Dalam era digital yang membuat manusia semakin terhubung, media sosial telah menjadi platform utama bagi generasi muda untuk berkomunikasi, berbagi informasi, dan mengekspresikan diri. Namun, di balik kemudahan akses dan kebebasan berekspresi yang ditawarkan, tersembunyi bahaya laten yang mengancam generasi muda Indonesia: swa-radikalisasi. Fenomena ini, yang semakin mengkhawatirkan dengan meningkatnya kasus penangkapan terduga teroris dari kalangan Generasi Z, menuntut perhatian serius dari berbagai pihak. Artikel ini akan membahas pentingnya membangun sikap kritis terhadap komentar negatif di media sosial sebagai upaya pencegahan swa-radikalisasi.
Swa-Radikalisasi di Era Digital
Swa-radikalisasi dapat didefinisikan sebagai proses di mana seseorang mengadopsi pandangan ekstremis atau radikal tanpa intervensi langsung dari pihak luar. Dalam konteks digital, proses ini sering terjadi melalui paparan berkelanjutan terhadap konten ekstremis di media sosial. Teori “Selective Exposure” menjelaskan bahwa individu cenderung mencari dan menerima informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka. Tanpa sikap kritis, hal ini dapat memperkuat pandangan ekstremis yang sudah ada atau bahkan memicu terbentuknya pandangan baru yang radikal.
Media sosial memainkan peran signifikan dalam proses swa-radikalisasi. Platform ini menyediakan ruang bagi penyebaran ideologi ekstremis secara luas dan cepat. Algoritma yang digunakan oleh platform media sosial cenderung mengarahkan pengguna ke konten serupa, menciptakan apa yang disebut “echo chamber” di mana pandangan ekstremis dapat berkembang tanpa tantangan. Perilaku agresif dan radikal dapat dipelajari melalui pengamatan dan penguatan di lingkungan online, termasuk melalui normalisasi komentar kekerasan dan kebencian.
Kritis terhadap Komentar Negatif
Langkah pertama dalam membangun sikap kritis adalah kemampuan untuk mengidentifikasi komentar yang berpotensi radikal. Ciri-ciri komentar seperti ini meliputi penggunaan bahasa yang menghasut kebencian terhadap kelompok tertentu, pembenaran terhadap tindakan kekerasan, penyebaran informasi tanpa dasar yang memicu perpecahan, penolakan terhadap keberagaman dan pluralisme. Penting untuk disadari bahwa komentar-komentar semacam ini, meskipun tampak “normal” di media sosial, sebenarnya dapat menjadi benih radikalisme jika tidak disikapi dengan kritis.
Setelah mampu mengidentifikasi, langkah selanjutnya adalah mengembangkan strategi untuk merespons komentar negatif secara konstruktif. Pertama, penting untuk tidak terprovokasi, karena respons emosional hanya akan memperkeruh suasana. Sebaliknya, kita bisa mengajukan pertanyaan kritis yang mendorong pembuat komentar untuk memikirkan kembali pandangannya. Memberikan informasi yang akurat dari sumber terpercaya juga penting untuk melawan narasi ekstremis. Dalam kasus di mana komentar jelas-jelas melanggar aturan platform, melaporkannya ke pihak berwenang adalah tindakan yang tepat. Yang tak kalah penting adalah mempromosikan dialog yang menghargai perbedaan dan keberagaman.
Mempraktikkan Komunikasi Non-Kekerasan di Media Sosial
Komunikasi non-kekerasan (KNK) adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Marshall Rosenberg untuk menciptakan empati dan pemahaman dalam interaksi antar manusia. Prinsip-prinsip KNK yang dapat diterapkan di media sosial meliputi observasi tanpa penilaian, mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaan, menghubungkan perasaan dengan kebutuhan, serta membuat permintaan spesifik dan positif.
Sebagai contoh, ketika menghadapi komentar negatif seperti “Semua penganut agama X adalah teroris dan harus diusir dari negara ini!”, kita bisa merespons dengan pendekatan KNK. Kita bisa memulai dengan mengakui kekhawatiran yang diungkapkan dalam komentar tersebut, misalnya tentang keamanan negara. Kemudian, kita bisa mengekspresikan bahwa kita juga merasakan keprihatinan yang sama. Selanjutnya, kita bisa mengidentifikasi kebutuhan bersama akan rasa aman dan damai di negeri ini. Akhirnya, kita bisa mengajak untuk berdiskusi tentang cara-cara membangun keharmonisan antar umat beragama yang dapat membuat semua pihak merasa aman.
Dengan pendekatan ini, kita membuka ruang untuk dialog yang konstruktif, alih-alih memperdalam jurang pemisah. Praktik komunikasi non-kekerasan ini tidak hanya membantu kita menghindari konflik, tetapi juga menciptakan kesempatan untuk saling memahami dan membangun empati.
Menghadapi ancaman swa-radikalisasi di era digital membutuhkan lebih dari sekadar tindakan represif. Diperlukan pendekatan proaktif yang melibatkan setiap individu, terutama generasi muda, untuk membangun ketahanan diri terhadap ideologi ekstremis. Dengan mengembangkan sikap kritis terhadap komentar negatif di media sosial dan mempraktikkan komunikasi non-kekerasan, kita tidak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan ruang digital yang lebih aman dan harmonis.
Upaya ini tentu bukan tanpa tantangan. Diperlukan kesabaran, ketekunan, dan komitmen untuk terus belajar dan mengembangkan keterampilan komunikasi yang efektif di dunia digital. Namun, dengan tekad yang kuat dan kesadaran akan pentingnya menjaga keharmonisan dalam keberagaman, kita dapat bersama-sama menjaga generasi kita dari bahaya swa-radikalisasi. Pada akhirnya, langkah-langkah kecil yang kita ambil dalam interaksi online sehari-hari dapat berkontribusi pada terwujudnya visi besar: membangun masa depan Indonesia yang damai, toleran, dan bersatu dalam keberagaman.