Di negara demokrasi, keberadaan ormas keagamaan ialah sebuah keniscayaan. Demokrasi mensyarakatkan ruang publik dimana warganegara bisa menjadi mitra kritis pemerintah. Tanpa ruang publik dan masyarakat sipil yang independen, demokrasi akan berjalan pincang bahkan bisa terjerumus pada otoritarianisme gaya baru. Namun, bagaimana jika ruang publik itu justru menjadi celah munculnya ormas keagamaan yang mengusung agenda anti-demokrasi? Itulah yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu dua dekade terakhir.
Pasca Reformasi 1998 yang menandai terbukanya era baru kebebasan berpendapat, ruang publik kita diwarnai fenomena sosial-politik yang dinamis. Kekuatan Islam politik yang di masa Orde Baru dibungkam kembali meraih panggung. Robert W. Hefner dalam Uncivil Islam menyebut bahwa pasca Reformasi, tidak ada gerakan sosial-politik di Indonesia yang lebih bergairah selain kebangkitan islamisme. Fenomena itu menurut Hefner mengejawantah pada dua hal. Pertama, munculnya partai politik berideologi Islam. Kedua, tumbuhnya ormas-ormas Islam dengan mengusung beragam agenda.
Terbukanya keran demokrasi, bangkitnya sentimen islamisme dan menguatnya gerakan Islam trans-nasional telah menciptakan momentum bagi lahirnya ormas Islam berkarakter intoleran-radikal di Indonesia. Di antara sejumlah ormas Islam berkarakter intoleran-radikal itu, FPI (Front Pembela Islam) merupakan salah satu ormas yang mampu bertahan dan berkembang lantaran lihai berselancar di atas gelombang politik nasional yang dinamis. Di level akar rumput, FPI bisa berperan sebagai kekuatan moral untuk memberangus praktik-praktik kemaksiatan seperti perjudian, pelacuran, dan fenomena urban sejenisnya. Di level elite, FPI juga kerap dijadikan sebagai kekuatan penekan dalam proses politik praktis. Misalnya dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2017.
Rabu (30/12/2020) lalu, FPI resmi dilarang pemerintah. Pelarangan FPI ini bermakna besar bagi perjuangan melawan intoleransi dan radikalisme di Indonesia. FPI ialah simbol gerakan intoleran-radikal berbasis pada agama yang berhasil menginfiltrasi ruang publik dengan narasi dan retorika mengenai kesalehan dan amar ma’ruf nahi munkar. Pelarangan FPI dapat diartikan sebagai sebuah kebangkrutan dari gerakan intoleran-radikal di Indonesia. Apalagi, dua tahun sebelumnya (tahun 2017) pemerintah telah membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) sebagai corong gerakan Islam trans-nasional di Indonesia.
Melarang FPI memang tidak akan menumpas gerakan intoleran-radikal sampai ke akarnya. Namun, dengan pelarangan FPI setidaknya salah satu eksponen penting gerakan radikal-intoleran di Indonesia dapat dilumpuhkan. Di saat yang sama, pelarangan FPI tentu membuka celah baru yang rentan dimanfaatkan oleh ormas-ormas berhaluan sejenis untuk tampil ke permukaan dan mengais simpati publik. Maka, adalah tugas bersama seluruh komponen bangsa, terutama ulama dan umara untuk berkomitmen mengembalikan ormas Islam ke khittah-nya yakni sebagai pemersatu bangsa.
Sejak berdirinya Republik Indonesia, khittah ormas Islam ialah berada di jalur sosial dan kultural melalui pemberdayaan masyarakat (society emporewement). Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) misalnya sebagai dua ormas Islam terbesar, sejak awal kemunculannya telah berkomitmen mewakafkah seluruh potensi dan sumber dayanya di jalur sosial. Seabad lebih usia Muhammadiyah telah berhasil menjadi ormas Islam progresif (berkemajuan) dengan mendirikan berbagai institusi pendidikan, fasilitas kesehatan, dan lembaga ekonomi untuk memberdayakan masyarakat. Begitu pula NU yang selama puluhan tahun merawat jaringan pendidikan Islam berbasis pesantren yang telah melahirkan jutaan santri di seluruh penjuru negeri.NU juga dikenal sebagai pilar kebangsaan yang sigap menghalau penetrasi ideologi asing.
