Kesaktian Pancasila di Era Multipolar; Kembalinya Soft Diplomacy Indonesia di Kancah Internasional

Kesaktian Pancasila di Era Multipolar; Kembalinya Soft Diplomacy Indonesia di Kancah Internasional

- in Narasi
18
0
Kesaktian Pancasila di Era Multipolar; Kembalinya Soft Diplomacy Indonesia di Kancah Internasional

Pidato Presiden Prabowo di Sidang PBB tempo hari bukan sekedar seremoni belaka. Pidato itu dalam konteks internal Indonesia bermakna setidaknya dua hal. Pertama, Pidato itu menandai kembalinya diplomasi Indonesia di level global yang diwakili oleh pemimpin tertinggi, yakni Presiden. Selama 10 tahun absen dari Sidang Umum PBB, Indonesia kerap dianggap tidak hadir dalam jejaring diplomasi global terutama di level pimpinan negara.

Kedua, pidato itu menjadi semacam simbol bangkitnya gaya diplomasi baru ala Prabowo yang tegas, to the point, namun sarat dengan orientasi nilai kemanusiaan, persatuan, dan keadilan global. Model diplomasi ini cocok diterapkan di era ketika dunia memasuki corak multipolar.

Kekuatan dunia saat ini tidak terpusat pada satu negara saja. Era unipolar sudah berakhir. Memudarnya superioritas Amerika Serikat dalam ekonomi dan politik menandai pergeseran dunia dari corak unipolar ke multipolar. Zaman multipolar ditandai dengan menguatnya peran negara-negara berkembang dalam pengambilan kebijakan strategis di level internasional.

Secara konkret, kondisi multipolar ditandai dengan kemunculan aliansi negara-negara berkembang dalam bidang ekonomi maupun politik. Dalam konteks ekonomi misalnya kita melihat kemunculan BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South Africa) dan G20 Forum sebagai bentuk multipolaritas dunia. Kekuatan negara berkembang kini mulai bangkit dan menjadi salah satu aktor penting yang mewarnai percaturan global.

Indonesia sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan sumber daya alam melimpah tentu menjadi kekuatan yang diperhitungkan di kancah internasional. Tidak terkecuali, dalam isu strategis seperti konflik Israel dan Palestina. Dalam forum tertinggi PBB, Prabowo Subianto secara eksplisit menyatakan sikapnya atas isu Palestina.

Solusi dua negara adalah opsi yang ia tawarkan untuk mengakhiri kekerasan dan tragedi kemanusiaan di Palestina. Satu hal penting yang disampaikan Prabowo dalam pidatonya adalah dukungan penuh terhadap PBB sebagai lembaga yang otoritatif untuk menyelesaikan konflik Palestina dan Israel.

Pidato Presiden Prabowo itu mencerminkan politik luar negeri Indonesia yang berkarakter otonom-strategis dan non afiliasi. Otonom strategis maknanya adalah posisi Indonesia dalam konflik Palestina dan Israel adalah netral alias tidak berat sebelah.

Mendukung kemerdekaan Palestina bukan berati mendukung gagasan menghapus Israel dari peta dunia. Otonom-strategis artinya tetap independen namun sekaligus aktif berkontribusi untuk mengakhiri kekerasan dan konflik.

Sedangkan non afiliasi artinya Indonesia tidak berkepentingan secara pragmatis atas isu konflik Palestina-Israel. Keterlibatan Indonesia dalam isu Palestina-Israel adalah untuk menjaga stabilitas regional maupun global.

Dalam konteks ini, Indonesia memiliki modal kuat untuk menjadi aktor penting dalam mengakhiri konflik Palestina-Israel. Modal penting itu adalah ideologi Pancasila. Di era multipolar, ideologi tidak hanya penting sebagai landasan bernegara, namun juga penting sebagai penanda identitas kebangsaan di tengah pergaulan global. Ideologi itulah yang akan menentukan arah diplomasi sebuah negara dalam kompleksitas hubungan internasional.

Pancasila wajib menjadi kerangka agenda diplomasi luar negeri kita. Itu artinya, agenda diplomasi harus dilandasi oleh prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Prinsip Pancasila akan menjadi pedoman diplomasi sehingga kita tidak terjebak pada arus pragmatisme. Dalam konteks isu konflik Palestina-Israel, ideologi Pancasila akan menuntun arah diplomasi yang fair, netral, dan rasional.

Di era multipolar, kontestasi global memang kerap tidak dilakukan secara terbuka. Persaingan antarnegara berebut dominasi di ranah ekonomi atau politik lebih banyak dilakukan secara terselubung.

Terutama melalui penetrasi budaya populer melalui sarana media digital. Dominasi sebuah negara ditunjukkan dengan narasi yang disebarluaskan melalui media digital. Pesan-pesan terselubung itulah yang secara tidak sadar mempengaruhi sikap dan perilaku bahkan kebijakan sebuah negara.

Di tengah kondisi geopolitik yang demikian ini, pendekatan Soft Diplomacy jauh lebih efektif ketimbang Hard Diplomacy. Sebuah pidato viral acapkali mampu menggugah kesadaran global, ketimbang ancaman dengan penggunaan kekuatan militer. Kita patut mengapresiasi keberanian Presiden Prabowo dalam menyampaikan pidato di Sidang Umum PBB tempo hari yang mengguncang dunia.

Pidato itu menandai kembalinya model diplomasi halus ala Indonesia. Diplomasi yang berorientasi pada kemanusiaan dan perdamaian tanpa unsur pragmatisme. Diplomasi yang dilandasi oleh nilai dan prinsip Pancasila. Kiranya, pidato itu merupakan hadiah bagi masyarakat Indonesia dalam memperingati Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober.

Hari Kesaktian Pancasila lahir dari rahim sejarah peristiwa politik 1960an yang dilatari manuver politik PKI. Kebangkitan gerakan politik PKI kala itu juga berkaitan dengan kebangkitan ideologi sosialisme-komunisme yang menguasai lebih dari separuh wilayah dunia. Peristiwa 1960an itu menggambarkan bahwa situasi global niscaya berpengaruh pada dinamika regional dan nasional.

Hal yang sama juga terjadi di era sekarang. Gejolak politik dan keamanan di Timur Tengah terutama terkait isu Palestina harus diakui ikut menyumbang andil pada maraknya fenomena penyebaran ideologi radikal keagamaan. Tidak terkecuali di Indonesia. Isu Palestina kerap dikomodifikasi oleh kelompok radikal teror untuk mencari simpatisan baru. Maka, upaya menyelesaikan konflik Palestina, sejatinya adalah upaya menjaga bangsa dari infiltrasi ideologi keagamaan radikal ekstrem.

Facebook Comments