Ketuhanan Inklusif: Sila Pertama dalam Perspektif Penghayat Kepercayaan di Jawa dan Marapu di Sumba

Ketuhanan Inklusif: Sila Pertama dalam Perspektif Penghayat Kepercayaan di Jawa dan Marapu di Sumba

- in Narasi
127
0
Ketuhanan Inklusif: Sila Pertama dalam Perspektif Penghayat Kepercayaan di Jawa dan Marapu di Sumba

Sila pertama dalam Pancasila adalah penanda penting dari dasar prinsipil bangsa dalam menghormati keberagaman agama yang ada di Indonesia. Pemilihan kata “ketuhanan” alih-alih terminologi teisme agama tertentu adalah bentuk komitmen paling awal dari para pendiri bangsa akan nilai-nilai keberagaman. Selain itu, sila Ketuhanan juga ditenun dengan sila-sila yang lain yaitu kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Hal ini mengimplikasikan pentingnya pendasaran nilai keterbukaan akan perbedaan bahkan hingga pada persoalan yang paling fundamental seperti agama, agar mendukung upaya membangun bangsa yang berkemanusiaan, bersatu, demokratis, dan adil.

Jika sila pertama dipahami sebagai bentuk pengakuan terhadap beragam bentuk ketuhanan yang ada di Indonesia, maka masyarakat dapat belajar dari diversitas keyakinan tersebut. Mengingat bahwa ajaran ketuhanan pada agama-agama dunia seperti Kristen dan Islam sudah lebih terdengar familiar bagi masyarakat umum, maka tulisan ini akan mengangkat perspektif penghayat kepercayaan di Jawa dan Marapu di Sumba. “Kepercayaan” sendiri merupakan kategori bagi agama-agama lokal yang belum termasuk dalam enam agama ‘resmi’ yaitu Kristen, Islam, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Status konstitusionalitas “kepercayaan” sebagai agama yang setara ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2017. Namun demikian, perspektif dan praktik penghayat kepercayaan belum banyak dikenali.

Dari “Ketuhanan Eksklusif” ke “Ketuhanan Inklusif”

Sebagaimana telah menjadi catatan sejarah bangsa, sila pertama dalam Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan hasil kesepakatan para pendiri bangsa yang datang dari beragam latar belakang termasuk dalam hal identitas keagamaan. Sebelum frasa ini disepakati, sila pertama berbunyi lebih panjang dengan tujuh kata yaitu “Ketuhanan yang maha esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dalam hal ini, nampak partikularitas bahkan eksklusifitas agama tertentu dalam sila ketuhanan. Namun akhirnya, dihapuskannya tujuh kata ini menjadi tanda bahwa memang bangsa Indonesia menghendaki adanya keterbukaan dan penerimaan akan keberagaman, termasuk dalam penghayatan akan ketuhanan atau keberagamaan.

Di samping peristiwa penghapusan tujuh kata yang mengimplikasikan prinsip kebhinekaan, pemilihan kata “Ketuhanan” juga menunjukkan kesejatiannya sebagai dasar keberagaman. Dalam hal ini, untuk menghindari representasi eksklusif dari agama tertentu terkait ketuhanan, para pendiri bangsa menggunakan istilah yang dapat berlaku universal bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itulah istilah yang dipilih adalah “Ketuhanan”, yang mana kata “Tuhan” sendiri adalah istilah asli dari bahasa Indonesia dan bukan bahasa serapan dari bangsa lain. Sala satu penelitian yang dapat menjadi rujukan terkait hal ini adalah publikasi Jimmy Marcos berjudul “Tuan, Tuhan dan Ketuhanan: Bahasa Bersama dan Religiositas Indonesia “. Dengan kata lain, terminologi “Ketuhanan” adalah basantara (lingua franca) untuk keberagmaan Indonesia.