Tidak hanya di jalur pemberdayaan masyarakat, Muhammadiyah dan NU juga berhasil memerankan dirinya sebagai bagian dari jaringan masyarakat sipil. Hal itu dibuktikan dengan sikap Muhammadiyah dan NU yang tetap kritis pada pemerintah tanpa harus mendeskreditkan apalagi mendelegitimasi kinerja pemerintah. Muhammadiyah dan NU berhasil memberikan pelajaran ihwal bagaimana menjadi ormas keagamaan yang elegan. Rekam jejak Muhammadiyah dan NU sebagai ormas Islam moderat pemersatu bangsa kiranya relevan dijadikan rujukan bagi ormas-ormas Islam lainnya.
Mengembalikan Khittah Ormas Islam
Di titik inilah diperlukan komitmen ulama dan umara mengembalikan khittahormas Islam sebagai alat pemersatu bangsa, bukan pemecah belah umat. Keberadaan ormas keagamaan yang menjamur pasca Reformasi 1998 idealnya bisa memberikan manfaat dan keberkahan bagi bangsa, alih-alih mudarat. Dalam konteks inilah, ulama dan umara kiranya bisa mengembangkan apa yang disebut oleh Jeremy Menchik sebagai “nasionalisme ketuhanan” dan “demokrasi relijius”. Dua konsep itu ialah sebuah jalan tengah dari identitas keindonesiaan (kebangsaan) dan identitas keislaman (keagamaan) yang selama ini kerap dipertentangkan di Indonesia. Nasionalisme ketuhanan secara sederhana, dapat dipahami sebagai sebuah komunitas imajiner/bayangan yang terikat oleh keimanan bersama kepada Tuhan dan diatur sedemikian rupa oleh negara melalui regulasi hukum dan pembentukan lembaga keagamaan termasuk ormas.
Nasionalisme berketuhanan ini releven diterapkan di Indonesia yang masyarakatnya multirelijius. Meski mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia bukanlah negara Islam sekaligus bukan negara sekuler. Keberadaan lembaga seperti Kementerian Agama ialah bukti bahwa Indonesia bukan negara sekuler. Indonesia mengenal banyak agama, mungkin bisa mencapai puluhan hingga ratusan agama lokal, namun secara resmi negara hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Indonesia juga menganjurkan semua masyarakatnya untuk beragama dan taat menjalankan agamanya serta mematuhi aturan keagamaan yang telah dibuat pemerintah. Ini artinya, di Indonesia keberagamaan bukanlah wilayah privat, alih-alih urusan publik dimana negara berhak menyusun regulasi yang menjamin terciptanya keteraturan dalam beragama.
Selain nasionalisme berketuhanan, ulama dan umara juga perlu berkomitmen untuk mengembangkan demokrasi relijius. Demokrasi relijius ialah sistem demokrasi yang menjamin adanya kebebasan beragama dan mengekspresikan keimanan serta kesalehan relijiusnya di muka umum tanpa menyalahi aturan-aturan yang berlaku. Sejalan dengan nasionalisme ketuhanan, dimana negara memberikan jaminan kebebasan beragama asal sesuai dengan aturan, demokrasi relijius pun memiliki prinsip yang sama. Agama, dalam banyak hal memang bisa menjadi sarana untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri. Agama bisa mendorong lahirnya gerakan sosial-politik yang mewujud ke dalam banyak bentuk, misalnya partai politik, atau organisasi kemasyarakatan-keagamaan.
Maka, sangat penting bagi para pemeluk agama untuk memahami bahwa diri dan kelompoknya hidup di alam demokrasi dan ruang publik yang heterogen. Seorang muslim misalnya, bebas mengekspresikan keimanan dan kesalehannya di muka umum, sebatas itu tidak mengganggu relasi sosialnya dengan kelompok lain terutama ketika di ruang publik. Demokrasi relijius memberikan kebebasan bagi pemeluk agama untuk mengekspresikan keberagamaannya, termasuk berserikat dan berkumpul, namun dengan batasan-batasan tertentu. Ketika ekspresi keberagamaan itu mulai mengganggu stabilitas sosial, apalagi nasional maka pemerintah memiliki kewenangan untuk bertindak tegas, termasuk dengan melakukan pelarangan.