Kontra Narasi Bahaya Radikalisme Bagi Masyarakat Bukan Pengguna Media Online

Kontra Narasi Bahaya Radikalisme Bagi Masyarakat Bukan Pengguna Media Online

- in Kebangsaan
3646
0

Upaya mencegah bahaya yang ditimbulkan paham radikal dan aksi terorisme secara semesta terus digalakkan oleh semua komponen bangsa, khususnya pemerintah dengan melibatkan kementerian dan lembaga terkait serta seluruh lapisan masyarakat. Upaya ini dilakukan mulai dari hulu hingga ke hilir, bersifat holistik dan terintegrasi untuk bekerja sama, bukan sama-sama kerja, dengan semua komponen bangsa.

Pencegahan penyebaran paham radikal dan terorisme sangat tepat untuk terus digalakkan, terutama dengan menyasar pada seluruh lapisan masyarakat, mulai dari kelompok masyarakat yang aktif di dunia maya, – seperti google, facebook, tweeter, instagram, whatsApp, Line, BBM, path, youTube, – hingga pada kelompok masyarakat yang bahkan belum tahu internet itu apa. Kebanyakan dari kelompok ini adalah masyarakat kelas menengah ke bawah dan tidak memiliki akses yang cukup untuk terkoneksi dengan jaringan internet.

Kelompok masyarakat yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang sejak pagi hingga pagi lagi bergelut di atas tumpukan sampah sebagai pemulung; mereka yang hidup di tengah hempasan ombak dan badai, di atas perahu kecil mencari ikan sebagai nelayan; mereka yang duduk dan merangkak di seputar lampu merah, hidup di bawah eksploitasi, sejak subuh hingga tengah malam sebagai pengemis; serta semua kelompok masyarakat yang masih berusia belia, dan tentu masih sangat produktif, namun tidak memiliki media untuk membuka dan membaca informasi dari media online.

Karenanya negara harus juga hadir di tengah kelompok masyarakat yang tidak menggunakan media online. Kehadiran negara dalam mensosialisasikan bahaya radikalisme dan aksi terorisme harus digalakkan melalui ‘gerakan masyarakat anti radikalisme’ (gemar-tirad) yang dapat dilakukan melalui media cetak seperti majalah, surat kabar dan iklan layanan masyarakat yang berbentuk leaflet dan brosur, terutama koran kelas menengah ke bawah dan koran-koran lokal yang ada di setiap daerah.

Secara kelembagaan, pemerintah telah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sejak tahun 2010 untuk melakukan penanggulangan terorisme. Badan ini menganalisa kebijakan, menyiapkan program dan menyusun strategi dengan mengedepankan upaya pencegahan. Tahun ini misalnya, digalakkan program “Tahun Damai Di Dunia Maya” yang dimotori oleh Deputi 1 bidang pencegahan, perlindungan dan deradikalisasi melalui Pusat Media Damai (PMD), dapat diakses di web wwww.damailahindonesiaku.com dan www.jalandamaiorg.org

Saat ini propaganda kelompok radikal terorisme menyebar dan berhembus ibarat angin sepoi-sepoi basah yang membawa kesejukan bagi kelompok masyarakat tertentu, terutama kelompok usia remaja, pelajar dan mahasiswa yang masih mengalami kegalauan dan kerisauan tentang jati diri mereka. Mereka juga cenderung belum memiliki pemahaman mendalam terkait isu agama dan negara, meski kerap kali semangat mereka melangit ketika membahas keduanya. Remaja kebanyakan masih lemah secara ekonomi (kemiskinan), yuridis (ketidak adilan), dan politis (kecewa dengan sistem demokrasi).

Dari sisi ekonomi, angka kemiskinan di masyarakat Indonesia tahun 2015 masih tinggi, yakni mencapai angka 25, 35 juta orang atau 12, 25%. Kondisi miskin sangat mudah membuat orang berlaku diluar kendali, tidak terkecuali perilaku teror. Kemiskinan adalah salah satu penyebab utama lahirnya radikalisme, dimana kondisi kehidupan yang serba dalam kesulitan sangat rentang membuat orang hilang kewarasan.

Kemiskinan kerap dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk mempengaruhi dan kemudian merekrut masyarakat untuk bergabung menjadi simpatisan kelompok radikal hanya dengan bermodalkan janji-janji manis akan kehidupan yang lebih sejahtera.

Sementara dari sisi doktrin keagamaan, masyarakat kita kebanyakan masih beragama hanya karena keturunan; menganut sebuah agama dan mengikuti ajaran-ajarannya lebih karena pengaruh kebiasaa yang dijaga secara turun temurun. Meski tidak sedikit pula yang kemudian mendapat hidayah dan petunjuk dari Allah SWT untuk dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama secara kaffah, menyebarkan nilai perdamaian menyemaikan nilai cinta kasih kepada sesama umat beragama, sesama manusia, dan sesama makhluk ciptaan Allah SWT.

Sejatinya, selain diyakini sebagai sebuah doktrin yang harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap penganutnya, ajaran agama juga berfungsi sebagai objek kajian yang harus terus diaktualisasi, diinterpretasi dan dikaji secara akademik agar selalu aktual dan sesuai dengan perkembangan zaman, serta memenuhi tuntutan generasi. Tetapi kini ajaran agama dimanipulasi dengan membuat tafsiran yang dimonopoli oleh komunitas radikal. Kata “toghut” misalnya, makna aslinya adalah ‘melampaui batas’, tetapi ditafsirkan secara sepihak dan digunakan untuk menuding orang lain –pihak yang bebeda dengan mereka, bahkan pemerintah—sebagai musuh.

Secara politis, sebagian masyarakat lebih sering merasakan kekecewaan tehadap pemerintah salah satunya lantaran ulah para politisi yang tidak henti-hentinya mengumbar janji-janji palsu dan politik cari muka, sehingga tidak sedikit masyarakat yang menjadi korban politik. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk membangun imagined community yang berpura-pura menampung kekecewaan masyarakat lalu menggunakannya sebagai alat untuk melawan pemerintahan resmi. Hal ini dapat dilihat dari usaha untuk mendirikan negara agama, mereka yang ditarik ke komunitas bayangan ala Bennedict Anderson itu ditanami ide-ide politis yang ditumpang tindihkan dengan tafsiran sempit atas ajaran agama.

Bagi bangsa Indonesia, bentuk negara NKRI sudah selesai episode pembahasannya, para generasi pelanjut estafet kepemimpinan bangsa harus menyiapkan diri untuk mengisi kemerdekaan sesuai dengan nilai-nilai agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Upaya tersebut harus dilakukan melalui proses pendidikan baik di sekolah maupun media, yakni dengan melakukan kontra narasi. Media yang dimaksud juga tidak hanya terbatas pada media online –meskipun itu penting–, tetapi juga media cetak untuk menjangkau mereka yang tidak menggunakan media online.

Facebook Comments