Kemenyatuan Tuhan, Manusia, dan Alam dalam Perspektif Penghayat di Jawa

Sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia, penghayat kepercayaan dalam ajaran dan praktik keberagamaannya juga turut menghayati ketuhanan dalam kerangka Pancasila sebagai landasan filosofis berbangsa. Dalam hal ini, penghayatan agama dan komitmen kebangsaan adalah seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Yang satu tanpa yang lain akan membuatnya kehilangan makna. Dalam perspektif penghayat kepercayaan di Jawa, salah satu ajaran terkait ketuhanan yang sering diangkat adalah “Manunggaling Kawula Gusti” (Menyatu dengan Tuhan). Yang menarik adalah, ajaran ini terkait erat dengan ajaran yang lain yaitu “Memayu Hayuning Bawana” (Membuat Dunia Menjadi Indah atau Ayu).

Jika ajaran yang pertama menunjukkan pengakuan akan kebergantungan manusia pada Tuhan sehingga kemenyatuan denganNya adalah prasyarat, ajaran yang kedua adalah soal tanggung jawab ekologis manusia terhadap alam yang harus selalu dilestarikan keindahannya. Dengan kata lain, penghayat kepercayaan di Jawa tidak memisahkan nilai-nilai ketuhanan, dengan konsep kemanusiaan, dan komitmen ekologisnya. Manusia yang menghayati ketuhanan adalah manusia yang menyatukan dirinya dengan Tuhan dan mengejawantahkan kemanunggalan itu dalam tanggung jawab menjaga alam. Dengan demikian, relasi dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam adalah bentuk komitmen keberagamaan yang mesti dirawat secara seimbang dan berkesinambungan. Ketuhanan karenanya adalah penghayatan yang inklusif baik terhadap manusia yang lain maupun terhadap alam.

Ketuhanan Pluralis ala Penghayat Marapu di Sumba

Hal yang serupa juga dapat ditemukan dalam praktik hidup penghayat agama Marapu di Pulau Sumba. Bagi orang Marapu, kehidupan sosial-kultural dan penghayatan keberagamaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Yang satu selalu merepresentasikan dan mewujud dalam yang lain. Oleh karena itu, orang Marapu juga sangat menjaga relasinya dengan Tuhan, manusia, dan alam. Bagi mereka, pengingkaran komitmen religius bukan saja dapat terjadi dalam relasi dengan Tuhan, namun juga dengan manusia dan alam. Jika hubungan dengan manusia rusak akibat konflik atau hubungan dengan alam rusak karena perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab, maka relasi dengan Tuhan pun menjadi terganggu.

Sebab Tuhan, manusia, alam, dan setiap makhluk ada dalam relasi kesatuan yang utuh, komitmen keberagamaan dan penghayatan ketuhanan harus diwujudkan dalam relasi konkret dalam lingkungan masyarakat dan dengan alam. Oleh karena itu, orang Marapu sangat menjaga harmoni sosial dan ekologisnya. Bahkan sekat agama sekali pun, tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap dapat berelasi dengan penganut agama lain. Hal ini juga ditegaskan oleh orang Marapu dalam kerangka kebangsaan secara eksplisit. Mereka meyakini bahwa setiap ajaran “ketuhanan” yang ada adalah satu (esa) walaupun beragam dan yang satu itu selalu mengajarkan kebaikan. Ketuhanan yang esa itu adalah tuntunan untuk mewujudkan relasi-relasi harmonis dan seimbang dalam berbagai aspek kehidupan.

Untuk itu, orang Marapu juga menyebut bahwa ajaran “Ketuhanan” mereka tidak bertentangan dengan Pancasila atau dengan agama-agama lain. Penghayatan agama dan ketuhanan dalam setiap agama adalah justru untuk berkontribusi bagi kehidupan sosial. Hal inilah yang mereka sebut sebagai orientasi dari Pancasila, UUD 1945, dan setiap elemen bangsa dengan segala kekayaan kultural dan sumber-sumber keagamaannya. Dengan demikian, “ketuhanan” bagi orang Marapu, sebagaimana penghayat kepercayaan dan agama yang lain, dipahami secara inklusif. Selain terbuka pada perbedaan, hal ini juga mengimplikasikan bahwa “ketuhanan” tidak boleh dieksklusifkan sebagai aspek yang terlepas dari aspek kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan.

Facebook Comments