self-Radicalization di Kalangan Generasi Z?

Fenomena self-radicalization kian marak dengan kian masifnya penggunaan internet dan media sosial. Media sosial menyediakan akses yang tidak terbatas pada segala informasi dan pengetahuan. Saking bebasnya, media sosial kerap menyajikan informasi dan pengetahuan yang rawan disalahgunakan. Konten terkait propaganda kebencian dan provokasi kekerasan berbalut nuansa keagamaan misalnya, belakangan ini nyaris menguasai jagad algoritma dunia maya.

Di saat yang sama, kita bisa dengan mudah mengakses konten yang berpotensi menyuburkan ekstremisme kekerasan. Bahkan, tutorial membuat bahan peledak bisa dengan mudah ditemukan di YouTube, dan kanal medsos lainnya.

Terorisme di kalangan Gen Z dan fenomena self-radicalization telah menjadi dua hal yang saling berkait-kelindan, saling berhubungan dan mempengaruhi. Rasa ingin tahu yang besar di kalangan gen Z, termasuk dalam hal keagamaan acapkali menuntun mereka ke konten-konten yang disusupi doktrin-doktrin kebencian dan permusuhan, baik terhadap kelompok agama lain, sesama muslim yang beda aliran, maupun terhadap negara/pemerintah.

Self-radicalization ini ibarat penyakit kanker yang tidak tampak, tapi efek destruktifnya sangat nyata. Gen-Z yang mengalami self-radicalization ini awalnya juga tidak menunjukkan gejala-gejala apa pun. Namun, perlahan namun pasti ia akan menunjukkan perubahan, baik secara fisik, perilaku, dan terutama cara pandangnya terhadap segala hal. Lalu, bagaimana kita mengenali perubahan fisik, perilaku, dan cara pandang individu yang terpapar self-radicalization?

Pertama dari segi perubahan fisik yang paling tampak biasanya adalah ia akan meninggalkan gaya pakaian yang lama dan mengadaptasi model pakaian yang diklaimnya lebih relijius dan sesuai dengan ajaran agama.

Perubahan gaya penampilan ini sebenarnya bukan isu yang besar, karena setiap orang punya hak mengubah tampilannya. Menjadi problematis lantaran mereka kerap menilai penampilan dirinya yang paling benar sesuai syariat dan menuding penampilan orang lain sesat atau menyerupai orang kafir.

Dari segi perilaku, perubahan yang paling menonjol dari individu yang mengalami self-radicalization adalah mereka cenderung menarik diri dari lingkungannya. Bahkan, individu yang tadinya dikenal terbuka secara pergaulan (ekstrovert) pun bisa tiba-tiba menjadi pribadi yang soliter alias penyendiri.

Kedua, dari sisi perubahan perilaku ke arah anti-sosial ini disebabkan oleh adanya cara pandang bahwa orang lain dengan kehidupan yang berbeda dengan dirinya itu adalah kotor, najis, sehingga tidak layak untuk dibersamai. Mereka menjadi pribadi soliter karena merasa diri paling suci dan takut kotor jika bergaul bukan dengan yang sealiran.

Ketiga, dari segi pemikiran, perubahan yang paling tampak adalah sikap anti dan benci pada pemikiran atau pandangan yang berbeda. Seseorang yang mengalami self-radicalization itu cenderung akan menganggap semua hal yang berbeda dengan dirinya sebagai ancaman dan musuh yang harus dienyahkan.

Dari sini, ideologi kebencian itu mulai berevolusi menjadi ideologi kekerasan. Siapa pun yang berbeda dicap sebagai “halal darahnya” alias boleh dilukai, bahkan dibunuh atas nama agama. Perubahan dalam konteks perilaku ini akan memuncak ke dalam aksi teror atau kekerasan dengan target yang sebelumnya sudah dipersepsikan sebagai musuh. Misalnya, kelompok agama minoritas, aparat keamanan yang dianggap sebaagai thaghut, atau simbol pemerintahan karena dianggap sebagai representasi sistem kufur.

Facebook Comments