Ketika Virus Radikalisme mulai Menginfeksi Pola Pikir Siswa; Guru Tidak Boleh Abai!

Ketika Virus Radikalisme mulai Menginfeksi Pola Pikir Siswa; Guru Tidak Boleh Abai!

- in Narasi
4
0
Ketika Virus Radikalisme mulai Menginfeksi Pola Pikir Siswa; Guru Tidak Boleh Abai!

Fenomena radikalisme di kalangan siswa bukan lagi ancaman samar, melainkan sesuatu sudah meresap ke ruang-ruang kecil tempat anak-anak tumbuh dan belajar. Di era digital yang serba cepat, paparan terhadap ide-ide ekstrem dapat menyelinap masuk melalui berbagai pintu: media sosial, video pendek, forum online, hingga gim daring. Pola penyebarannya seperti virus yang tidak terlihat—sunyi namun mematikan, menginfeksi pola pikir para siswa.

Ketika seorang siswa tiba-tiba menunjukkan sikap intoleran, menolak keberagaman, atau menganggap kekerasan sebagai jalan pembenaran, saat itulah tanda-tanda infeksi mulai tampak. Guru, sebagai pendidik yang berinteraksi langsung dengan siswa setiap hari, tidak boleh menutup mata. Mereka adalah garda terdepan yang dapat mendeteksi gejala-gejala ini sejak dini sebelum berkembang menjadi ideologi radikal yang lebih berbahaya.

Radikalisme tidak muncul begitu saja; ia tumbuh dari kesenjangan pemahaman, lemahnya literasi digital, rasa ingin tahu yang tidak diarahkan, dan kadang dari kebutuhan remaja untuk mencari identitas dan pengakuan. Guru perlu memahami bahwa pelajar tidak hanya belajar dari buku dan kelas, tetapi juga dari dunia digital yang tidak memiliki kurasi nilai. Platform-platform digital seringkali menyediakan ruang bagi narasi kebencian yang dikemas secara halus, seolah-olah menawarkan kebenaran baru yang memikat siswa.

Siswa yang tidak mampu berpikir kritis akan mudah terjebak dalam pola pikir biner—benar dan salah secara ekstrem, “kami” melawan “mereka.” Jika guru tidak peka, radikalisme dapat mengakar secara perlahan, yang lambat laun akan menjadi gerakan berbahaya. Atas dasar itu, respons guru tidak boleh bersifat reaktif, tetapi preventif dan terus-menerus.

Dalam konteks pendidikan, deteksi dini menjadi kunci. Guru dapat mengamati perubahan pola pikir yang biasanya muncul melalui ujaran siswa, interaksi sosial, dan perubahan sikap sehari-hari. Siswa yang mulai menunjukkan ketertarikan pada konten kekerasan, menutup diri dari diskusi, atau mencela kelompok tertentu atas nama agama atau ideologi perlu mendapatkan perhatian khusus. Bukan untuk dihakimi, tetapi untuk dibimbing dan diajak berdialog. Pendekatan humanis lebih efektif dibandingkan konfrontatif.

Dalam hal ini yang perlu dilakukan oleh para guru tentu harus memastikan bahwa sekolah menjadi ruang aman bagi keberagaman dan ruang dialog. Ketika siswa merasa didengar, mereka akan lebih terbuka untuk memahami perspektif lain. Sebaliknya, sikap mengabaikan justru memberi ruang bagi ide ekstrem untuk mengalir tanpa hambatan.

Tugas guru bukan hanya mengajar mata pelajaran, tetapi juga membentuk cara pandang siswa terhadap dunia. Ketika virus radikalisme mulai menginfeksi pola pikir siswa, guru tidak boleh abai. Mereka harus hadir sebagai pemantik kesadaran, penuntun moral, sekaligus pelindung bagi masa depan generasi muda. Pengabaian hanya akan memperburuk keadaan, sementara kepedulian dapat menyelamatkan satu demi satu anak dari jurang ekstremisme.

Jika sekolah ingin melahirkan generasi yang cerdas, kritis, dan berkarakter, maka pencegahan radikalisme harus menjadi bagian integral dari pendidikan. Generasi masa depan harus merasa aman untuk bertanya, berdialog, dan tumbuh dalam keberagaman. Dan semua itu hanya mungkin jika guru berdiri di garis depan dengan kepedulian yang tak pernah padam.

Facebook Comments