Khilafah dan Problem Imortalitas Ideologi

Khilafah dan Problem Imortalitas Ideologi

- in Narasi
506
0

Ketika Partai Komunis Indonesia alias PKI dibubarkan dan dilarang oleh pemerintah pada tahun 1966, ideologi yang diusungnya yakni komunisme-sosialisme tidak serta merta mati. Terbukti sampai hari ini, masih saja ada simpatisan dan pengikut ideologi tersebut yang meyakini bahwa rezim sosialis akan berdiri suatu saat nanti. Hal yang sama terjadi ketika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dicabut izin badan hukumnya oleh pemerintah melalui Perppu Ormas tahun 2017 lalu. Sampai hari ini, eksponen pendukung khilafah -ideologi yang diperjuangkan oleh HTI- nyatanya masih saja ada, bahkan bisa dibilang berlipat ganda. Dibaca secara umum, kedua ideologi tersebut yakni sosialisme-komunisme dan khilafah(isme) sama-sama berbahaya bagi NKRI dan Pancasila karena mengagendakan penggantian dasar dan falsafah negara.

Langgengnya ideologi komunisme dan khilafah meski organ penggeraknya telah dilarang atau dibubarkan merupakan indikasi yang menandai bahwa ideologi bersifat imortal yakni tidak bisa mati alias langgeng. Kelanggengan ideologi ini tentu bukan sebuah keniscayaan, melainkan ekses dari sejumlah faktor. Imortalitas ideologi sosialisme-komunisme misalnya dilatari oleh realitas sosial-politik yang diwarnai ketimpangan dan ketidakadilan sosial. Di dalam masyarakat yang masih diwarnai oleh problem ketidakadilan ekonomi, ideologi sosialisme dan komunisme yang menjadikan isu kesetaraan sebagai jualannya bisa dipastikan akan laku dan diminati publik. Sebaliknya, dalam konteks masyarakat yang kesejahteraan sosialnya merata, ideologi sosialisme-komunisme cenderung tidak mendapat tempat untuk berkembang.

Begitu juga halnya dengan ideologi khilafah. Ia dimungkinkan langgeng alias imortal lantaran ada faktor sosial, politik dan keagamaan yang menyokongnya. Ideologi khilafah selama ini tumbuh subur di masyarakat dengan corak keberagamaan yang konservatif. Cara pandang keberagamaan konservatif itu dicirikan dengan sikap keberagamaan yang cenderung tekstualistik, eksklusivistik dan intoleran. Keberagamaan tekstualistik merupakan cara pandang keagamaan yang meyakini bahwa teks keagamaan ialah satu-satunya sumber kebenaran. Sedangkan keberagamaan eksklusivistik ialah cara pandang keagamaan yang mengklaim agama sendiri sebagai paling benar dan menganggap ajaran agama lain sesat.

Keberagamaan tekstualistik di satu sisi dan eksklusivistik di sisi lain, jika dipadukan akan melahirkan corak keberagamaan yang intoleran bahkan radikal. Di sinilah benih-benih kekerasan dan terorisme atas nama agama itu berkembang dan menjadi problem laten bagi relasi sosial-keagamaan. Dalam masyarakat dimana kultur kekerasan bersanding dengan fanatisme keagamaan, ideologi khilafah bisa dipastikan akan mudah disebarluaskan dan dianut oleh masyarakat. Khilafah sebagaimana dikampanyekan oleh HTI memang mendukung keberagamaan bercorak eksklusivistik dan tekstualistik tersebut.

Di titik ini, kita bisa menyimpulkan bahwa akar gerakan khilafah di Indonesia sebenarnya terletak pada cara pandang dan praktik keberagamaan umat Islam yang cenderung masih bernuansa konservatif. Nalar beragama sebagian umat Islam Indonesia masih berada di level bawah dengan menganggap bahwa Islam ialah ajaran yang komprehensif dan solusi bagi seluruh persoalan kemanusiaan. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh para pengusung khilafah untuk mendoktringkan ideologinya yang diklaim bisa menyelesaikan semua persoalan, mulai dari persoalan ekonomi, politik, hukum, sosial dan sebagainya.

Mendekontruksi Nalar Keberagamaan Umat Islam

Kita harus sepenuhnya menyadari bahwa perjuangan melawan khilafah ialah perjuangan panjang dan kompleks. Khilafah bukanlah ideologi yang berdiri sendiri dan terlepas dari konteks ruang dan waktu. Sebaliknya, khilafah hidup bagai benalu yang menempel tanpa ijin di tengah realitas sosial-keagamaan bangsa. Khilafah sebagai sebuah ideologi bisa dipastikan akan tetap langgeng manakala corak keberagamaan konservatif di kalangan umat Islam itu tidak diubah. Untuk itu diperlukan dekonstruksi keberagamaan untuk menggeser paham konservatisme ke arah moderatisme beragama.

Nalar tekstualisme beragama yang menganggap teks keagamaan sebagai satu-satunya sumber kebenaran final perlu dikoreksi. Umat Islam perlu lebih jauh mengelaborasi potensi akal dan rasionalitas sebagai sumber pencarian kebenaran, mendampingi teks keagamaan yang selalu memiliki keterbatasan. Dimensi rasionalitas ini perlu didorong semaksimal mungkin agar umat Islam tidak mudah terperangkap dalam jebakan gerakan khilafah yang berkarakter irasional, absurd sekaligus ahistoris.

Tidak kalah penting dari itu, nalar eksklusivisme beragama yang menganggap kelompok sendiri paling benar dan menuding kelompok lain kafir atau sesat juga perlu dibongkar. Dalam konteks negara kebangsaan yang multikultur dan multireliji seperti Indonesia, diperlukan sebuah paradigma keberagamaan yang inklusif, toleran dan ramah pada heterogenitas. Dalam konteks NKRI, terminologi ummah idealnya didefinisikan sebagai warganegara (citizens) terlepas dari identitas kesukuan dan keagamannya. Cara pandang yang mengedepankan universalitas kemanusiaan ini penting untuk menganulir penyebaran ideologi khilafah. Arkian, dekonstruksi keagamaan dengan menggeser paradigma keberagamaan konservatif ke arah keberagamaan moderat ialah keniscayaan yang tidak bisa ditawar lagi.

Facebook Comments